Ketukan Gaib


Teett.. suara klakson bus berbunyi karena ada sebuah sepeda motor ugal-ugalan hampir menyerempet bus yang ku naiki. “Huuuhh untung aja gak apa-apa,” celoteh ibu-ibu yang duduk di belakangku. “Iya bu, kalau sampai keserempet wah bisa terganggu perjalanan kita jeng!” sambung ibu-ibu di sampingnya. “hmmmm.. kapan sampai ya kira-kira kita ke desa Dukuh?” tanyaku kepada seorang lelaki yang berada di sebelahku sambil memberikan senyum. Lelaki itu hanya terdiam dan terlihat dingin tak merespon sama sekali. “Huuuhh” gumamku sambil meniup rambut poniku. Tak henti-hentinya ku tatap jam tangan biruku. Begitu lama perjalanan menuju ke kempung Dukuh, kampung nenekku. Padahal sudah hampir satu album lagu yang kudengar dari MP3 di HP ku terulang beberapa kali.
“Sebentar lagi kita sampai ke kampung Dukuh, ayo siap-siap” ucap seorang ibu kepada anaknya. Beberapa menit kemudian sampai juga ke tempat tujuan. Sambil turun dari bus aku pun menoleh kesana kemari siapa tau ada orang yang disiapkan nenek untuk menjemputku. “Kamu Fitri kan, ayo ikut aku” ajak seorang gadis kecil yang tiba-tiba menghampiriku. “Iya, dari mana kamu tau kalau aku Fitri?” tanyaku terkejut karena dia muncul tiba-tiba. Gadis kecil itu pun menunjukkan sebuah foto padaku. “Ahh kakak!! Sini..” teriak gadis kecil itu kepada seseorang yang turun dari bus yang ku tumpangi tadi. “Gimana kak? Sudah percaya kenapa aku tau nama kakak kan. Ini kakakku namanya kak Dimas, ku kira tak satu bis dengan kakak,” celoteh gadis kecil itu sambil memperkenalkan kakaknya yang ternyata orang yang duduk di sebelahku selama perjalanan. Ternyata nenek sudah menyiapkan mobil pick up yang biasa mengangkut sayur untuk menjemputku. Ya tak apalah yang penting gak jalan kaki ke rumah nenekku yang konon katanya celotehan dari Nisa, gadis kecil tadi masih delapan kilometer lagi.
“Ini nih rumahnya. Kata neneknya kakak, Nisa harus nemani kakak malam ini soalnya nenek lagi ada urusan dikit di luar kampung,” jelas Nisa sesampainya di rumah nenek. “Lalu kakakmu gimana?” tanyaku sambil menoleh ke arah Dimas yang sedari tadi masih diam. “ooohh.. iya kakak juga akan nemani kok.. hehe” jawab Nisa dengan wajah polosnya. “kakak memang begitu, nanti bisa ngomong sendiri kok. Tunggu aja,” sambungnya. “Oh ya, kakak jangan dekat-dekat kolam itu ya!” ucapnya. “Hanya memperingatkan saja kak,” sambung Nisa dengan senyum yang sedikit membingungkanku.
Tak terasa hari mulai menjelang malam. Malam ini udara terasa dingin dan lumayan membuat hidungku terasa meleleh. “Ini kak. Karena nda ada coklat kaya di kota-kota jadi Nisa buat susu coklat aja supaya kakak bisa merasa hangat,” ucap Nisa memberikanku secangkir susu coklat. “Makasih sayang,” ucapku. “Ehmmm kakak tau nda kenapa kak Dimas jarang ngomong?” Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Dulu… kakak pernah menyukai seseorang. Sampai kakak berencana untuk melamarnya. Namanya kak Mawar,” cerita Nisa. Aku mendengarkan dengan seksama sambil menatap fokus ke arah Nisa. “Tapi, ayahnya kak Mawar sama sekali nda setuju sama hubungan kakak. Setiap kali kakak ingin bertemu selalu dihalangi bahkan kak Mawar sampai dikurung. Sampai kakak berencana berani melamar, kakak dan ibu memberanikan diri datang. Tapi semua rencana di tolak dan memaksa untuk memutuskan hubungan mereka.”
Angin malam semakin berhembus dengan sepoi tapi terasa sangat dingin mengiringi cerita malam ini. Nisa semakin serius menyambung ceritanya. “Semenjak kejadian itu kak Mawar selalu dikurung di rumah dan mungkin karena sudah putus asa akhirnya kak Mawar memutuskan kabur dan mengakhiri hidup dengan bercebur di kolam itu karena kak Mawar tidak bisa berenang dan mengidap asma, semenjak kejadian itu kakak menjadi seperti ini, rumah ini dijual pada nenek dan hanya di diami neneknya kakak,” Nisa mengakhiri ceritanya lalu terdiam dengan wajah yang dingin. “Nisa, ini serius?” tanyaku penasaran dan dengan wajah tercengang mendengar cerita itu. “Menurut kakak?” ucapnya menatapku dingin. Aku hanya terdiam. “Sudah malam kak lebih baik kita tidur,” ajak Nisa lalu pergi ke kamarnya meninggalkanku.
“Benarkah???” gumamku sambil menatap sekeliling kamarku sambil berbaring. “Nenek tak pernah menceritakan apa-apa,” pikirku kemudian mencoba memejamkan mata. Tiba-tiba lampu mati dan hal itu membuatku panik. “Nisa…” panggilku dengan suara yang lumayan keras. “Iya kak” terdengar suara Nisa sambil terlihat cahaya lilin. “Nisa lupa kalau hari ini mati lampu.. hehe Nisa ke belakang dulu kak mau bantu kak Dimas. Kakak tidur saja” ucapnya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku. Semua terasa hening, hanya suara jangkrik yang terdengar di malam itu. Saat mata ini mulai mencoba terlelap tiba-tiba terdengar suara aneh. Trakkk.. Bruukk brukkk. Seperti suara sesuatu yang mencoba mendobrak kamarku. “Nisa? Kamu ya? Atau Dimas?” ucapku dengan suara parau. Tapi tak ada jawaban. Aku yang ketakutan langsung menutup badanku dengan selimut sambil mengintip sedikit. Tak lama terdengar lagi suara ketukan di pintu. Aku semakin ketakutan karena tak ada suara apapun yang terdengar selain ketukan tadi. “Nisa, gak mungkin dia jahil sama aku mukanya aja masih polos. Dimas. Ahh gak mungkin. Jangan-jangan” pikiran negatif mulai merasuki otakku. Suara ketukan itu terus terdengar berulang-ulang di iringi dengan hembusan angin malam yang membuat badanku semakin merinding ketakutan. “Nenek.. kenapa aku harus ke rumah tua yang nenek beli ini, mana ada sejarah di rumah ini yang gak menyenangkan lagi,” gumamku sambil terus memeluk selimut dengan keras.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar yang terbuka. Aku terdiam tak bergerak lalu ku coba mengintip. Benar, pintu kamarku terbuka. Kucoba perlahan berjalan sambil mataku tak henti-hentinya melihat sekeliling mencari suatu hal yang telah membuka pintu. Saat aku mulai dekat ke pintu tiba-tiba sesuatu melompat tepat di hadapanku. Sontak aku langsung teriak sekencang-kencangnya namun tak bisa bergerak seperti kakiku ini kaku. Bayangan itu mulai mendekati dan aku semakin ketakutan. Selain itu juga terdengar langkah kaki yang mulai mendekati ke arahku dengan cahaya lilin. Terasa ada tangan yang memegang bahuku dari belakang. Aku hanya memejamkan mata tak berani melihat. “Kakak nda apa-apa?” tanya seseorang dari belakangku yang ternyata adalah Nisa. “Aaaa Nisa, tolong aku Nis. Ada sesuatu bayangan tadi mengetuk pintu dan mendobrak masuk. Di situuu,” ucapku panik sambil mengarahkan telunjukku ke bawah meja. Nisa lalu mencek secara perlahan sedangkan aku masih terdiam di dekat pintu sambil menutup mata. “Kakak.. kakak.. ayo buka matanya,” ucap Nisa. Perlahan ku buka mataku dan tepat di depanku Nisa menggendong seekor kucing besar berwarna abu-abu. “Kucing?” tanyaku heran. “Hehe, iya kak. Cuman si Manis yang masuk. Dia biasa masuk mendobrak pintu yang nda bisa dikunci ini untuk ikut tidur kak. Biasanya sama nenek,” jelas Nisa. “Jadi…” ucapku kemudian. “Ternyata yang mencoba mengetuk pintu tadi cuman kucing yang kebiasaan tidur sama nenekku di kamar ini?” tanyaku heran. “iya kak. Pasti kakak terbayang cerita tadi ya? Hehe. Nisa cuman bercanda kok. Nisa cuman mau nakutin kakak dan ternyata berhasil,” ucap Nisa. “Jadi cerita kamu?” Nisa tersenyum dan meletakkan lilin di atas meja lalu berbaring. “Bohong kak, hehe. Nisa ngantuk ayo kita tidur,” ucap Nisa sambil meletakkan si Manis di kasur dekat kakinya. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Ternyata dari aku datang Nisa sudah berencana ngerjai aku dengan cerita itu. Dan akhirnya berhasil. Haha.

0 komentar:

Posting Komentar