Suka cewek dapet Bencong
Dunia puber memang sangat menyenangkan. Rasa ingin tahu akan sesuatu yang baru juga sangat begitu besar. Coba ini, coba itu semuanya dijabanin. Kadang kalanya ada di posisi yang benar dan juga kadang-kadang di jalur yang salah. Gue sedikit mau berbagi memori terburuk dalam kehidupan percintaan gue. Saking buruknya kalau gue nanti diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berengkarnasi, gue mau file kehidupan gue yang satu ini didelete aja. Kenapa harus didelete? “timbul pertanyaan di otak kalian”.
“Ya iyalah harus dihapus, coba kalau tidak dihapus, gue bakalan mengalami kejadian mengerikan sepanjang hidup gue dua kali.
“Dua kali mas dan mba bro, dua kali”.
“Apa Tuhan tega kasi gue penderitaan itu dua kali?”. Bertanya pada diri sendiri (kaya orang gila aja).
Untuk mengobati isi fikiran kalian yang sejak dari tadi bertanya-tanya file mana sih yang mau gue hapus dari hidup gue. Baca dengan seksama cerita waktu gue SMA dulu. Ingat setelah kalian baca kisah ini jangan menganggap gue Abnormal ya. Gue tekankan sekali lagi gue lelaki NORMAL.
Alkisah pada suatu waktu ketika tubuh gue masih diselimuti pakaian putih abu-abu. Masa peralihan dari bercelana pendek ke sekolah menjadi celana panjang. Masa ketika suara masih cempreng berubah menjadi suara ngebass berat. Serta tonjolan ditengah-tengah leher juga mulai keluar. Dari rambut belah tengah yang yang mengkilat-kilat karena dilumuri minyak goreng oleh ibu sebelum pergi ke sekolah berubah menjadi rambut kering acak-acakan kerena tiupan angin khas pete-pete (angkot) pagi saat berangkat sekolah.
Semuanya berubah total. Dan hal paling gue senangin juga yaitu perubahan dari senang bolos sekolah hanya untuk maen PES di tempat rental, berubah menjadi senang naksir cewek. Yups, naksir cewek hal terindah kedua yang gue rasa paling menyenangkan setelah nyontek saat ujian ga’ ketahuan sama pengawas.
Menurut filosofi yang gue dapat dari teman gue yang sudah berpengalaman di dunia pacaran sejak kelas 6 SD, cinta itu adalah kompetisi (gila dari kelas 6 SD aja sudah berkutat di dunia naksir menaksir cewek, gimana gedenya ya?. Bisa-bisa ibu kantin aja digebet sama dia. Teman yang aneh tapi keren). Menurut penggalan motivasi yang pernah gue baca bahwa “Pengalaman adalah guru terbaik” mesti diubah menjadi “Pengalaman orang lain adalah guru terbaik”. Maka dari itu gue sedikit-sedikit mencoba menerapkan metode yang diajarkan oleh teman gue tersebut [sorry nama teman gue ga’ bisa gue sebutkan karena sesuatu dan lain hal. (takut dituntut bayar royalty karena nyebutin nama dia ditulisan gue)]. Pelajaran pertama yang gue dapat dari teman gue itu adalah pada saat kita naksir cewek hal yang harus kita lakukan adalah cari tau siapa namanya (ya, iyalah pasti harus tau namanya dulu). Kemudian masuk ke fase PeDeKaTe. Ditahap inilah paling susah, bermodalkan mantra Papa kamu polisi yaa? (berharap dijawab ko’ tau), gue dekatin si cewek.
“Eheemm”. Basa-basi sebagai pembuka percakapan.
“Iya ka”. Dehemanku dibalas ramah.
Gue kaget, dia tau kalau gue ini seniornya. Awal yang bagus. Paling tidak dia kenal gue.
“Chika ya?” Tanya ku.
“Ia, ada apa ya ka?”. Balasnya dengan senyum manis.
“Gini Chik, bapak kamu cowok ya?”. Salah ngomong akibat grogi.
“Ya, iyalah ka’. Kakak becanda nih”. Mukanya agak kesal.
“Benar juga ya”. Gue jadi bingung sendiri.
Dengan muka yang agak kesal dia pergi. Langkah pertama gatot (gagal total). Gue kesal pada diri sendiri. Kenapa gue ga’ berkutik di depan cewek. Selang beberapa minggu gue baru tau kalau ternyata Chika udah punya MONYET, si Anto, simuka pas-pasan kalau diobral juga ga’ bakalan laku mukanya. Gue piker kalau mukanya digratisin juga ga’ ada yang bakalan mungut. Tapi satu hal yang buat Chika mau jadi pacar Anto the beast yaitu motor KAWASAKI NINJA RR yang menjadi daya tarik Anto. Cewek kampret.
Cerita cinta tentang Chika berakhir tanpa dia tau kalau gue suka sama dia. Biar aku, Tuhan, dan buku diary pinkku yang tau.
Pasca tragedi CIDAHA ke Chika. Beberapa bulan hati gue lowong. Sampai gue temukan cewek pengalih dunia gue. Dinda. Manis-manis gulali, itulah pendeskripsian buat Dinda. Teman sejawat di kelas III tapi beda kelas. Dia berada di kelas IPA. Sementara gue berada di kelas spesialis tukang ngitung-ngitung ala tukang kredit IPS.
Sebenarnya gue kenal Dinda itu sejak dari kelas I, tapi gue baru naksir baru di kelas III. Cinta memang ga’ bisa ditebak. Berhubung kita sudah saling kenal, jadi proses malu-malu bisa dihilangkan dengan cepat. Proses PDKT berjalan sesuai rencana. Gue bisa tebak kalau Dinda suka sama gue. Gue juga tau kalau Dinda bukanlah tipe cewek pantat bensin. Buktinya gue ajakin jalan pake sepeda aja dia mau, cewek yang perfect.
Belum sempat gue bilang suka sama Dinda, kegalauan menghampiri. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue ada yang naksir gue duluan. Gue gamang.
Cewek misterius yang khilaf naksir gue itu bermula saat gue asyik di rumah lagi kerjain PR Matematika (lebih tepatnya nyalin dari buku teman ke buku gue, karena gue ga mau repot-repot mikir, toh hasil mikir gue juga nantinya sama dengan hasil dari pemikiran teman gue, jadi tinggal salin aja punya dia, lebih simple). Hp gue berontak berkali-kali akibat gangguan dari nomor baru misterius. Tiap kali gue angkat pasti dimatiin. Begitu seterusnya.
Dua hari berturut-turut nomor misterius itu terus meneror. Gue jadi dongkol. Gue kirimi dia somasi lewat sms.
“Kalau berani ngomong dong”. Isi sms gue dengan nada yang agak kesal.
Ga berapa selang dia ngebalas sms gue.
“Sorry, kalau udah ganggu”. Dia ngebalas ramah.
Dengan hati masih agak dongkol gue replay sms dia lagi. “Loe siapa, kalau ada perlu jangan braninya CUMI (cuman miscall) doang”.
“Skali lagi maaf, aku Wanda”. Balasnya dengan nada yang masih ramah.
“Ohh, dapat nomor aku dari mana?”. Gue masih ngebalas dengan nada ketus.
“Kalau aku kasih tau kamu jangan marah ya?”.
“Ia”. Jawab gue singkat.
“Aku dapat nomor kamu beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku liat kamu beli pulsa di dekat rumah aku, trus aku ambil dech nomor kamu ma penjaga counternya”. Dia menjelaskan secara rinci.
“Ohh”. Gue balas dengan 3 huruf.
Walau gue ngebalas smsnya dengan singkat padat dan tidak jelas, dia tetap sabar menghadapi sms-sms super singkat gue. Sms terakhirnya ga’ gue balas, karena nonton acara favorit gue Dora The Explorer lebih penting dari pada ngebales sms orang yang ga’ gue kenal sama sekali.
Walaupun gue cuek abis, dia tetap rutin ngesms gue. Pagi, siang, malam smsnya terus-menerus menyerang, kayak minum obat aja smsnya datang 3 kali sehari.
Karena gue ga tegaan orangnya, dan gue juga ga’ mau dicap orang yang sombong karena ga’ ngebalas sms dia. Maka dengan etika yang baik gue mulai ngebalas smsnya. Gue sikat abis setiap pertanyaan yang dia sodorkan. Dia pun begitu setiap pertanyaan gue yang muncul di layar Hpnya dia telan dengan lahap. Untuk sejenak PDKT gue ke Dinda terpending.
Hampir sebulan komunikasi gue sama Wanda hanya lewat jari-jari yang menekan tombol huruf yang ada di handphone masing-masing. Setiap kali gue nyuruh dia nelpon dia selalu nolak. Atau gue mau nelfon dia punya 1001 macam alasan buat nolak telfon gue. Gue mulai mikir negatif ke Wanda. Puncaknya gue ajakin dia buat ketemuan. Dia nolak. Gue sedikit mengancam kalau dia ga mau ketemu sama gue, gue ga bakalan gubris sms dia lagi. Dia tetap tak bergeming. Dia tetap menolak untuk bertatap muka dengan gue.
Gue mulai curiga. Kalau bukan setan pasti giginya mancung ke depan, jadi dia malu untuk ketemu gue. Kemudian dia ngirimi gue sms.
“Aku suka sama kamu, tapi aku malu untuk ketemu ma kamu”. Isi smsnya.
“Kenapa mesti malu ma gue, gue ga’ ngegigit ko’”. Balas gue.
“Mau dong digigit”. Dia ngebalas dengan nada bercanda.
“Kalau emang kamu suka ma gue, mesti ketemu dulu. Gue ga mau beli kucing dalam karung. Ga ada yang jelas”.
Gue dan Wanda janjian untuk ketemuan malam jumat, kayak mau ngepet aja ketemuan di malam jumat, tepatnya di lapangan depan rumah jabatan bupati.
Karena gue ga mau terjadi apa-apa gue ajakin teman gue untuk ikut. Sampai di TKP gue ga ngeliat ada cewek yang berkeliaran di sekitaran lapangan. Yang ada hanya gerombolan Satpol PP yang asyik diskusi sambil ngisap rokok sebatang ramai-ramai.
Gue ga ngeliat orang yang gue cari, gue putusin untuk nelfon dia. 2 kali gue telfon dia cuman respon lewat sms.
“Aku uda ada di lapangan”. Isi smsnya.
“Di sebelah mana. Gue juga uda ada di sekitar lapangan”.
“Aku di dekat pohon yang di dekat lapangan tenis”. Dia ngebalas sms gue.
Gue ngga’ ngebalas smsnya. Irwan teman gue langsung tancep gas motornya menuju ke arah lapangan tenis yang persis berada di sebelah lapangan voli. Sampai disana gue cuman liat orang yang duduk di atas motor. Jarak kami dan dia cuman sekitar 10 langkah. Gue masih bingung sampai sekarang cewek yang gue cari ngga’ muncul-muncul.
Tak lama kemudian sosok orang yang berada di atas motor yang berada di depan gue dan Irwan menghampiri.
“Rama ya?”. Sosok tersebut langsung menyodorkan pertanyaan.
“Bukan, tapi dia”. Irwan menunjukkan jarinya ke arahku.
Gue kaget setengah mampus ternyata sosok tersebut makhluk jadi-jadian. Manusia setengah Pria dan setengah wanita alias BENCONG.
“Ia, gue Rama”. Gue mengiyakan tuduhan Irwan.
Dengan celana jeans super ketat yang dia kenakan, serta baju kaos oblong putih dan berkerah segitiga ala Olga Syahputra yang melorot hingga dadanya kelihatan. Mukanya yang sangar yang berusaha dia imut-imutin tapi malahan jadi mirip tukang parkir di pasar yang biasa gue liat. Gue lihat juga kulitnya yang hitam pasti keseringan maen layangan jadi bisa seperti itu, berbanding terbalik dengan wajahnya yang putih mengkilat kayak udah dicat pake Avitex. Atau mungkin dia pake tepung terigu yang dia padu pake air santan supaya bisa kelihatan putih. Tapi itu semua malah bikin gue mau muntah darah ngeliatnya.
Dia sodorkan tangannya ke arah gue, “Rama kan?”. Bibir tak beraturannya kembali bergerak diikuti oleh sebuah pertanyaan.
“Ia”. Sambil salaman gue mengiyakan lagi pertanyaannya.
Sejurus kemudian dia memperkenalkan diri “Aku Wanda”.
Pranggg, ubun-ubun gue mau pecah setelah mendengar pengakuannya kalau bencong bermuka tukang parkir ini bernama Wanda.
“Mati gue, selama ini gue smsan ma bencong”. Gue menyumpahi diri gue dalam hati. Sementara itu Irwan hanya bisa cengengesan nahan ketawa.
“Thanks ya udah mau datang kesini”. Kata si bencong, mukanya sambil dia imut-imutin mirip Annisa cherrybelle. Sumpah gue mau kencing di celana liat senyum yang gue rasa lebih mirip pocong lagi boker. Mending gue ketemu pocong skalian dari pada bencong bertampang mesum ini.
“Sama-sama”. Jawab gue dengan nada shock. “Jadi loe itu bukan cewek ya?”. Gue menyerbunya dengan pertanyaan yang ga gue fikir sebelumnya.
“Fisik aku emang kayak cowok, tapi hati aku cewek tulen ko”. Pertanyaan gue dia jawab dengan jawaban yang bisa bikin gendang telinga gue berdarah-darah.
Irwan terus menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangannya. Gue cubitin pinggangnya, semoga Irwan ngerti kalau itu kode untuk segera cabut.
Gue menyumpahi diri gue sendiri “Mati gue, mati gue”.
Gue terus nyubitin Irwan. Dia bereaksi. Kayaknya dia ngerti signal yang gue kasih ke dia.
“Ram, ayo balik, nanti bokap gue nyariin motornya”. Irwan mengajak untuk pergi dari hadapan bencong bertampang Annisa cherrybelle tapi versi bencongnya.
“Ayo”. Gue langsung mengiyakan.
“Kita balik duluan ya”. Gue pamitan sama makhluk aneh itu.
“Oh, ia”. Dia ngebalas pesan pamit gue dengan senyum termanisnya yang bisa bikin gue gegar otak ngeliatnya.
Di jalan Irwan hanya bisa tertawa terbahak-bahak setelah menjadi saksi mata peristiwa terpahit selama hidup gue. Terus gue menyumpahi Irwan agar kejadian memalukan tersebut jangan sampai bocor keteman-teman lain. Irwan mengiyakan sambil tertawa tanpa henti.
Sampai di rumah, si bencong kampret itu kirim sms ke Hp gue.
“Aku senang banget dech bisa ketemu kamu tadi”. Isi smsnya yang buat gue bisa masuk UGD.
Gue ngga’ ngebalas smsnya. Karena takut digangguin dia terus, akhirnya sim card gue patahin dan gue ganti yang baru. Akhirnya gue terbebas dari jerat bencong bermuka mesum.
Dan gue baru sadar juga kalau nama Wanda itu ternyata singkatan dari Wanita tanpa Dada (WANDA). Emang bener dia seorang wanita tak berdada.
Gue nyesel banget. Gue pending nembak Dinda hanya untuk seonggok makhluk bernama Wanda.
Besoknya gue mandi kembang tujuh rupa buat ngilangin kutukan si bencong berwajah tukang parkir.
Cerpen Karangan: Rahmat Suardi
Facebook: Rahmat Suardi
0 komentar:
Posting Komentar