Telpon Nomor Satu
“boleh ya.. please…” ucap Liza di depan Zaldi sambil memohon.
“nggak ah aku nggak mau..” ucap Zaldi acuh, padahal ia ingin sekali memberikannya pada anak tomboy di depannya ini.
“baiklah” seakan menyerah Liza berhenti memohon pada anak laki-laki di depannya yang sudah ia suka sejak kelas 1 SD. berbalik lalu bergegas pergi.
Liza yang pantang menyerah menanyakan nya lagi pada sahabatnya Zaldi yang juga sahabatnya sendiri.
“please.. ya, kita kan teman, friend” ucap Liza memohon pada Dinda yang lagi sibuk memakan mie goreng kesukaannnya. Dinda menghentikan aktivitasnya, menelan seteguk air putih lalu menoleh pada anak tomboi di sebelahnya ini.
“tanya sama Zaldi..” ucapnya datar. lalu meneruskan makannya yang tertunda.
Liza yang menyerah berdiri “baiklah” lalu pergi ke lapangan.
“nggak ah aku nggak mau..” ucap Zaldi acuh, padahal ia ingin sekali memberikannya pada anak tomboy di depannya ini.
“baiklah” seakan menyerah Liza berhenti memohon pada anak laki-laki di depannya yang sudah ia suka sejak kelas 1 SD. berbalik lalu bergegas pergi.
Liza yang pantang menyerah menanyakan nya lagi pada sahabatnya Zaldi yang juga sahabatnya sendiri.
“please.. ya, kita kan teman, friend” ucap Liza memohon pada Dinda yang lagi sibuk memakan mie goreng kesukaannnya. Dinda menghentikan aktivitasnya, menelan seteguk air putih lalu menoleh pada anak tomboi di sebelahnya ini.
“tanya sama Zaldi..” ucapnya datar. lalu meneruskan makannya yang tertunda.
Liza yang menyerah berdiri “baiklah” lalu pergi ke lapangan.
“Liza..!!!” merasa dipanggil Liza menoleh.
“apa..” ucapnya datar menatap laki-laki di depannya yang bernama Kevin.
“main bola yuk.. tim kita kekurangan orang nih..” ucapnya memohon Liza melihat ke belakang laki-laki itu kurang lebih 10 orang sedang berharap harap cemas. Liza menoleh pada Kevin lagi.
“sorry, lagi nggak mood” ucap Liza datar dan berlalu pergi ke kelas.
Kevin terdiam merasa ada yang aneh dengan anak itu.
“apa..” ucapnya datar menatap laki-laki di depannya yang bernama Kevin.
“main bola yuk.. tim kita kekurangan orang nih..” ucapnya memohon Liza melihat ke belakang laki-laki itu kurang lebih 10 orang sedang berharap harap cemas. Liza menoleh pada Kevin lagi.
“sorry, lagi nggak mood” ucap Liza datar dan berlalu pergi ke kelas.
Kevin terdiam merasa ada yang aneh dengan anak itu.
Liza duduk terdiam di kelas sambil membolak-balikan lembaran buku kosong.
“ohayo gozamaisu” ia tersentak kaget saat mengetahui di sebelahnya seorang anak laki-laki sedang berdiri di depan mejanya sambil tersenyum manis. beberapa saat ia menormalkan lagi detak jantungnya yang mencepat karena kaget.
“ohayo,” ucapnya datar. melihat gelagat yang tak biasa dari Liza laki-laki itu tersenyum.
“kamu kenapa?” ucapnya ringan.
“ah.. sudahlah Kazune, aku malas bicara sekarang” laki-laki bernama Kazune itu tertawa.
“tidak biasanya kau murung seperti ini, ada apa dengan mu?” Liza mengalihkan pandangan ke arah lain. membelakangi wajah Kazune.
“apa karena nilamu menurun”
“tidak”
“atau karena kamu tidak bisa bermain bola lagi”
“aku bilang tidak..”
“apa karena Zaldi”
“t-tidak” Wajah Liza bersemu merah, meski tidak melihatnya. Kazune tau apa yang sedang di rasakan sahabatnya itu.
“apa kau mau nomor telponnya.”
“ya.. aku sedang berusaha” Liza sadar, lalu menutup mulutnya sendiri. Kazune tersenyum lebar.
“baiklah coba jelaskan padaku”
“ehm..”
“tidak usah gugup, aku sudah jadi sahabatmu kan..”
“tapi..”
“huh.. kamu ini.” Kazune tidak sabar, meraih tangan Liza lalu menyeretnya melewati lorong-lorong sekolah dan menjadi perhatian anak-anak lain. Liza yang malu langsung berontak. tapi tidak dihiraukan oleh Kazune.
“apa yang kau lakukan hentikan…!!!” ucap Liza keras.
“ohayo gozamaisu” ia tersentak kaget saat mengetahui di sebelahnya seorang anak laki-laki sedang berdiri di depan mejanya sambil tersenyum manis. beberapa saat ia menormalkan lagi detak jantungnya yang mencepat karena kaget.
“ohayo,” ucapnya datar. melihat gelagat yang tak biasa dari Liza laki-laki itu tersenyum.
“kamu kenapa?” ucapnya ringan.
“ah.. sudahlah Kazune, aku malas bicara sekarang” laki-laki bernama Kazune itu tertawa.
“tidak biasanya kau murung seperti ini, ada apa dengan mu?” Liza mengalihkan pandangan ke arah lain. membelakangi wajah Kazune.
“apa karena nilamu menurun”
“tidak”
“atau karena kamu tidak bisa bermain bola lagi”
“aku bilang tidak..”
“apa karena Zaldi”
“t-tidak” Wajah Liza bersemu merah, meski tidak melihatnya. Kazune tau apa yang sedang di rasakan sahabatnya itu.
“apa kau mau nomor telponnya.”
“ya.. aku sedang berusaha” Liza sadar, lalu menutup mulutnya sendiri. Kazune tersenyum lebar.
“baiklah coba jelaskan padaku”
“ehm..”
“tidak usah gugup, aku sudah jadi sahabatmu kan..”
“tapi..”
“huh.. kamu ini.” Kazune tidak sabar, meraih tangan Liza lalu menyeretnya melewati lorong-lorong sekolah dan menjadi perhatian anak-anak lain. Liza yang malu langsung berontak. tapi tidak dihiraukan oleh Kazune.
“apa yang kau lakukan hentikan…!!!” ucap Liza keras.
tiba-tiba saja dia sudah berdiri di depan Zaldi.
“Zal, Liza minta nomer telpon mu.” Zaldi bingung Liza menatap Kazune horor, sebentar lagi akan ada pertumpahan darah. Zaldi menggelng pelan lalu tersenyum.
“ternyata kamu tidak menyerah ya Liza, sebenarnya aku tidak memberimu itu karena aku tidak punya HP, jadi aku tidak punya.” saat anak-anak sibuk ber -oh panjang Liza sudah menhilang dengan Kazune dari tempat itu. ternyata mereka kabur ke kelas yang sednag sepi.
“Zal, Liza minta nomer telpon mu.” Zaldi bingung Liza menatap Kazune horor, sebentar lagi akan ada pertumpahan darah. Zaldi menggelng pelan lalu tersenyum.
“ternyata kamu tidak menyerah ya Liza, sebenarnya aku tidak memberimu itu karena aku tidak punya HP, jadi aku tidak punya.” saat anak-anak sibuk ber -oh panjang Liza sudah menhilang dengan Kazune dari tempat itu. ternyata mereka kabur ke kelas yang sednag sepi.
“apa yang kau lakukan?” tatap Liza geram.
“membawamu ke Zaldi” ucapnya tak berdosa.
“apa, kau menjawabnya enteng, aku tadi hampir dipermalukan”
“tapi setidaknya kamu tau kan apa alasan dia tidak di beri nomer telepon olehnya” Liza termenung beberapa saat menyadari kalau Kazune sudah duduk – di bangkunya dan membaca novel.
“membawamu ke Zaldi” ucapnya tak berdosa.
“apa, kau menjawabnya enteng, aku tadi hampir dipermalukan”
“tapi setidaknya kamu tau kan apa alasan dia tidak di beri nomer telepon olehnya” Liza termenung beberapa saat menyadari kalau Kazune sudah duduk – di bangkunya dan membaca novel.
perlahan ia melangkah ke kursinya duduk dan melamun. Kazune menghela nafas, berat. ia merasa perih saat tau sahabatnya yang menjadi alasannya memendam perasaan nya ini. harusnya ia tau, perasaannya ini tak kan pernah terbalas. mungkin dia harus menyembunyikan perasaannya memendam dalam jauh ke dalam lubuk hatinya mengkuncinya dengan gembok yang besar lalu kuncinya di buang ke tengah laut dalam. ia harus tau, ia hanya ingin sahabatnya bahagia. Liza bahagia, ia bahagia, sesederhana itu.
0 komentar:
Posting Komentar