Sebuah harapan

“Eh?” Misa terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Nel. Sungguh saat itu Misa tak pernah menyangka, dan belum bisa memahami apa yang dikatakan Nel. Kalau dipikir-pikir, kondisi Nel memang menjadi aneh akhir-akhir ini, dan keanehan itu mulai terlihat setelah liburan semester 1 kemarin…
****
“Nurramdhani, jangan lemas begitu! Semua juga kepanasan sekarang!” Bentak Bu Ira. Terlihat Nel sedang memegangi kepalanya dan terkadang hampir tertidur. “Kamu nggak apa kan Nel?” Tanya Misa.
“Iya, aku baik-baik aja kok..” Jawabnya.
Misa tidak terlalu mempercayai apa yang dikatakan oleh Nel. Jelas-jelas dia sering terlihat lemas, Dan Berhari-hari selalu Diare..
Selama 4 hari Nel absen sekolah. Dia terkena masuk angin dan sulit sembuh. Dan ketika Nel mulai masuk sekolah seperti biasanya, Misa menyadari keanehan lagi pada Nel. “Wah, Nel tambah kurus ya? kok bisa sih.. sejak kapan?”
“Ya begitulah.. aku juga kaget, Padahal makanku teratur.” Kata Nel sambil memakai baju olahraganya. “Lho Nel, kamu habis makan apa? lidahmu ada putih-putihnya tuh.. Nih, kaca!”
Nely baru sadar di lidahnya ada flek-flek putih. Flek-flek itu nampak jelas. “Ayo semuanya..! Buat 2 baris. Cepat!” Teriak pak Khoir, Guru olahraga. Semuanya melakukan pemanasan selama 5 menit. Dan mulai berhitung dari arah kanan. “Tu… wa…ga…pat! tu.. wa…ga.. pat! tu…..”
“Nely, Kamu nggak bersuara sama sekali! Ada apa?” Tanya pak khoir. “Eng.. ngak… pak.. Saya baik-baik aja.” Jawab Nely dengan wajah pucat.
“Kamu harus periksa ke rumah sakit Nel.. Dari minggu lalu kamu selalu seperti ini..”
“Baik pak kh..” BRUUK!
“Nely!?” Nel jatuh pingsan. Serentak teman-temannya dan pak khoir langsung mengangkat Nel ke UKS. Pihak sekolah menelepon orangtua Nel karena setelah berjam-jam Nel tak sadarkan diri di ruang UKS. Akhirnya setelah melihat keadaan anaknya, orangtua Nel memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.
****
“Kemarin aku uda bilang sama Surya..”
“Bilang apa Nel? Nggak mungkin kan kamu…” Misa tak mau melanjutkan ucapannya. Ia tak habis pikir, Sahabatnya yang cantik dan pintar ini, Nely Nurramdhani akan terjangkit penyakit yang sampai sekarang obatnya belum bisa ditemukan, yaitu penyakit “AIDS”. Menurut orangtuanya, Penyebab Nel terkena virus HIV itu ketika sedang berlibur bersama orangtuanya di luar negeri.” Waktu di luar negeri, Nely pernah kecelakaan dan menerima transfusi darah.. Mungkin saat itulah ia terkena darah dari orang yang punya penyakit ‘AIDS’.. Tapi itu saat Nel masih kelas 3 SD, Mana mungkin dia tertular 8 tahun lalu.” Jelas Ibu Nel. “Dan padahal waktu di luar negeri, ia dirawat di rumah sakit besar.. Hingga hari ini kami tak pernah mencurigai mereka. Sebagai orangtuanya kami tak menyadari hal itu. Kalau saja dia diperiksa lebih cepat..” Ibu Nel menangis terisak-isak. “Konon.. hiks… daya tahannya kini hanya 1/5 dari… hiks.. orang biasa.. Dan Nely bisa komplikasi kapan saja..” Misa menenangkan Ibu Nel. Dan tanpa sadar Air mata Misa pun ikut mengalir.
‘AIDS? Itu kan penyakitnya Atlet luar negeri, musisi dan artis-artis ternama yang pergaulannya bebas. Kenapa Nel bisa terkena penyakit itu..’ Pikir Misa. Misa memegang tangan Nel dengan erat. “Terus apa kata Surya?”
Nel menggelengkan kepala. Bicara tentang Surya, dia adalah pacar Nel dan juga teman sepermainan Misa dari kecil. Mereka bertiga selalu akrab sejak kelas 3 SMP. Meskipun bertepuk sebelah tangan, Misa menyukai Surya, Namun ia tidak bisa mempercayainya ketika Nel berkata, “Aku jadian ama Surya” .
Sejak Nel mengatakannya, Misa merasa terpukul dan merasa patah hati. Rasa menyesal karena telah mempertemukan Surya dengan Nel akhirnya lenyap pada bulan Juni lalu. Sekarang ia merasa bahagia dengan adanya Surya untuk melindungi Nel.
Sepanjang perjalanan pulang Misa terus berfikir dalam hati, “Jadi Nel tertular virus HIV.. Dia pasti syok dan putus asa mendengar hal ini.. Tapi dia harus mulai menyembuhkan dan menjaga dirinya sendiri. Agar tidak menulari orang lain, kurasa Nel nggak boleh nyembunyiin hal ini. Dan ia nggak boleh melakukan hubungan se…”
‘TAP! ’ Langkah Misa terhenti. Ia baru sadar, bahwa mungkin saja hal ini terjadi di antara Nel dan Surya.
****
Misa memandang Surya dengan tatapan penuh tanya. 5 menit mereka saling terdiam.. Tiba-tiba Surya mulai bicara, “Terlambat… Mungkin aku sudah tertular Nely..”
Misa masih belum paham maksud Surya, dan bertanya, “Maksudnya.. kalian…?”
“Bukan! bukan kayak gitu..! Tapi.. aku kan… uhuk… sering keluar dan jalan-jalan ma Nely.. Mungkin saja aku tertular.. uhuk..” kata Surya dengan panik. “Aku harus.. uhuk.. bagaimana? aku bingung..! .. uhuuk.. uhuk..”
“Sur… kamu kenapa? sakit?” Misa khawatir karena dari tadi Surya batuk-batuk. “Uhuuk.. uhuuk.. uhuk.. haah.. haah..” Surya memandang tangannya. Ia menelan ludah.
“Belakangan ini tubuhku terasa lemas.. Demam, Flu dan batukku terus berlanjut.. Tenggorokanku juga sakit.. ini pasti….” “Kamu ngomong apa sih Sur? masa’ dadakan gitu.. mungkin itu cuman masuk angin bia…” belum sempat Misa meneruskan, Surya langsung menyelanya. “Setelah 2 minggu tertular, katanya akan muncul gejala seperti masuk angin..” Misa tak mampu berkata-kata melihat wajah Surya yang pucat. Sambil melewati Misa, Surya berkata, “Mungkin.. akupun terjangkit ‘AIDS’..”
Misa terdiam kaku. Dalam hati ia bergumam, “Bagaimana denganku? apa aku baik-baik saja? Apa sampai hari ini aku pernah menyentuh darah Nel?” Hal itu terus dipikirkannya berhari-hari. Setelah berpamitan dengan kedua orangtua, Misa mengendarai ‘MIO’nya. “Misa pergi dulu Buk.. pak.. Assalamualaikum..” Sepanjang perjalanan Misa menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu ada yang jualan Bunga. Soalnya Misa merasa tidak enak kalau tidak membawa apa-apa untuk Nel.
“Tok.! Tok!” Tangan Misa mengetuk pintu. “.. Masuk.” “Gimana kabarnya Nel? Uda agak mendingan? Nih, aku bawain bunga, aku taruh disini ya.”
‘Gawat… suaraku datar.. aku harus bersikap biasa..’ Pikir Misa dalam hati. “Misa…” Panggil Nel dengan suara pelan. “Iya? kenapa Nel..” Misa menghampiri Nel yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit.
“Apa aku menularinya ya? Soalnya kami sering bersama.. memang kami tidak pernah macam-macam.. Ta.. tapi aku takut.. Dia akan tertular olehku..” wajah Nel terlihat cemas, ia hampir menangis.
“Belum tentu begitu kan? kita kan belum tahu..?” Tiba-tiba Nel memegang kedua lengan Misa. “Apa kamu bisa bukti’in kalo surya nggak tertular? Hah? ! .. Uhuuk… Uhuuk… Uhuk.! .”
Reflek Misa langsung mundur ke belakang, Seketika Nel terkejut. ‘Ah. Bodoh.. kenapa aku menjauh?’ Pikir Misa.
Mereka berdua terdiam. Nel melihat wajah Misa yang berkeringat. Ia tahu sesuatu… “Misa, kamu kepanasan? Minum aja Minuman Botol yang ada di meja..” Misa melihat Minuman Botol di meja yang sudah sisa diminum oleh nel.
“I.. Iya.. Nel.” Misa gemetar, Dalam hati ia berfikir, ‘Aku tidak boleh terlihat tegang didepan Nel.’ Tangan Misa meraih Minuman botol itu. Dalam hitungan detik bibir Misa dan Mulut botol itu akan menyentuh.
“PLAAAK!” Nel menumpahkan minuman itu. Ia menangis, “Tanganmu gemetar! Keliatan banget!” Misa hanya terdiam. “Menurutmu aku kotor? Ya..! virus itu bisa masuk lewat ludah.. Terus ngapain kamu kesini? Pulang sana! Huuu… huu…” Nel mulai melempari Misa dengan berbagai macam barang. “Nel… aku..”
“PERGI!” Teriak Nel. Misa langsung berlari keluar, ia menangis. Para Suster dan dokter berdatangan ke kamar Nel. Nel masih meraung-raung, “Kenapa..? padahal aku nggak bersalah..! Kenapa harus aku..!”
****
Misa tahu, virus itu tak akan tertular lewat ludah.. Tapi siapapun pasti akan bersikap seperti itu. “Nel.. Maafkan aku” Gumam Misa dalam hati.
Misa tidak hanya berdiam, ia membeli buku-buku tentang AIDS. Lalu sampai rumah dibacanya buku-buku itu.
“AIDS.. Konon penyakit ini cenderung menjangkiti kaum H*mos*ksual dan pemakai nark*ba dengan jarum suntik.. Banyak yang mengira tertular virus ini berarti mati. Namun aku sendiri salah. Begitu tertular virus HIV, maka sistem kekebalan tubuh akan hancur dan akan dikalahkan dengan mudah oleh bakteri. Terkadang virus itu juga mengakibatkan Tumor ganas. Meskipun dikatakan AIDS membawa kematian, sebenarnya yang membunuh orang bukanlah virus AIDS sendiri. Terkadang ada orang yang 8-10 tahun belum memperlihatkan gejala AIDSnya. Penularan dan gejalanya berbeda.. Jadi Nel bukanlah penderita melainkan penular HIV. Konon ada pula yang hidup sampai umur 90 tahun dan tak pernah memperlihatkan gejala.” Misa membuka buku yang lain, “Menurut buku ini.. seseorang akan mati 1-2 tahun setelah tertular, namun belakangan ini orang yang bertahan hidup hingga 5 tahun semakin bertambah.. Menurut info yang lain, obat yang dikembangkan belakangan ini menunjukkan efek baik pada orang yang menunjukkan gejala maupun yang tidak.” Misa tersenyum lega, ‘Ya.. Nel sedang berusaha untuk sembuh. Ini adalah masa-masa penting baginya!’
****
Pagi ini, Misa mengharapkan sesuatu yang berbeda di sekolah, karena tanpa Nel disekolah rasanya sepi. “Hai teman-teman..?” Tiba sesosok wanita masuk ke kelas dengan riang dan ternyata itu adalah Nel! Misa terkejut. “Nel? !” “Ah, Misa! Maafin aku ya waktu itu.. OK? Hehe..” Nel tersenyum. Misa bersyukur Nel kembali seperti biasanya. “Nel? kok lama nggak masuk sih?” Teman sekelas Nel langsung mengerubunginya dengan pertanyaan.
“Ah, ntar aku jelasin deh..”
Didepan kelas Nel menjelaskan alasannya. “Kata dokter, salah satu metode peyembuhannya adalah berpikir positif.. Kalau aku mengeluarkan darah karena suatu hal, aku akan membersihkannya sendiri agar yang lain tidak terkena, jadi tenanglah. Aids tidak menular lewat udara seperti angin, jadi sehari-hari kalian tidak perlu cemas. Jadi aku pun akan ikut Rekreasi nanti.. Mohon bantuannya!”
Hening. Semua memasang wajah cemas. Tiba-tiba suara tepuk tangan dari pak Khoir, yang sekarang menjadi wali kelas mereka memecah kehingan. “Plok! Plok! Plok!” “Pak guru..” Nel menoleh ke arah pak khoir dan menundukkan kepala.
“Plok! Plok! Plok! Plok! Plok!” Serentak semuanya ikut bertepuk tangan.
‘Aku ingin membantu Nel, aku harus tegar! ’ Misa bertekad.
Akhirnya sampai juga pada hari H, Rekreasi mereka ke sebuah kota terkenal yang banyak akan hiburannya dan menginap 2 hari 1 malam. “Wah.. Udaranya sejuk… hehe” Nel menggandeng tangan Misa. “Iya… ayo kesitu..!” Misa dan Nel berlari-lari.
Nel mengeluarkan obat-obatan dari tasnya dan meminum semuanya. “Obat apa aja itu Nel?” tanya seorang temannya. “Ini obat untuk mengontrol perkembangan virus dan daya tahan tubuh, faktanya konon obat ini bisa mengurangi virus dalam darah hingga tak bisa dideteksi.” Jelas Nel. “OH.. berarti AIDS bisa disembuhkan dong? !”
“Hm… obat untuk menuntaskan virus memang belum ada.. Tapi setidaknya dengan obat ni perkembangan virus masih bisa dihambat.”
Misa lega Nel baik-baik saja, tiba-tiba ia mendengar murid-murid dari kelas lain berbisik-bisik, “Ssst… Itu ya anak yang kena AIDS? wah.. jangan-jangan ketularan Om-om.. Ha.. ha.. ha..” Misa hendak berlari ke arah murid-murid itu untuk memarahi mereka, tapi Nel menghalanginya dan menarik lengannya lalu berkata, “Sudahlah.. Terserah apa kata mereka.. Uggh..” Tiba-tiba wajah nel pucat. Misa segera membawanya ke kamar mandi. “Hueeek..”
Diare, sakit kepala, kurang darah, mual dan sebagainya. Obat pun punya efek samping. “Efek sampingnya nggak separah itu.. aku baik-baik aja kok..” Nel meyakinkan teman-temannya untuk tidak khawatir.
“Melihatmu kami jadi stress tau’.. jangan terlalu memaksakan diri.” Nel tersenyum. Akhirnya mereka semua kembali ke Hotel untuk makan siang.
“Lho.. masih banyak gini capjay-nya, emang kalian nggak mau? ya udah buat aku sama Misa aja..” Teman-teman yang lain terlihat agak menjauh. Misa sebenarnya tahu apa yang dipikirkan mereka semua.. Tapi ia tidak mau berpikir macam-macam. Namun semakin Nel bersikap ceria, semua orang semakin menjauh..
****
Malam hari, waktunya bagi semua murid untuk beristirahat, entah kenapa Misa dan Nel mendapat tempat tidur paling pojok dan agak jauh dari yang lainnya. Tapi mereka tidak mau memikirkannya. Nel langsung tertidur pulas. ‘Nel pasti kelelahan..’ pikir Misa.
‘Pemulihan… bagaimana kalau aku mengidap penyakit yang sama dengannya.. Mungkin aku tak sanggup dan tak punya keberanian sepertinya.. Apa tak ada yang bisa kulakukan selain berada disamping Nel? Apa aku bisa berjuang bersamanya…?’
Mentari pagi bersinar, Murid-murid sedang mempersiapkan dirinya untuk sarapan pagi dan melanjutkan rekreasi. Terlihat di ruang makan Pak Didik sedang berbicara dengan salah satu pelayan yang sedang menyiapkan makan. “Eh murid pengidap AIDS?” Tanya pelayan itu.
“Ya, dia sangat bersemangat mengikuti Rekreasi ini, saya pernah dengar ada sekolah yang tidak menerima pengidap AIDS, tapi aku tak bisa memaafkan itu.. Tentu sekolah kami menerimanya… blaa.. blaa…” pak Didik terus berbicara, Guru-guru lain menegurnya, “Ehm…! Pak Didik!” Pak Didik langsung menyadari arti ‘Dehem-an’ dari Pak Khoir. “Ah.. i.. iya, benar juga.. maaf pak..”
Para pelayan langsung berkumpul dan berbisik, “Yang mana ya anaknya..?”
****
Para murid perempuan ribut. Mereka membicarakan sesuatu. “Jangan-jangan…” “Iya. Pasti ini..” “Darimana mereka tahu ya?” Para siswi saling meributkan Sebuah piring dan gelas kertas untuk satu orang di meja mereka. Misa dan Nel menuju ke arah mereka. “Ada ribut-ribut apa? aku laper nih..” kata Nel.
‘DEG!’ Dada Nel seakan ditusuk beribu jarum. Misa pun terkejut dan ia langsung menyambar piring dan gelas itu. “Biar mereka ganti Nel!”
Nel memandang dengan wajah lemas, ia berkata, “udahlah.. biarin aja..” Nel berlari menuju tangga turun. Ia menangis. Karena tak memperhatikan langkahnya, ia terjatuh. ‘GUBRAAK!‘ “Nely…!” teriak Misa. Pak Khoir langsung turun menghampiri Nel. “Gawat… Kulit kakinya sobek! Cepat panggil ambulans! Kalau kumannya masuk lewat luka ini bisa bahaya..!” Beberapa menit kemudian Ambulans datang, Pak Khoir langsung membopong Nel ke dalam mobil Ambulans. “Maaf… saya membuat anda kerepotan lagi..” Nel meminta maaf. “Tidak.. pokoknya kamu harus dibawa ke RS terdekat.”
Setelah mobil ambulan pergi, murid-murid yang lain masih ribut. “Iih… darahnya Nely… Siapa tuh yang mau ngebersihin..?” “Tanganku luka nih.. nggak bisa..” “Aku juga nggak ah..”
Cleaning service datang dengan membawa ember dan alat bersih lainnya, tapi ia kelihatan enggan untuk membersihkannya. Misa yang melihat hal ini pun langsung mengambil lap yang dipegang cleaning service itu. “Biar saya saja..” Setelah memakai sarung tangan, ia langsung mengelap darah di lantai.
“Munafik!” Kata seorang temannya.
‘Ya… mungkin memang begitu.. mungkin aku berfikir, aku ini orang baik.. beda dengan kalian.. Aku tidak bisa memaafkan atas ketidakberdayaan diriku.. Apa mungkin aku hanya bersimpati padanya..?’ Misa terus memikirkan hal ini.
****
“Misa… ada Surya nih..!” “Iya ma.. bentar..” Misa langsung berlari ke depan pintu.
“Surya? ngapain kamu?” Tanya Misa. “Kemarin dan hari ini aku ke rumah Nel, Aku dengar dia sudah pulang…”
“Dasar..! kamu ini..” Misa menangis sambil memukuli bahu Surya.
****
“Saat rekreasi kemarin, kakinya terluka sehingga dia opname lagi.. kuman masuk dari lukanya hingga bernanah.. Wajar kamu nggak tahu.. kamu kan nggak ikut.” Jelas Misa.
Surya berkata dengan suara gemetar, “… Waktu mengetahui Nel terkena AIDS, aku menyesal karena menyukainya.. Saat pemeriksaan pun aku merasa berbuat salah, sehingga aku membenci Nel. Diriku dipenuhi kebencian.. Sebelum mendengar hasilnya.. aku berniat bunuh diri… Tapi.. Ternyata dari hasil pemeriksaan… Negatif aku tidak tertular.”
‘Surya pun… berjuang melawan rasa takutnya… aku tak bisa membayangkannya.’ Pikir Misa. “Saat itu Nel berdo’a agar aku tidak terular.. sementara aku hanya memikirkan diriku saja.. Entah apa yang bisa kulakukan untuknya…” Lanjut Surya.
Misa menangis. ‘Apa yang sebenarnya kami perjuangkan? Berada disampingnya saja takkan membantu.. Kalaupun aku tertular.. Aku pasti merasakan hal yang sama.. Tapi apa aku bisa berbagi penderitaan? ’ “Mungkin hanya Dokter dan Allah yang bisa menolongnya.. Tapi.. pasti ada yang bisa kita lakukan.. Iya kan..?” Kata Surya. “Ya… Pasti ada..” Misa tersenyum.
****
1 Bulan setelah Nely diopname
Surya berlari secepat mungkin. Dengan ngos-ngosan dia mengetuk pintu rumah Misa. “Tok.. tok!”
“Surya?” “Misa! Gawat! haah.. haah… Ikut aku ke RS.” Surya langsung menarik tangan Misa.
“Haah… haah…” Misa dan Surya kelelahan karena harus berlari untuk sampai ke RS. Sesampai di kamar Nel, Misa mendapati Nel terbaring lemas di ranjang dengan hidung dimasuki selang. Ternyata Nel terkena radang paru-paru.. Itu artinya AIDSnya makin parah. Akhirnya tiba juga hari itu, Virus AIDS telah menggerogoti tubuh Nel, dan Hari ini Misa dan Surya mengetahui sebuah fakta baru. “Padahal tiap hari dia banyak minum obat pengurang virus dan penambah daya tahan tubuh. Tapi kenapa gejalanya makin parah? Sialan! ‘BRAAK!’ ” Surya menendang pintu Ia terlihat kesal.
****
“Selamat pagi!”
‘Suara ini, suara khas Nel’pikir Misa. “Nel..? Kamu pulih?” Seketika Misa dan teman-teman lainnya langsung bertanya-tanya.
“Hehe… Iya.. Aku baru keluar dari rumah sakit..” Nel tersenyum. “Hah? Berani banget kamu.. keluar dari rumah sakit langsung sekolah…” kata temannya. “Nel.. maafkan kami semua ya.. Kami pernah menghindarimu.. Tapi setelah mendengar penjelasan dari Pak Khoir, kami semua langsung sadar… Mulai sekarang bertindaklah apa adanya… Ya? Kami semua selalu mendukungmu!” Dukungan dari teman-teman membuat Nel terharu. “Terimakasih semuanya…”
Misa senang Nel terlihat sehat. Tapi ada sesuatu yang berubah dari penampilan fisiknya.. Kulitnya yang biasanya halus dan lembut sekarang menjadi bintik-bintik dan berjerawat. “Karena nggak punya kekuatan untuk sembuh, kulitku berjerawat dan susah hilang. Rambutku pun sering rontok…”
Berhari-hari Nel menjalankan aktivitas di sekolah dengan ceria. Tapi Misa tahu, Nel hanya berpura-pura sehat di depan orang. Dia sungguh berbeda, semua orang tau dia makin lemah. 6 bulan kemudian Nel kembali diopname.
****
“Kamu mau menjenguk Nely lagi?” Tanya Ayah Misa. “Memang nggak boleh?” Kata Misa sambil memakai sepatunya. Ibunya menghela napas, dan berkata “Orang sakit tak ingin orang lain melihatnya ketika dia terbaring dia nggak bakal bisa istirahat.”
“Kenapa bilang gitu? Apa ayah sama ibu masih belum paham penyakit apa yang diderita Nely?” “Yang belum paham itu kamu! kamu bilang akan berjuang bersamanya.. Tapi apa kamu berniat menaiki kereta yang sama dengannya..? Apa kamu bisa selalu berada disampingnya, apapun yang terjadi?” Kata Ayahnya. “… ya, aku bisa!”
Sesampai di RS, Misa memakai masker di kamar Nel karena dianjurkan oleh Dokter. “Ini catatan Matematika, kimia dan Sejarah.. Aku pikir kamu memperlukan ini semua… Ayo belajar bareng!” Misa menawarkan. Tangan Nel menarik masker yang dipakai Misa. “Uda.. nggak usah pake’ masker, nafasmu sesak kan? mau dicegah macam apa pun, kalau masuk ya masuk saja.”
“Nel..? kok ngomong gitu sih?” “.. aku nggak perlu ini..” Nel menggeser buku-buku pelajaran Misa. “Mungkin aku tak akan bisa keluar lagi.”
“Nel!? Kamu nggak boleh ngomong gitu..!” ‘BUUK!’ Nel memukul meja. “Semangat aja nggak berguna tau’! Setelah penyakit ini sembuh.. pasti aku akan diserang penyakit yang lain.. Semua ini nggak akan berakhir..!” ‘Nel… Kenapa gini lagi? jangan kalah dengan perasaanmu.. kamu pasti bisa menjalani ini semua.. ’ Pikir Misa.
****
Nel berjuang melawan diskriminasi dan dirinya sendiri. Mentalnya hancur lebih dulu daripada tubuhnya… Siapa pun pasti tak ingin terkena penyakit ini. ‘PRAAANG! ’
Nel memecahkan vas bunga di kamar RSnya. “Barusan mama bilang ingin menggantikanku? ! Mama bilang gitu karena nggak bisa kan? ! Terus… kenapa papa nggak masuk kantor? ! Toh Menemaniku takkan menyembuhkan penyakitku!” Nel mencengkram kerah baju Papanya.
“Nel..? Ini kami bawa’in makanan…” Tiga orang teman sekelas Nel datang menjenguk dengan membawakan makanan. Tanpa diduga, Nel melemparnya. ‘BRAAK! ’ “Ngapain kalian? Jangan melihatku seperti itu! Di rumah kalian masih bisa makan, tertawa dan juga belajar! Kalian punya kehidupan masing-masing kan? ! Kalian kemari karena merasa lega dan berfikir, “Beruntungnya aku”, Iya kan? !” Nel mengamuk. Lalu Misa dan Surya yang berdiri di depan pintu kamar Nel hanya tersenyum, Mereka bisa menerima Nel yang seperti itu. “Nel.. tenanglah.. aku ada disini.. aku nggak akan ninggalin kamu lagi?” Surya memegang kedua lengan Nel. “Sur… kamu pacarku kan?” ‘CRAASH! ’
Tiba-tiba Nel mencabut Jarum infus dari tangannya sehingga berdarah.
“Kamu mau kan mati bersamaku? Aku nggak mau mati sendirian!” Nel mengarahkan jarum infus ke arah lengan Surya dan mendorongnya ke dinding. “Nel jangan…!” Teriak Misa.
‘JLEB! ’
“…” “Kenapa… kamu nggak menghindar… Sur..?” Suara Nel gemetar. Surya balik bertanya, “Kenapa kamu nggak mengenaiku..?” Jarum infusnya menancap di dinding dan tidak mengenai lengan Surya. Nel meneteskan air matanya. Ia menangis meraung-raung.
****
Misa terus memikirkan hal apa yang bisa ia lakukan untuk nel. ‘Aku… belum menemukan hal yang bisa kulakukan untuk Nel. Apa kalau aku berjanji mati bersamanya, dia akan tenang? Saat Nel mengacungkan jarum itu, kakiku terasa kram. Apa aku mau naik ‘kereta’ bersamanya? apapun yang terjadi, apakah aku.. Ya. Meskipun aku bilang akan berjuang bersama Nel… Aku bisa turun dari ‘kereta’ kapan saja. Tapi Nel takkan pernah bisa… Hanya itu yang kupahami.’
Sepulang dari RS, hari-hari baik terus berlanjut.. Tapi Nel masih sering keluar-masuk rumah sakit.. Seringkali ia tak boleh menerima pengunjung. Daya tahan tubuhnya semakin menurun. Misa tidak bisa melakukan apa-apa selain belajar untuk persiapan ujian. Menjelang 1 bulan ujian kenaikan, Nel bangkit kembali. Saat ini ia sangat lemah sampai harus memakai alat bantu kursi roda. “Misa… Misa… Ayo kita jalan-jalan!” Teriak Nel dari depan rumah Misa. Ia tak sendiri, Surya juga ada untuk membantu Nel.
Mereka mengendarai mobil kakek Surya dan setelah berdebat akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke pelabuhan. “Waa… Dingin.. hehe.. Ayo foto-foto!” Nel mengambil kamera dari tasnya dan mulai memotret. Sambil memandangi Nel, Misa baru sadar bahwa sejak tahu Nel tertular Misa tak pernah tertawa sebahagia ini. “Ya. Saat sedih sekalipun… Aku harus coba tertawa!” pikir Misa.
“Eh… Foto tadi bagus banget.. Mungkin foto barusan akan jadi kenangan terakhir kita… Tapi jangan nangis ya saat lihat foto itu..” Misa dan Surya terkejut dengan apa yang dikatakan Nel.
“Kalaian mau janji? Ingatlah diriku saat tertawa begini, bukan diriku di Rumah Sakit. Raya’in hari Ulang Tahunku.. Bukan Hari Kematianku.. Setelah aku meninggal.. Surya harus cari pacar baru dan ngelupa’in aku.. Tapi jangan cerita ke pacarmu ya soal aku! Masa’ kamu bilang ‘Mantan pacarku meninggal’! … Oh iya.. Ada baiknya mengucap salam perpisahan sebelum mati. Hehe..” “Ngomong apa sih! Udahan deh becandanya Nel! Bosen tau’!” Terang Misa.
“Misa… Surya.. Aku takkan menang melawan virus ini… Aku takkan sembuh sekalipun seluruh darahku diambil.. Begitu otakku diserang, aku akan melupakan kalian berdua.. Dan akhirnya tubuhku akan hancur..!”
“Mungkin hanya sekarang aku bisa mengucapkan selamat tinggal.” Nel mendorong kursi rodanya ke belakang dan. Mendadak Ia dan kursi rodanya terpleset turun tangga. “Kyaaa!” Nel menjerit kecil. Ia terjatuh dari kursi rodanya. Misa dan Surya menghampirinya. “Nel.. kamu nggak apa-apa? ! Apa maksudmu bilang begitu? !”
“.. Virus ini tak akan menghilang kecuali aku mati..” Tiba-tiba Nel memejamkan matanya. “Nel…! Nel…! Bangun..!” Misa dan Surya berteriak.
****
2 Tahun Kemudian.
Terlihat Misa sedang duduk melamun di peron kereta api. Ia seperti sedang tenggelam memikirkan sesuatu, ‘2 tahun lalu.. Saat tahu dirinya tertular AIDS pada waktu kelas 2 SMA.. Lalu dia berusaha pulih di kelas 3.. Dan saat penyakitnya kian parah di bulan berikutnya.. Gejala penyakitnya muncul berulangkali.. Setiap hari ia selalu bilang ‘Akan mati’ saat itu aku tidak pernah menyangka.. Aku merasa semua itu tak pasti.. Karena.. Sampai sekarang pun Nel masih sehat.’ “Misa..! Nunggu lama?” Nel melambaikan tangannya ke arah Misa, ia sedang bersama Surya. “Iih.. kamu itu.. Lama banget tau’… Ayo berangkat.”
1 tahun lalu, setelah jatuh dari kursi roda, ia pingsan dan segera dibawa ke rumah sakit. Setelah bangun, Misa memarahinya dan menasehatinya, begitu juga dengan surya. Kata-kata yang membuat Nel bangkit kembali adalah, “Nel tak mungkin mati!” yang diucapkan oleh Surya. Bulan april, Nel bisa naik kelas bersyarat meskipun ada nilai yang kurang. Daya tubuhnya yang mendekati Nol perlahan-lahan mulai pulih. Dengan begitu, dia bisa hidup dengan normal.. Dan sejak itu Nel tak pernah terlihat sakit. Ia melanjutkan kuliahnya ke UNAIR Surabaya bersama Misa dan Surya.
“Eh Misa.. Surya.. Uda dateng tuh keretanya.. Ayo buruan..” Nel menarik tangan Misa dan Surya. Setelah duduk di kursi kereta, mereka menaikkan barang-barang mereka ke bagasi atas. Liburan ini mereka ingin pulang dan menghabiskan waktu bersama. Dalam perjalanan, tidak sengaja mereka mendengarkan bapak-bapak yang sedang bercakap-cakap
“Lihat nih berita di koran, katanya Vaksin AIDS sudah dikembangkan!” Kata bapak yang berkumis tipis. “Dengan vaksin itu rasanya bisa sembuh total dalam 2-3 tahun.. Tapi.. Setiap penyakit pasti bisa disembuhkan jika Allah menghendaki…”
Ya… obat untuk menyembuhkan AIDS hampir sempurna. Misa telah menaiki kereta yang sama dengan Nel. Ia pikir bakal mati karena kecepatannya! Namun.. Sekarang mereka bisa pergi ke stasiun terakhir bernama “Sembuh Total”. Itu bukan Mukjizat lagi. Merekapun.. Bisa segera turun bersama.
SELESAI
Cerpen Karangan: Seya Zunya Uchiwa
Facebook: selly yunia

2 komentar:

Posting Komentar

Waktu yang hilang

5 januari 2012
Tertegun ku memandang monitor di depan mataku, tangan ku ini berasa kaku untuk melanjutkan pekerjaan ku. Setumpuk kertas masih tersusun di meja kerjaku, masih sedikit yang bisa ku selesaikan hari ini, aku tertunduk lesuh. Ku selesaikan sedikit demi sedikit pekerjaan ku ini, meski aku merasa kurang enak badan. Jam menunjukan pukul 17.00 pertanda jam kerjaku selesai, ku beranjak dari tempat kerjaku dan langsung menuju kampusku. Tapi dari tadi aku merasa ada yang ga enak dengan perasaanku ini, tapi tetap ku melaju menuju tempat ku menuntut ilmu.
Mata kuliahpun selesai dan aku segera pulang kerumah. Ku lempar tasku dan bergegas tuk segera mandi, rencana setelah mandi dan sholat isya, aku akan segera pergi tidur dengan keadaan ku yang kelelahan. Baru sebentar ku merebahkan tubuhku di tempat tidur, ponsel ku bordering terpampang sebuah nomor yang tak bernama.
“Hallo, Assalamu’alaikum” ucapku
“Wa’alaikum salam, bisa bicara dengan Ina?” jawab dari seberang yang terdengar agak bising.
“iya, dengan siapa ya ini?” tanyaku
“Na, ni aku Doni… aku mau kabarin kamu kalau si Raka kecelakaan dan dia sekarang menuju ke Semarang tuk di makamkan di kampung halamanya”
Aku terdiam, tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Jantungku terasa berhenti berdetak saat itu juga, ponsel yang ku pegang terjatuh dan tak ku dengar lagi suara dari arah seberang. Air mataku mengalir deras seketika, dalam keadaan yang sangat kalut ku ambil tas ranselku, jaket serta dompet dan segera ku memakai sepatu. Aku menuju ke ruang tengah untuk berpamitan pada ayah dan ibuku yang sedang menonton TV di sana beserta kakaku.
Setelah kujelaskan, Ayah dan Ibuku pun mengizinkanku untuk ke Semarang menghadiri pemakaman Raka dengan syarat di temani kakaku Aldi. Kami pun langsung menuju terminal untuk ke Semarang, beruntung ada bus yang belum berangkat pada jam 22.30. Dalam perjalanan air mataku terus mengalir walau kak Aldi terus menghiburku. Kal Aldi pun ga berani bertanya banyak kepadaku tentang Raka, dia hanya mencoba menasehatiku untuk sabar dan Ikhlas. Rasanya ingin sekali aku cepat sampai di kediaman Raka dan ingin melihat nya untuk yang terakhir kalinya. Yang aku rasakan perjalanan malam itu pun sangat lama sekali.
Jam 08.00 pagi aku sampai di semarang, aku dan kakaku pun langsung menuju kerumah Raka.
Dan benar adanya di rumah Raka sudah Nampak banyak orang berkumpul dengan air mata yang berlinang. Aku masih tertegun memandang sesosok tubuh yang kaku dan sudah tertutup kain dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Nampak pula seorang wanita yang sudah tak asing lagi di mataku Wina (yag ku ketahui tunangan Raka) di samping kanan jasad Raka. Jantungku semakin berdetak kencang setelah ku mendekat di samping Raka.
Ku tahan air mataku, dan berbisik pelan di depan kedua orang tua Raka.
“Pak, bu… bolehkah saya melihat Raka untuk yang terakhir kali nya?”
Orang tua Rakapun mengangguk pertanda menyetujui permintaanku. Ku buka kain yang menutupi wajah Raka, kupandangi wajahnya yang sudah tak akan bisa ku lihat lagi untuk kedepanya. Di raut wajah Raka tampak masih segar, masih ganteng seperti dulu saat aku bersamanya, aku pun membaca ayat untuk mendoakan Raka. Tiba tiba Ibu Raka memeluku erat sekali, aku masih menahan airmataku yang menggenang di mataku, aku ingin sekali menyaksikan pemakaman Raka jangan sampai aku tak melihatnya hanya karna aku ga kuat untuk melihatnya. Tubuhku serasa kaku, jantungku seperti berhenti berdenyut dan darahku berasa naik dari ujung kaki ke kepala. Sayup sayup kudengar ucapan Ibu di telingaku “maafin Raka dan Ibu yang selama ini mungkin membuat Ina sedih”
Aku tetap terdiam menyaksikan jalannya pemakaman Raka. Selesai di makamkan tubuhku serasa tak bergerak dan tak sadarkan diri.
Saat aku terbangun sudah ada Ibu, ayah Raka dan kakaku Aldi di sampingku.
“kak Aldi” panggilku lirih
Kak aldi pun mendekatiku dan membantuku untuk duduk. Ibu Raka pun kembali memeluku dengan tangisanya yang kencang tepat di telingaku.
“Na, kalau bukan karna Ibu mungkin ga akan seperti ini” ucap beliau tepat di telingaku
Ku biarkan Ibu Raka memeluk dan mencium keningku, padahal dalam hati bertanya “ada apa ini sebenarnya?” aku tak mengerti sama sekali.
“kenapa bu?, semua ini sudah takdir dari allah Bu, Ibu ikhlaskan saja kepergian kak Raka” Jwabku dengan bibir gemetar.
Ibu Raka pun melepaskan pelukanya, tapi dia hanya berkata “iya, kamu bener Ina… Ibu takut kamu terpukul dengan kejadian ini”
“Bukan saya yang harus ibu khawatirkan bu, Tapi Wina… dia yang butuh perhatian dari Ibu dan bapak. Dia yang tunangan Raka bukan saya” lanjutku
“Ibu menyesal memisahkan kamu dan Raka dan menjodohkan dia dengan wanita pilihan Ibu” terang Ibu Raka
“Ibu, semua ini sudah Takdir dari yang maha Kuasa, Ibu jangan menyesal, Ibu ga salah.. setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, dan saya juga menghormati keputusan Ibu. Saya Ikhlas bu, sekarang Wina dimana bu?” tanyaku
Wajah Ibu Raka tampak seperti orang kebingungan, Seakan ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan kepada ku. Sesekali beliau ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan karna beliau melihat Wina menghampiri kami.
Wina langsung memeluku erat seperti dia sudah lama tak bertemu denganku. Aku juga sangat heran melihat perilakunya yang menurutku agak aneh. Tiba tiba dia menyerahkan sebuah cincin ke tanganku. Dengan wajah keheranan aku pun bertanya “apa ini Win?”
“itu punya Raka, dia menyimpan ini sebelumnya untukmu, tapi aku terlanjur melihatnya lebih dulu dan kusangka itu untukku tapi ternyata tertulis namamu dan Raka dibelakangnya” jelasnya kemudian
Aku menginap semalam sebelum kembali ke Jakarta paginya bersama kak Aldi. Masih banyak pertanyaan setelah kejadian aku pingsan kemarin, Semua keluarga Raka tiba tiba bersikap baik terhadapku, padahal sewaktu aku bersama Raka mereka seperti ga suka terhadapku kecuali ayahnya. Walau masih banyak pertanyaan dan kejadian yang tak ku mengerti selama di rumah Raka, tapi aku harus kembali ke Jakarta. Akupun pamit dengan keluarga Raka untuk kembali ke Jakarta.
Di perjalanan menuju Jakarta ku pilih kereta untuk kembali ke Jakarta. Ponsel yang dari kemarin sengaja ku matiin pun ku hidupkan kembali, banyak sms, bbm, mention twiter dan pemberitahuan panggilan masuk dari teman kerja dan kuliahku bergantian masuk ke ponselku. Tak kujawab dan kembali ku matikan ponselku. Kakaku duduk di sampingku dan selalu menyemangatiku dgn keadaan ku yang sekarang ini. Kakaku pun tertidur, aku masih menikmati kereta melaju dengan cepat. Anganku melayang dan tertuju pada sosok Raka, masih teringat kenangan kenangan bersamanya dulu. Sampai akhirnya kami terpisah karena Ibu Raka tak menyetujui hubunganku dengan Raka kala itu.
****
Aku dan Raka bertemu saat aku masih satu kantor dengan dia. Waktu itu di kantin saat istirahat, aku sedang menikmati makan siang bersama teman temanku dia menghmpiriku, dan teman temanku pun pindah meja mempersilahkan kami tuk makan bersama. Aku yang kala itu tak mengenalnya, hanya dengar cerita dari teman teman kalau ada yang sering memperhatikanku dan mencari informasi tentangku. Ya itu Raka. Kami pun langsung akrab waktu itu karna aku yang cerewet dan humoris.
“Ina, boleh minta nomer HP nya ga?” Tanya Raka
“Hemmmm… boleh” jawabku sambil menyebutkan nomer HP ku, ku sembunyikan muka merahku.
Singkat waktu kami pun semakin hari semakin dekat, sampai satu kantor menggosipkan aku dengan Raka.
Hari minggu tanggal 1 agustus 2010 jam 14.00 dia datang kerumahku, penampilanya rapi aroma parfumnya yang khas yang aku suka membuatku semakin terpikat dengan Raka. Raka mengajaku untuk jalan jalan sebentar, karna aku ada keperluan untuk membeli sebuah buku jadi aku mengusulkan untuk pergi ke ke toko buku.
Kami pun sampai di toko buku yang berada di mall di Jakarta Utara. Raka mengikutiku dari belakang yang sedang sibuk mencari buku yang aku cari. Tiba tiba dia memegang tanganku, aku pun otomatis berhenti mencari buku dan tersenyum pada Raka.
“Ada apa kakak?” tanyaku
“Ke sini deh mendekat sebentar” jawabnya kemudian sambil menariku mendekat ke arah nya.
Lalu Raka mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berkata “Aku sayang Ina, Ina mau ga jadi pacarku?”
Tak bisa mengungkapkan kata kata, aku terdiam ingin tersenyum tapi ku tahan yang aku rasakan aliran darahku terasa mengalir deras di sekujur tubuhku, Jantungku berdetak sangat kencang, tiba tiba kaki ku terasa dingin dan gemetaran. Raka semakin kencang menggenggam tanganku, menatap wajahku dengan tatapan penuh harapan. Diapun mengulangi ucapanya “Mau ga jadi pacar kakak?”
Aku mengangguk dan tersenyum kepadanya “iya, Ina mau” jawabku lirih
Raka pun tersenyum sumringah sambil terus menggenggam tanganku erat sekali. Setelah aku menemukan buku yang aku cari, kami pun pergi untuk makan di KFC dekat toko buku itu.
Masih dengan wajah berbinar binar Raka terus memuji dan menggodaku dengan rayuanya.
“Kenapa kak Raka suka sama aku?” jawabku di sela canda tawa Raka
“hemmm… kenapa ea? … karna kamu manis, baik sama semua orang, suka menolong, cerewet dan ga bisa diem” Jawab Raka sembari memencet hidungku yang memang tak mancung.
“Terus kenapa kamu mau jadi pacar kakak?” balas Raka bertanya padaku
“hehe…” jawabku sambil nyengir
“kenapa malah nyengir begitu, jadi tambah jelek kan?” goda Raka
“iiiihhhhhh…” Ucapku manja sambil mencubit lengan Raka.
Selesai makan kami pun memutuskan untuk pulang.
Enam bulan berlalu, ternyata Ibu Raka tak menyukaiku. Aku tak tau harus berbuat apa, karena aku sendiri memang tak bisa menjalani hubungan jika tak mendapat restu dari keluarga. Ku putuskan untuk berpisah dengan Raka, meski aku masih sangat menyayanginya. Begitupun dengan Raka, karena kami sudah berbuat banyak untuk mendapat restu dari ibunya namun hasilnya Nihil.
***
Ku buka buku yang di berikan padaku oleh Ibu Raka sewaktu pamit pulang ke Jakarta. Ku baca bismillah dan ku baca tulisan di buku itu, tulisan itu sangat ku kenal, tulisan tangan Raka.
Halaman pertama.
2 Februari 2011
My Dear Ina yang slalu ada dalam hatiku.
Perpisahan ini sungguh membuatku terluka. Aku menyayangimu, aku mencintaimu, tapi aku juga menyayangi keluargaku terutama Ibuku, mungkin ini jalan terbaik untuk kita. Jikapun kita berjodoh kita akan di pertemukan kembali, karena tulang rusuk tidak akan pernah tertukar. Semoga kamu bisa bahagia tanpaku…
Maaf aku tlah mengecewakanmu, maaf aku tak bisa menepati janji janjiku…
Aku akan selalu menyayangimu Ina..
***
Halaman ke dua
30 Agustus 2011
My dear Ina..
Hari ini tepat setahun kita bersama. Masih ku ingat wajahmu yang malu malu saat ku nyatakan cinta. Sampai saat ini aku masih belum bisa melupakanmu. Dan kemarin Ibuku menjodohkanku dengan Wina, wanita yang baik menurut ibuku. Namun aku tak bisa menggantikanmu dengan dia. Aku ingin menolak namun aku tak bisa menolak keinginan Ibuku.
Aku ini lelaki bodoh, tak bisa berbuat apa apa…
Ina… maafin aku… maaf… maaf
***
Halaman ketiga
5 Januari 2012
My Dear Ina
Hari ini aku merasa sangat merindukanmu. Ingin ku menemuimu namun aku tak sanggup. Aku takut melukai perasaanmu kembali jika aku menemuimu kelak.
Aku dengar kamu sudah mempunyai pacar lagi, aku sangat senang mendengarnya. Aku turut bahagia karena akhirnya kamu membuka hati untuk yang lain. Ku panjatkan doa semoga kamu bahagia. Ina sayang… aku ingin melihat wajahmu yang sudah lama tak ku pandang. Terakhir ku lihat setahun yang lalu, itu pun kamu acuh terhadapku.
Ina… aku hanya ingin minta maaf, karena tak bisa menepati janji janjiku dulu. Ina sayang aku berdoa semoga kamu bahagia… aku disini selalu mencintaimu.
Aku kembali meneteskan air mataku. Tulisan ini yang bisa ku lihat sekarang, tulisan terakhir Raka sebelum kecelakaan. Aku memang membencinya, waktu itu namun itu karena aku takut jika aku terus mengharapkanya. Ternyata Raka masih menyayangiku sampai terakhir hidupnya.
Cerpen Karangan: Nafisa
Blog: http://nafeesakansa.blogspot.com
Facebook: http://www.facebook.com/nafeesa.kansa

0 komentar:

Posting Komentar

Bintang Kekasih

Begitu banyak bintang dilangit. Tapi mengapa kita tak bisa memiliki satu bintangpun diantara persekian triliun bintang itu? -Inez
Tentang Fadil
Sudah selarut ini aku belum tidur. Tak seperti biasanya aku begini. Aku benar-benar merasa tak enak pada Inez. Kemarin aku baru saja memutuskannya. Itu semua gara-gara aku melihatnya berjalan berdua bersama pria lain. Apakah selama hubunganku dengannya dia menyembunyikan semua ini?
Tapi aku benar-benar mencintai gadis ini. Aku cemas padanya kini. Salahku mengatakan kata-kata itu.
***
“Jadi selama ini kau..”
“Tidak, ini tidak seperti yang kau pikirkan, aku bisa menjelaskan semuanya” Pinta Inez padaku.
“Aku tak perlu penjelasan darimu semuanya sudah jelas! Mulai saat ini kita putus!” Bentakku padanya, aku berbalik tak ingin menatapnya. Aku benar mendengar langkahnya berlari pergi, dia berlari menjauh. Sementara pria itu memegang pundakku.
“Ini semua tak seperti yang kau lihat”
“Diamlah!” Aku menepisnya.
“Bahagialah bersamanya” Lanjutku.
“Brukk” Tiba-tiba ku dengar suara hantaman keras, aku langsung berbalik, pria itupun sama. Seketika aku tak percaya apa yang terjadi
“I.. nez”
Peristiwa itu, masih tergambar jelas tiap detik malam itu. Satu kenangan yang sangat ingin aku lupakan. Kenangan yang terlalu pahit untuk ku ingat. Namun aku benar-benar tak bisa menolak apa yang telah terhampar disini. Yang paling ku sesali adalah ketika mengetahui pria tersebut adalah kakaknya sendiri.
***
“Inez” Lirihku menggenggam tangan dingin kecilnya. Kini dia hanya bisa berbaring diranjang dengan bantuan alat pernafasan dan selang infusan ditangannya untuk menambah umurnya walau dalam keadaan tak sadar. Apakah dia akan koma selamanya?
Aku benar-benar dapat melihatnya kini. Melihat wajah ayunya yang lugu, mata bulat kecilnya yang tertutup, hidung mancungnya yang mungil, bibir tipisnya yang manis. Aku benar-benar masih ingat kenangan-kenangan indah yang mungkin terlalu manis untuk dilupakan.
“Mengapa bintang dilangit sangat banyak ya?” Ucapku padanya. Dia hanya tersenyum kecil mendengarnya.
“Begitu banyak bintang dilangit. Tapi mengapa kita tak bisa memiliki satu bintangpun diantara persekian triliun bintang itu?” Desahnya.
“Mengapa ada bintang dilangit?”
“Orang bilang, setiap orang meninggal akan diangkat jiwanya dan akan menjadi bintang dilangit. Dan bintang yang paling bersinar menandakan bahwa orang itu telah hidup bahagia disana” Jelasnya. Aku tersenyum mendengar dia. Diapun menyandarkan kepalanya dibahuku. Aku mendekapnya.
“Bintang dilangit memang tak bisa dimiliki. Tapi bintang yang ada disisiku bisa dimilki tidak ya?” Desisku padanya.
“Menurutmu?”
“Inez maafkan aku, sampai kapan kamu akan begini? Aku tahu aku adalah lelaki bodoh, aku bodoh, aku seharusnya tak memutuskanmu Inez” Isakku padanya. Aku sungguh tak kuasa menahan air mataku melihat keadaannya kini. Aku menyesal telah membuatnya seperti ini. Jika aku tak mengucapkan hal itu tak mungkinlah dia begini.
“Sudahlah ini hanya kecelakaan, jangan salahkan dirimu” Bella menyemangatiku. Aku hanya diam saja. Dan tetap melihat Inez. Aku menatapnya dalam-dalam, masih terlukis jelas dibenakku seuntai senyumnya. Senyum yang paling manis yang aku lihat.
“Kau tahu disekitar sini banyak ruh berkeliaran” Ucapnya menakut-nakutiku.
“Aku tak percaya” Kelakarku.
“Kau masih tak percaya? Ruh orang-orang yang sedang koma atau tak sadar sedang berada disini. Mereka mengintaimu Fadil, mereka ingin bermain denganmu” Ucapnya ditelingaku.
“Merekapun ingin bermain denganmu”
“Ish” Desahnya. Aku tertawa-tawa melihatnya.
Saat itu, dia bilang ruh orang yang koma atau tak sadar sedang berkeliaran disini. Tunggu. Berkeliaran. Apakah dia ada disini juga?
Ahh mustahil. Dia hanya bermain-main saja, aku tahu benar sifatnya.
“Aku disini” Seseorang mendesah.
“Apa siapa itu? Inez, Inez” Aku mencari-cari asal suara itu, namun aku tak kunjung menemukan siapa itu. Disini hanya ada aku dan Inez.
***
Tentang Inez
“Aku disini Dil, disini. Apakah kau tak melihatku? Kau harus percaya Fadil, percaya apa yang aku ucapkan” Aku terus mendesah padanya. Berbagai cara telah ku lakukan agar dia bisa melihatku, namun selalu menghasilkan yang sama. Gagal.
“Fadil” Aku meraih sedikit bahunya. Ku lihat jelas raut wajahnya yang lusuh. Dia pasti mencemaskanku. Maafkan aku Fadil.
“Mengapa kau tak bangun Inez?” Keluhnya sendiri.
“Aku disini, lihat aku Fadil”
“Tega kau melakukan ini padaku Inez” Desahnya lagi.
“Aku tak pernah bermaksud menyakitimu” Aku terduduk didepannya. Menatap mata dan wajahnya. Benar-benar penuh dengan kesedihan. Maafkan aku.
“Sadarlah, dan katakan bahwa kau bisa hidup lagi. Bisa menemaniku disini lagi Inez. Bisa terus bersamamu” Kini dia makin menangis. Aku menyentuh pipinya yang penuh air mata. Aku tahu dia tak dapat melihat dan mendengarku, tapi aku yakin dia merasakanku.
“Aku bisa menemanimu Fadil, terus bersamamu. Dihatimu Fadil, namun aku tak pasti akan kehidupanku lagi. Tak pasti” Aku menyeka air matanya walau aku tahu aku tak bisa. Tiba-tiba dia berdiri, aku benar-benar kaget. Diapun pergi meninggalkan tubuhku. Seketika aku mengikutinya.
“Jadi dia tak akan bangun lagi?” Tanya Fadil serius. Aku sedikit mendengar pembicaraan Fadil dan Bella.
“Dokter bilang, sudah tak ada harapan lagi, dan dia akan koma selamanya, dia bisa bangun jika terjadi keajaiban” Bella terisak, aku kaget mendengar semua ini, Fadil terduduk di ruang tunggu sambil menangis dan menunjukan wajah bingung juga resah. Aku terduduk disampingnya sambil terisak. Aku memeluknya walau aku tahu pelukanku tak nyata.
“Tuhan, jika kau izinkan saja sekali aku untuk bisa menyampaikan kata terakhir padanya” Isakku. Seketika cahaya putih menyilaukan mataku.
***
Tentang Fadil
“Kau tahu saat matahari terbenam dia pergi kemana?” Tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng pelan.
“Memangnya kemana?”
“Dia sedang bersembunyi” Ucapnya lagi.
“Hahah, leluconmu tak lucu” Ejekku. Dia hanya memonyongkan sedikit bibirnya.
“Aku serius.” Ucapnya lagi.
“Kau tahu. Bumi ini berputar mengelilingi matahari. Akibatnya sebagian bumi yang sebelah barat tak tercahayai oleh matahari. Karena itu dia berada di timur. Ketika sore, bumi yang tadinya tak tercahayai matahari tercahayai karena bumi terus berputar. Akibatnya matahari tenggelam” Jelasku padanya.
“Kau salah”
“Kau keras kepala.”
“Kau tahu kenapa matahari bersembunyi?” Tanyanya padaku. Aku hanya menggeleng.
“Karena dia sedang mengintip kita dan pura-pura tak melihat kita. Dia malu jika dia harus memperpanjang waktunya. Akibatnya dia bersembunyi dibalik bulan. Dan kau tahu mengapa bulan berubah bentuk?”
“Aku tak ingin menjawabnya, pasti selalu salah” Ucapku kesal.
“Haha, begitu banyak benda di dunia ini yang tak kita mengerti” Desahnya. Diapun merangkul tanganku yang kebetulan saat itu kami sedang tiduran di taman sambil menatap bulan. Dengan posisi yang berbalik antara aku dan dia, itu adalah saat yang romantis untukku.
“Bisakah kita mengulangnya lagi Inez” Seruku sambil memanggil namanya.
“Aku harap kita bisa melakukannya” Seru seseorang yang mungkin tak asing kedengarannya. Aku sangat kaget saat itu juga. Aku berbalik dan kulihat
“Inez. . Kau?” Aku sedikit tergagap melihatnya kini ada di depanku.
“Tidak-tidak, dia tak nyata itu hanya halusinasi” Akupun mulai berbalik dan hendak pergi meninggalkan rumahku dan menuju rumah sakit.
“Aku nyata” Ucapnya lagi. Aku yang saat itu sedang berjalan, terhenti seketika.
“Aku nyata. Apakah itu masih kurang untuk membuatmu percaya padaku?” Desahnya lagi. Aku berbalik lalu aku mulai menatap matanya. Persis ku lihat pandangan itu, pandangan yang selalu ku rindukan. Persis ku lihat seulas senyum menyinari wajahnya.
“Kemarilah, aku tahu kau tak akan percaya ini”
“Apakah aku tak bermimpi Inez?” Tanyaku padanya. Dia tersenyum padaku walau aku tahu ada raut sedih dimatanya.
“Maafkan aku Inez” Akupun langsung berlari menghampirinya lalu memeluk erat-erat tubuhnya.
“Inez maafkan aku”
“Tidak, aku yang harusnya minta maaf padamu. Aku membuatmu terpuruk seperti ini, aku mengaku salah” Sesal Inez padaku.
“Tidak nez, jujur saja. Jika aku tak memutuskanmu semuanya akan baik-baik saja. “Aku terisak sambil melepaskan pelukanku.
“Sudah sekarang kita tak perlu saling menyalahkan. Ini semua sudah takdir yang dijanjikan Tuhan” Tenangnya padaku.
“Inez, aku menyesal telah memutuskanmu. Mari kita mulai lagi cinta kita” Pintaku padanya. Dia terdiam.
“Tidak kita tak bisa melakukannya lagi. Kita sudah berbeda dunia” Jelasnya padaku.
“Apa maksudmu?”
“Aku tak bisa kembali lagi padamu” Desahnya sambil menahan air matanya.
“Mengapa tidak jelas sekali sekarang kita ada disini, kita bisa bersama” Ucapku
“Tidak, kita tak bisa” Dia terus meyakinkanku.
“Mengapa begitu? Ayolah buat lelucon dan kata-kata lucu untukku lagi. Buatlah pertanyaan yang selalu aku salah menjawabnya. Buatlah. Aku rindu itu sangat.” Desahku sambil menangis.
“Jangan menangis, akupun merindukanmu. Kau bisa mengingat kata-kataku. Bintang tak mungkin bisa dimiliki, namun ada saatnya kau bisa melihat bintang yang ingin kau miliki bersinar padamu.”
“Maksudmu?” Aku benar-benar tak mengerti apa yang dia ucapkan.
“Kau akan mengerti suatu saat nanti. Mungkin ini adalah saat yang sempurna untuk mengatakan selamat tinggal padamu.” Dia mencoba tegar sepertinya walau ku tahu apa yang diinginkan kata hatinya.
“Apa? Secepat itukah? Mengapa kau harus pergi sekarang?” Aku terus menarik tangannya, namun dia hanya terdiam.
“Banyak urusan yang belum ku lakukan disini. Namun aku tahu takdir mengatakan aku harus berpisah secepat ini, berjanjilah untuk tetap saling menyayangi.” Ucapnya, aku semakin menggenggam erat tangannya namun perlahan tangan itu terlepas.
“Inez, Inez, jangan lakukan ini” Ucapku padanya tapi dia hanya terdiam seketika bayangan putih membawanya dan dia hilang.
“Inezzzz”
“Fadil” Tiba-tiba Bella datang dengan penuh isak tangis, aku memandangnya heran.
“Ada apa Bel?”
“Inez, Inez, dia dia dia sudah tak ada” Desahnya sambil mengeluarkan buliran itu. Dia terlemas dipangkuanku, aku mengelus-elus kepalanya tak percaya apa yang terjadi.
***
Aku terduduk ditaman biasa aku bersama Inez, taman ini menyimpan berjuta kenangan bersama Inez, semuanya indah tak ada yang tak indah. Malam ini seakan-akan aku akan mengingat kata-kata Inez.
Ku ambil buku dan ku tulis sesuatu disana,
“Inez kau tahu, aku disini melihat banyak bintang, dan kau bilang aku bisa melihat bintang yang ingin ku miliki bersinar. Kau juga bilang, jiwa orang yang telah meninggal diangkat dan akan menjadi bintang, akankah kau bersinar untukku?”
Seketika ku lihat langit dan ku lihat satu bintang memancarkan sinarnya dan kembali ke sinar semula.
“Inez”
SELESAI
Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi
Blog: www.selmifiqhi.blogspot.com
Terimakasih kepada admin yang sudah mau mempublish cerpen saya disini :)
Mohon maaf apabila masih banyak kata-kata dan ejaan yang salah. Maklum manusia :D
Dimohon kritik dan sarannya.
Facebook: Selmi Fiqhi Khoiriah
Twitter: @SelmiFiqhi

0 komentar:

Posting Komentar

Selapis Roti Bakar Untuk Kepergian Ayah

Apakah aku masih hidup?. Ah, pasti aku masih hidup karena jika tidak pasti bukan disinilah tempatnya. Meski aku belum pernah melihatnya tapi aku yakin tempat ini bukanlah alam kubur, neraka apalagi surga. Ada bayangan hitam menghalangi pandanganku. Apakah itu malaikat maut? apakah ia akan menjemputku sekarang?. Apakah aku tak lagi diberi kesempatan?. Bayangan hitam itu semakin mendekat, menggenggam tanganku yang berhiaskan gelang identitas bertuliskan “Nura” nama kecilku. Genggaman tangan itu dingin seperti tak setetes pun darah mengalir padanya. Genggaman itu serasa membekukkan tanganku. Aku tak lagi bisa bergerak, aku tak bisa menghindar apalagi berlari. Bayangan itu mengenggam erat tanganku nyaris meremukkan tulang pergelangan tangan. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat. Tak ada satupun suara yang keluar selain “ah” dan “uh”. Seolah tenagaku telah raib. Aku kehilangan keseimbangan begitu melihat pemandangan dihadapanku.
Tubuhku bergetar hebat, takut sekali. Hingga kejutan keras merasuki tubuhku, hangat, serasa darah kembali mengalir. Bayangan hitam itu menghilang, telah berganti bayangan putih dokter dan para suster. Ada tiang kurus disampingku, menggantungkan tabung infus yang mendikte tetes demi tetes kehidupanku. Ternyata aku benar-benar masih hidup. Tak membutuhkan waktu lama sebelum suster memindahkanku ke ruang rawat. Berbagai wajah datang silih berganti. Tersenyum dan prihatin. Tapi aku tak lagi peduli, karena wajah yang kucari itu tak akan pernah ada, tak akan pernah bisa kulihat lagi. Terbersit perasaan menyesal, mengapa aku masih hidup?
Aku terbangun dan hari-hari itu telah berlalu sedemikian cepat, serasa hanya tertidur beberapa jam saja. Bunga dalam vas itu telah berganti rupa menjadi bunga yang lebih segar, ada yang menggantinya. Mungkin beginilah tradisinya, bunga diganti saat pasien kamar ini juga berganti?. Aku harus segera meninggalkan tempat memuakkan ini, meski setelah semua kejadian itu akan membuat keadaan di luar sana lebih memuakkan. Aku berjalan melintasi rutinitas yang mendadak terasa begitu asing bagiku. Tiba-tiba aku merasa menjadi salah seorang dari pemuda yang beratus-ratus tahun tertidur dalam gua lalu terbangun dan mendapati dunia telah sedemikian berubah. Apakah telah sedemikian lama aku tertidur?.
Batu nisan dihadapanku hangat tertimpa cahaya matahari pagi. Wajah yang kunanti itu telah terbenam disini, meninggalkanku dengan berbagai urusan dunia yang kini harus kuselesaikan sendiri. Ah, kita bahkan belum sempat saling mengucapkan salam perpisahan, kau hanya sempat membisikkan keinginan terakhirmu untukku. Meski aku tahu benar apa keinginanmu, keinginan yang rasanya sampai kapanpun tak akan pernah bisa kuwujudkan. Maafkan aku bu, karena sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa mencintai ayah seperti ibu mencintainya. Aku tak akan pernah bisa melakukan lebih dari yang kau lakukan untuknya. Aku tak akan bisa bersabar lebih dari kesabaranmu menghadapinya. Aku tak akan pernah bisa mencintainya lebih dari cintamu padanya.
Kau datang saat usiaku genap delapan tahun, hadiah yang terindah bagiku. Jarang sekali ada anak yang menerima hadiah seorang ayah di hari ulang tahunnya bukan. Sejak kecil aku selalu menanyakan kemana kau pergi, tapi Ibu selalu mengatakan bahwa kau pergi jauh untuk bekerja. Aku menerima saja. Tapi, hadiah itu tak seindah yang kubayangkan. Kau selalu menolak permintaanku untuk jalan-jalan di akhir pekan, bahkan hanya sekadar bermain dan menemaniku belajar pun, kau tak pernah ada. Kau selalu pergi setiap hari kecuali di akhir pekan, entah untuk alasan apa.
Akhir pekan itu akan selalu jadi hari yang istimewa untuk kami, untuk ibu tepatnya, karena hanya di akhir pekanlah kau akan datang. Seandainya kau tahu, Ibu selalu menyambut kedatanganmu dengan cara terbaik, meski ia tahu betapa kau tak akan pernah membalas apapun atas pengorbanannya. Sementara bagiku, akhir pekan hanyalah masa-masa sulit diantara sekian kebahagiaanku bersama Ibu.
Setiap akhir pekan Ibu akan pergi bekerja ke tempat sahabatnya dan menginap selama dua hari, kau tentu tak memberikan sepeser uangmu pada kami. Kau hanya datang sebagai parasit, menumpang dan menyulitkan. Aku harus bangun sepagi mungkin, menyiapkan air hangat untuk kau mandi, menyiapkan sarapan hingga makan siang dan makan malam. Maka selama dua hari itu menyisakan aku dan dirimu, dirumah sesak ini, akan selalu menjadi masa-masa penantian yang menegangkan, karena setiap kesalahan ada bayarannya sendiri. Seperti pagi itu. Kau terbangun lebih awal karena panci yang tak sengaja kujatuhkan, menimpa beberapa alat rumah tangga yang lain, mengusikmu. Kau tak pernah banyak bicara, hanya melayangkan tatapan dingin itu. Genggaman tanganmu yang kuat menggusurku, dan membiarkanku seharian terkunci di ruangan berukuran 1×2 m tanpa jendela dan lampu. Aku takut, sangat takut.
Sejak kecil aku tak bisa berada dalam kegelapan, kesesakan akan merasuk dan mencekik penuh kekuatan. Selama lebih dari 24 jam kau mengurungku. Aku berteriak memohon kepadamu sekuat yang kubisa tapi tak ada yang berubah, kegelapan itu tetap meliputiku. Saat itu aku berfikir mungkin aku akan segera meregang nyawa. Ah, kau ingin membunuhku secara perlahan. Dalam kegelapan itulah, pertama kalinya aku mengenal rasa benci dan dendam. Hingga sayup-sayup langkah tergesa itu terdengar. Perlahan pintu itu terbuka dan serasa oksigen membanjiri saluran pernafasanku, menenangkan.
Ibu datang dan memelukku, aku ingin memanggil namanya namun tak ada satupun yang keluar. Ibu menatap mataku, bibirnya bergerak-gerak seolah mengatakan sesuatu, namun tak ada yang kudengar. Angin serasa mati sehingga bunyipun tak bisa merambat. “Ibu?” aku merengek dalam hati. “Nura? kamu dengar ibu sayang?” aku tak mengerti. Ibu terus mengelus kedua telingaku. Aku tak bisa berbicara, aku tak bisa mendengar apapun. Air mata hangat membanjiri pipiku, kau berdiri tepat dibelakangan Ibu, dengan wajah yang tak pernah berubah. Selalu dingin. Aku membencinya, namun tak bisa mengatakan apa-apa.
Tapi, aku mencoba belajar memaafkan masa laluku sendiri. Entah siapa yang patut dipersalahkan dan harus bertanggungjawab atas masalah ini. Entah siapa harus memaafkan siapa. Tapi satu hal yang pasti, ibu selalu memintaku untuk belajar memaafkan. Belajar memaafkanmu jika dalam seminggu itu tak sekalipun kau pulang. Belajar memaafkanmu jika dengan sengaja tanganmu mengayunkan tamparan yang bagiku terasa lebih menyakitkan hati dibanding menyakitkan pipi ini. Belajar memaafkanmu jika sumpah serapah mengawal setiap aktivitasku. Bertahun-tahun aku bertahan dengan cara seperti ini, mungkin karena keyakinan akan cintaku sendiri.
Sering aku bertanya apakah kau tak lelah mempertanyakan kesungguhanku. Apakah kau tak pernah lelah mengujiku. Aku tak pernah membutuhkanmu untuk memberikanku apapun, bahkan sejumput dari kebahagiaanpun aku tak memerlukannya darimu. Toh, aku bahagia dengan caraku sendiri, bahagia dengan selalu belajar memaafkanmu. Aku hanya membutuhkan pengakuanmu. Pengakuanmu bahwa aku dan ibu ada, tapi kau selalu membutakan dirimu sendiri.
Penjara itu tak sedingin tatapan mata yang kau layangkan padaku. Dia mati. benar?” katanya dengan bahasa isyarat. Sejak peristiwa pengurungan itu, aku tak lagi bisa bicara dan mendengar. Lalu Ibu mengajariku menggunakan bahasa isyarat. Ibu juga mengajariku untuk terus memaafkan, ibu mengajariku untuk terus mencintai dan menjagamu. Tapi pertanyaan itu begitu menusuk tajam, menghancurkan pertahanan pertamaku, sekian lama aku berusaha untuk tak bersedih karenamu. Aku hanya mengangguk seolah semua yang terjadi adalah biasa saja. “Apa kau mau ikut dia? Mati.” tawamu meledak menggema diruangan sempit itu, Barangkali jika aku masih bisa mendengar, suara itu akan memekakkan telingaku. sekali lagi tenagaku serasa raib, aku terduduk dipojokkan. Aku harus segera pergi.
Fitta menahan tanganku, nampak tak yakin bahwa aku akan mengunjungimu lagi. Sudah seminggu ini aku berbagi tempat dengan Fitta, sahabatku di kampus dulu. Aku mengangguk tegas, aku harus melakukannya untuk Ibu. Saat pertama kau datang dalam kehidupan kami, Ibu mengajariku untuk membuat roti bakar. “Ayahmu sangat suka roti bakar selai stroberi buatan Ibu, jadi kau harus mulai belajar membuatnya supaya kau bisa menggantikan ibu kalau ibu sudah tak ada..” Saat itu aku merasa betapa ibu akan pergi jauh. Aku tak pernah membayangkan bagaimana jika suatu saat aku harus benar-benar kehilangan Ibu, karena dia lah satu-satunya alasan aku bisa bertahan untuk mencintaimu.
“Kalau ayah menyukai roti bakar buatan Ibu, kenapa dia membenci kita bu?” tanyaku suatu ketika. Ia membelaiku penuh perhatian. “Jangan pernah kamu tanyakan mengapa ia membenci kita? dan mengapa kita harus mencintainya, jika dengan cara ini ibu bisa bertahan untuk mencintai ayahmu, maka kau pun pasti bisa” Terkadang aku merasa sangat takut, Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa melakukan semua yang telah ia lakukan. Ibu terlalu percaya diri bahwa aku bisa menggantikan posisinya. “Kamu yakin mau pergi ra, biar saya ikut ya?” Aku menggeleng kuat, aku yakin diriku sendiri sudah cukup akan mengusik kenyamananmu. Aku pamit, membawa dua lapis roti bakar selai stroberi kesukaanmu.
Aku merasa seperti anak burung yang tersiram hujan. Kuyup dan mengkerut. Takut-takut aku berjalan. Inilah kali kedua aku membesukmu. Seorang penjaga mengantar dan mengawal pertemuanku denganmu, berbataskan jeruji besi yang dingin. Aku mengetuk sel besi dengan cincin murahan untuk memanggilmu yang terbaring di kasur. Kau menoleh juga. Aku menunjukkan roti bakar buatanku. Satu langkahmu berhasil menyurutkanku beberapa langkah. Ah, rasanya seperti berhadapan dengan harimau yang kelaparan. “Pulang!” sentakmu sambil mengibaskan tanganmu tanda menyuruhku untuk segera pergi, kau penuh kendali. Gentar. Tapi, tak mungkin, aku sudah sampai sejauh ini. Roti bakar buatanku? tak boleh sia-sia. Kau harus memakannya. “Heh? pulang!” sentakmu lagi. Aku mendekat dan menyodorkan roti dan beberapa buah jeruk. Kau tetap mengabaikanku. Tapi begitulah ibu, maka semua ini harus kulakukan. Kata ibu, inilah belajar mencintai dan menyayangimu. Ya, sekali lagi aku diajarkan untuk memaafkan perlakuanmu padaku. Tak apa..aku lebih pandai memaafkan daripada mencintai. Jadi, aku harus lebih banyak belajar. “Jangan pernah datang lagi.! dasar bisu! tuli!” cacinya. Rasanya hati ini sakit sekali melihatnya. Sudahlah, Ibu bilang ia tak pernah bersungguh-sungguh dengan kata-katanya. Lelah kaki ini melangkah pergi.
Meski begitu, semua berlalu bagai rutinitas yang tak akan terganti. Akhir pekan yang sama. Dapur yang sama. Alat pembuat roti bakar yang sama. Jalanan yang sama. Penjara dan penjaga yang sama. Sudah dua bulan berlalu sejak pertama kalinya aku menjengukmu, berarti ini akan jadi kali ke sembilan aku datang. Namun, belum ada yang berubah dalam hati ini. Setiap kaki ini menapak lantai penjara yang dingin, selalu saja mekanisme yang sama berulang. Hati ini mencoba mempersembahkan kasih sayang, lalu kau menjatuhkannya, aku akan sedih lalu aku akan belajar memaafkan. Tanpa benar-benar ada kasih sayang yang begitu tulus datang. Bagaimana bisa datang? jika setiap aku tertidur, maka mimpi itulah yang selalu hadir. Mimpi tentang hari-hari yang penuh ketidakpastian itu. Bagaimana bisa datang? jika setiap kaki ini melangkah ke dapur maka yang terasa adalah kaki-kaki yang rapuh menembus panas, hujan dan rela menunggu berlama-lama hanya demi mengulurkan tangan memberikan roti bakar stroberi kesukaanmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap diri ini menunggu roti yang panas terbakar, maka yang hadir adalah perasaan kecewa, menumpuk dan terbakar, memenuhi hati dan berkembang menjadi rasa benci setiap kali melihat tanganmu terulur keluar jendela mobil dan melemparkan roti bakar itu ditikungan pertama setiap kepergianmu. Bagaimana bisa datang? jika setiap tangan ini bergerak mengoleskan selai stroberi kesukaanmu, yang terbayang hanyalah darah segar yang mengalir dari punggung ibu yang kau jadikan sasaran pisau terasah tajam. Kau memang pembunuh, dan aku harus mencintai dan menyayangi seorang pembunuh?. Ah ibu, kau benar-benar terlalu percaya diri meninggalkanku untuk urusan ini.
“Hari ini besuk lagi? aku heran mengapa kau belum juga menyerah padahal dia selalu melarangmu datang?” Fitta masih selalu protes, sekali pernah ia ikut membesukmu, dan kau mengamuk hebat mengusir kami. Sejak saat itu ia kapok memaksa untuk menemaniku. Aku mengangguk tegas. Ya, mungkin aku telah sedemikian bodoh mau melakukan ini. Ibu sudah tak ada, tak ada seorangpun yang akan mengevaluasi janjiku padanya, ibu tak akan pernah tahu aku mengingkari janjinya. Tapi, aku hanya ingin menepatinya saja, untuk alasan apa? akupun belum tahu.
Seperti biasa, roti bakar selai stroberi yang masih hangat, kubuat dua susun. Hari ini aku ingin sedikit menambahkan sesuatu untukmu. Sebelum berangkat, kusambangi minimarket terdekat. Membeli satu susu kotak ukuran 1 liter, buah apel dan beberapa makanan ringan. Bolehkan di penjara makan seperti ini?. Kau akan kuiziinkan membaginya dengan temanmu. Entah mengapa hari ini aku begitu menikmatinya. Butuh dua kali naik angkutan umum untuk mencapai tempatmu. Penjara yang apek dan dingin. Penjaga itu hafal betul dengan kehadiranku yang rutin, akhir pekan pukul 10.00. “Ayah aku datang?” bisikku dalam hati. Aku kembali mengetuk jeruji besi dengan cincin murahan yang terpasang di jari tengahku, saat melihat kau masih terbaring, nampak sedang tertidur. Ah, rasanya seperti membangunkan harimau lapar yang tertidur. Kau terbangun, melayangkan tatapan yang dinginnya serasa bisa menimbulkan luka bakar dan tajamnya serasa menimbulkan luka tusuk. Tapi aku tetap diposisiku, mencoba mempertahankan kedudukan.
“Selalu keras kepala, aku tak butuh makanan yang kau bawa, aku juga tak butuh kau datang kemari.” Aku tahu, aku hafal betul gerakan tangan itu. Kau mengucapkannya setiap kehadiranku. Meski selalu mengusirku, kau akan membiarkanku duduk dan menatapmu saja, rasanya setiap saat itu aku hanya menontonmu. Seperti menonton pertunjukkan saja. Jika ibu masih ada, barang tentu ia akan cemas melihat kondisimu yang begitu memprihatinkan, semakin kurus. Tiba-tiba tawamu berderai menyakitkan. Tawa itu pula yang terdengar selepas kau membunuh ibu. “Apakah ayah tak pernah menyesal telah melakukan semua ini padaku dan ibu?” entah mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.
Tapi sunyi mencekam. Kombinasi yang sempurna dengan suasana penjara yang suram, gelap. Mengingatkanku akan kegelapan yang mencekik saat kau menyiksaku habis di ruangan kosong rumah kita. Ruang eksekusi, barangkali. Tak pernah terbayangkan akan berapa lama aku bertahan dengan cara seperti ini? aku ingin berhenti bu? aku ingin berhenti pura-pura peduli!, aku ingin berhenti pura-pura mencintai! aku ingin berhenti pura-pura menyayangi ayah!. aku ingin berhenti membuatkan roti untuknya! Aku tak mau lagi memaafkannya?.Aku ingin marah padanya. Aku ingin berhenti saja bu!
Terdengar langkah kakimu yang rapuh, berjalan dengan menyeret kaki kirimu. Semakin dekat, kuberanikan diri mendekati jeruji besi yang memisahkan kita. Hingga tiba-tiba nafas ini terasa sesak tercekat, dahi ini berdenyut semakin cepat. Beberapa penjaga berhamburan mendengar suara benturan tubuhku dengan jeruji besi. Menopang tubuhku yang mulai oleng. Seterusnya hanya hampa dan dingin. Serasa ada badai besar yang menghampaskanku, melewati satu persatu kenangan itu. Menusuk-nusuk sakit, lalu ibu akan selalu datang sebagai kupu-kupu indah yang menenangkan. Tapi seperti itulah kupu-kupu, hanya sesaat, lalu terbang bahagia menjemput kematiannya sendiri. Meninggalkan aku yang mulai harus melewati malam-malam dalam kebusukkan.
“pergi!!” kata-kata itu yang juga menjadi deretan hafalan dalam otakku. Saat anak-anak lain senang menghafal huruf, justru sumpah serapahmu yang bisa kuhafalkan. Mendengung terus, menyakitkan. Malam pertama aku mengenal rasa benci, mempelajari dendam itu kembali terulang. Bogem mentah melayang dari dua arah, ah aku merasa menjadi sansak tinju. Kancing bajuku nyaris terpereteli semua karena cengkeramanmu, dan aku nyaris kehilangan nafas yang tanpa kau cekik pun aku sudah cukup kesulitan bernafas. “Ibu.. aku belum mau mati” rengekku dalam hati, hingga sayup-sayup terdengar langkah berlari. Ah, itu dia. Ibu akan datang melindungiku. Memelukku dan mengatakan “berhenti yah!” lalu tak lama terbangun dipagi hari dengan hiasan luka lebam dimana-mana. Setiap pagi itu aku selalu terbangun dengan tangisan menahan rasa sakit. “aku ben..” ibu menahan tanganku. Ia tak pernah mengizinkanku mengucap satu kata itu “Benci”, bertahun-tahun selalu seperti itu. “Jangan pernah katakan kamu membenci ayahmu nura.., tolong..”
Lalu kapan kisah ini akan selesai? Selama aku bertahan untuk belajar mencintainya, bersabar karenanya dan memaafkan kesalahannya, ternyata memang tak mudah. Ah, aku sudah lelah. Semuanya harus segera berakhir.
Laboratorium penelitian di lantai lima itu masih sepi, hanya beberapa makhluk berbaju putih dan tanpa alas kaki bekerja tekun di pojokkan. Aku sering diizinkan menemani Fitta di laboratorium ini. Tesisnya baru saja selesai, barangkali inilah kali terakhir aku akan duduk disini. Kursi di dekat jendela dan sebuah spektrofotometer berdebu yang sudah rusak selalu menemaniku. Kubersihkan spektrofotometer itu, sebagai ucapan perpisahan. Pagi ini aku akan membersihkan semua, menyelesaikan segala urusannya. Akhir pekan ini aku akan menemuimu, ayah.
“Kamu sakit nur? wajahmu pucat begitu?” Fitta mendekat dan menempelkan tangannya tepat didahiku. “Wah, kamu demam nur, ayo rebahan biar aku buat air hangat dulu ya” Sebenarnya lebih dari cuaca yang menyebabkan badanku terasa menggigil sejak tadi malam. Namun, lebih karena pergolakan batin yang menyesakkan ini. Dadaku terasa sempit. Kucoba merebahkan badan, tapi berjuta bayangan muncul. Mengelilingi, membuat kepalaku terasa berputar dan pening. Sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Ibu datang membawa baskom berisi air hangat, wajahnya pucat pasi. Seolah seluruh kebahagiaannya telah raib dari wajah cantik itu. Aku mengusap pipinya perlahan, mencoba saling menguatkan. “Apa kamu masih sesak nur?” aku hanya mengangguk lemah, disekap selama lebih dari 24 jam benar-benar menguras tenagaku. Aku ingin memeluk ibu, pasti menenangkan rasanya. Namun, sebuah hantaman keras membuat tubuh kurus itu terkapar. Wajah itu terpampang dihadapanku, dingin dan bengis. Ia menggusur kerah baju ibu hingga sobek, mendorongnya ke pojokkan. Menamparnya habis. Aku ingin memeluk ibu, aku ingin melindunginya, tapi tak sedikitpun tubuhku dapat bergerak, mati. Bahkan berteriak pun aku tak mampu. Sumpah serapah itu terasa menakutkan. Amarah terbesarnya sepanjang hidupku. Aku tak mampu melakukan apapun, telingaku tak mendengar apapun, hanya pandangan yang mulai kabur melihat sisa-sisa peristiwa mengerikan itu. “Pembunuh!!” teriakku dalam hati, ia berjalan ke arahku, menggenggam tanganku keras, menjatuhkanku dari tempat tidur dan mencekik leherku hingga lemas. Aku tahu, saat itu aku dan ibu bemar-benar akan mati. Barangkali inilah akhir semua penderitaan kami.
Tapi tiba-tiba kau berlari meninggalkan aku yang sibuk mengais-ngais oksigen untuk bernafas. Ibu disampingku. Aku menangis, takut sekali. “Jangan menangis Nura..” bisikkan itu menenangkanku, ah, ibu masih hidup. Aku memeluknya, namun punggungnya basah, basah oleh darah yang tak berhenti mengalir. Aku ingin berteriak tapi tak ada yang keluar selain tangisan bisu. “Kamu kuat Nura sayang, kamu bisa. Ibu minta satu hal, jangan pernah benci ayahmu. Berusahalah terus untuk mencintai dan menyayangi ayahmu, kamu bisa?” Aku menggeleng, aku tahu aku tak akan mampu melakukannya. Berbohongpun percuma. “Ibu tak peduli apapun jawabanmu, tapi Ibu percaya kamu akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu..” Sebuah pukulan keras membuat Ibu meregang nyawa, sementara aku hanya bisa menangis. Kau kembali mencekik leherku. Ibu, bagaimana bisa aku memenuhi permintaanmu, barangkali sebentar lagi aku akan menyusulmu pergi. Namun diluar dugaan sirene yang berbunyi diluar memaksamu melepaskan cengkeraman dileherku dan pergi.
“Nura? Nura? kamu kenapa?” Fitta panik demi melihatku mencekik leherku sendiri. Fitta berusaha keras melepaskannya hingga aku menyerah dan terduduk lemas. Ia menangis. Tak pernah kulihat ia menangis sebelumnya. Aku menatap ke sekeliling. Baskom air panas terjatuh. Aku menatap Fitta penuh tanda tanya, Ia menggamit tanganku. Aku menyerah dan membiarkan mataku terlelap. Ah, aku ingat. Besok akhir pekan yang kunantikan itu. Aku akan menemuimu, Ayah.
Aku berjalan gontai, Fitta masih terlelap. Aku tak ingin ia tahu kepergianku. Seperti biasa, berbekal roti bakar stroberi kesukaanmu. Hari ini terasa ringan. Aku akan menghentikan semuanya, aku akan menuruti keinginanmu. Aku tak akan lagi menemui di penjara. Aku tak akan lagi membuatkan roti bakar untukmu. Aku tak akan lagi membebanimu.
Ragu-ragu aku melangkah, aku yakin ini di luar jam besuk. Tapi, harus sekarang juga, tak akan ada waktu lagi. Seorang penjaga yang baru kulihat berdiri memperhatikan kehadiranku. “Ada keperluan apa mba?” aku terdiam. Ah, ia tak tahu aku tak bisa mendengar apapun yang ia katakan. Ah, kemana penjaga yang biasa. Ia akan mengerti apa yang kukatakan. Kehadiran rutinku tiap minggu membuatnya sedikit banyak mengerti dan bisa menggunakan bahasa isyarat.
Aku mengeluarkan secarik kertas dan mengatakan ingin bertemu dengan ayah, mendesak. Sial. Penjaga baru itu tak mengizinkanku masuk. Aku mencoba memaksanya, meski tak memberikan pengaruh apapun. Penjaga itu justru semakin kebingungan. Perselisihan kami terdengar oleh beberapa penjaga lain. Salah seorang diantara yang keluar itu, ada yang mengenaliku. “Ayah? aku ingin menemui ayah” aku tersenyum padanya. Ia mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia mengajakku duduk. “Mana penjaga yang biasa?” tanyaku sedikt berbasa-basi dan menenangkan keadaan. Penjaga itu memegang pundakku seolah meminta pengertianku. “Ada apa?”
“Penjaga yang biasa itu sudah meninggal, baru tadi malam” aku mengungkapkan turut prihatin. Tapi aku tak bisa terlalu lama, aku harus segera bertemu ayah. “Aku mau bertemu ayah?” Ia mengangguk mantap. “Nura, kamu harus tahu ini. Semalam, ayahmu dan beberapa tahanan lain telah melarikan diri, ayahmu yang membunuh penjaga itu” Duniaku kembali terguncang. Aku ingin berteriak lagi. Meski yang terdengar hanya tangisan bisu. Aku ingin bertanya bagaimana bisa, tapi merasa sudah tak berguna lagi.
Langkahku semakin tak menentu. Kakiku sudah tak kuat lagi melangkah. Sebuah ayunan di taman yang sepi. Seluruh rencanaku gagal sudah. Padahal hari ini aku telah ingin mengakhiri semuanya. Bukankah semuanya harus selesai malam ini. Tiba-tiba aku merasa bodoh, ingin menangis tapi sudah tak bisa. Susah payah kuambil racun itu, dan kuoleskan diantara roti bakar kesukaanmu. Aku hanya ingin kau memakannya, lalu aku tak akan lagi menemuimu, aku tak akan lagi mengganggumu. Sia-sia kukumpulkan keberanian untuk melakukan semua ini. Sekarang kau entah ada dimana. Berada diluar. Bebas.
Aku tak lagi aman, kau tentu bisa saja muncul tiba-tiba. Lalu apa yang akan kau lakukan jika bertemu denganku. tentu kau akan membunuhku. Ah, dunia tak lagi aman untukku. Kugenggam erat roti bakar itu, nyaris hancur. Tidak, semua ini harus tetap berakhir. Tubuhku bergetar hebat. Aku harus segera memutuskan. Harus berakhir. Tubuhku bergetar semakin hebat, seolah sisa tenagaku berhamburan.
Aku terjatuh dari ayunan, rebah ditanah. Aku menarik nafas panjang. Telah kuputuskan. Dengan sisa tenaga yang ada, serpihan roti bakar yang hancur. Aku memakannya habis. Ayah..
Ayah…
Bisikkanku tenggelam dalam kebisuan yang semakin mendalam. Semua telah berakhir sesuai keinginanmu. Kau menang. Ibu..
Ibu..
Maafkan aku karena tak bisa memenuhi keinginanmu. Aku tak pernah bisa mencintai dan menyayanginya bu. Maafkan Aku. Nafasku terasa semakin sesak, lebih sesak dari segala siksaan yang kau lakukan. Tapi, aku tak lagi takut. Ibu, aku benar-benar ingin menemui kematianku hari ini.
Cerpen Karangan: Widia Ayu Lestari
Facebook: Widia Ayu Lestari

0 komentar:

Posting Komentar