Maafkan Aku Terlahir Perempuan
Aku memiliki tiga saudara aku adalah anak terakhir dari empat bersaudara. Ketiga kakakku ber’v*gina’ semua. Padahal sedari dulu ayah dan ibu mengharapkan bisa punya anak laki-laki. Setelah lahir anak pertama, ayah dan ibu masih merasakan suka cita karena akhirnya mereka punya anak dan lahir dengan sehat normal. Kakak pertama adalah anak kesayangan yang menyusul anak kedua dan juga ber’v*gina’. Harapan ibu sebelum melahirkan anak kedua adalah tetap sama, mengharapkan anak laki-laki. Sementara ayah kabarnya tidak terlalu pusing dengan jenis kelamin apa nanti anaknya lahir. Ibu mengharapkan anak laki-laki sebab kelak anak laki-laki tersebut akan mewarisi seluruh kekayaan dari kakek nenek yang hanya punya anak semata wayang yaitu ayah. Ibuku sedikit gila harta.
Di umur kakak pertama yang 5 tahun, kakak kedua 3 tahun, ibu mengandung lagi. Ibu dengan seluruh harapannya mengerahkan usaha hanya untuk memperoleh anak laki-laki. Setiap saat ibu tak pernah luput dari berdoa, siang malam dan begitu seterusnya. Ibu adalah seorang pegawai negeri sipil, ayah seorang Pustakawan dan juga penulis. Entah bagaimana mereka bertemu, hanya Tuhan yang tahu rahasia pertemuan mereka.
Di kehamilan ibu yang ketiga, ia sangat menjaga dirinya dan kandungannya. Karena tidak ingin terganggu konsentrasi pekerjaan dan urusan hamil hamil-an itu. Kedua kakakku dikirim ke rumah nenek di Kalimantan. Mereka di sana hingga menyelesaikan sekolah SMA. Ibu yang seorang PNS selalu sibuk dengan urusan ini dan itu. Ayah pun sama sibuknya di perpustakaan dan di ruangan kerjanya. Kadang mereka sama sekali tak bertemu dalam sehari. Bahkan ayah akan tertidur sampai pagi di ruang kerjanya, ketika ia sedang menyelesaikan beberapa tulisan.
Ibu sangat menyambut kehadiran kakak ketiga, sebab ia yakin betul bahwa kali ini anaknya pasti ber’p*nis’. Dalam hati ibu tersenyum puas dan bangga, tapi lagi-lagi kenyataan berbeda dengan apa yang sudah ibu harapkan. Kakak ketiga lahir dengan sebuah lubang. Ibu setelah melahirkan masih sangat lemas dan nyaris tak sanggup melihat wajah anak bayinya yang masih merah pink itu, apalagi terlahir dengan v*gina.
Ibu mogok makan. Tapi pada akhirnya harapan ibu kembali lagi. Ia bertekad untuk hamil lagi. Setelah kehamilan yang ketiga, ia berjanji akan melahirkan anaknya yang keempat. Ayah tentu tak masalah. Program bayi pun direncanakan, semua yang berbau medis atau magis pun diupayakan demi seorang anak yang ber’p*nis’ itu. Nasib kakak ketiga sama, ia kembali diungsikan ke rumah nenek lantaran ibu tak mampu mengurus anak dengan segala kesibukannya.
Di kehamilan keempat yang berarti akulah yang di kandung ibu, ibu semakin gencar melakukan beberapa pemeriksaan ke dokter bahkan sampai dukun. Ibu rela mengeluarkan budget yang lebih banyak lebih besar hanya untuk kehamilan keempat yang diharapkannya sebagai laki-laki. Ibu malah sengaja mengambil cuti hamil lebih dini dan memberikan sepenuhnya perhatian kepada aku yang masih dalam kandungan.
Setelah kehamilan ibu yang lumayan besar, ibu memeriksakan diri ke dokter. Tapi kabarnya, setiap kali melakukan CT-scan untuk ibu hamil, baik dokter mau pun ibu tak pernah tahu aku berjenis kelamin apa. Waktu itu kelaminku seperti terhalang benang-benang laba-laba. Jadilah dokter dan ibu dalam tanda tanya besar yang itu berarti sama sekali tidak memberikan jawaban atas kelamin apa aku ini.
Hingga kehamilan ibu berusia sembilan bulan, ibu merasakan keram dan sakit luar biasa di bagian perut dan kemaluannya. Itulah hari dimana aku lahir dari rahim ibu lewat v*ginanya. Dipenuhi rasa cemas, gelisah dan deg-degan ibu melahirkan aku di rumah sakit yang terbilang mahal. Setelah aku lahir dan ibu mengetahui bahwa jenis kelaminku bukanlah sebuah p*nis melainkan v*gina, saat itulah kebencian ibu mulai tumbuh. Kebencian ibu pada kelahiranku dan kebencian ibu terhadap v*ginaku.
Menurut ayah sedari lahir aku tak pernah disusui oleh ibu. Ibu bahkan tak ingin melihat wajahku. Ibu lumayan depresi dan terpaksa berhenti jadi PNS. Ibu juga tak pernah membacakan dongeng sebelum tidur atau nyanyian seperti nina bobo. Aku kesepian. Di ayunan aku diam, aku dirawat oleh seorang baby sitter yang disewa oleh ayah. Aku makan dan minum lewat baby sitter, mandi, buang air kecil atau besar semua dilakukan baby sitter. Akhirnya aku semakin jauh dari ibu dan hanya mengenal satu perempuan di dalam hidupku yaitu baby sitterku yang berhati lembut.
Ibu juga tidak pernah memasak untukku, bahkan aku sangsi bahwa ibu benar-benar bisa memasak. Hanya satu hal yang membuatku bersyukur adalah aku tidak dikirim ke rumah nenek di Kalimantan sama seperti ketiga kakakku. Aku tinggal di rumah bersama ayah dan ibu, satu atap meski jarang bertatap. Ayah sangat sayang padaku, ayah seringkali membawaku ke ruang kerjanya, ke perpustakaannya, kemana saja asal aku bisa senang dan jauh dari omelan ibu yang seperti tak akan pernah berakhir.
Kenyataan bahwa aku sama sekali tak mirip ibu dan ayah adalah hal menyakitkan buat aku. Ibu tentu saja semakin membenciku, bahkan tak menganggap bahwa aku ini adalah anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri, dari v*gina yang pada akhirnya justru ia tak menginginkannya sama sekali. Dengan ibu yang begitu membenci aku, aku jadi terbiasa sendiri dan tidak mempedulikan apapun di sekitar. Aku memiliki hidupku sendiri.
Semua menjadi puncaknya ketika ayah pada akhirnya meninggal setelah aku berumur 17 tahun. Aku kehilangan satu satunya tumpuan hidupku, satu-satunya orang yang paling menyayangi aku. Ayah meninggal di ruang kerjanya, barangkali saat ia bekerja atau menulis malaikat maut datang begitu saja dan mencabut nyawanya tanpa diketahui siapapun. Ketika itu, aku menangis lebih banyak dari biasanya. Aku mengurung diri selama berminggu-minggu dan tidak mendaftar ke perguruan Tinggi. Aku bersedih, kesedihan yang teramat dalam.
Karena tak tahan melihat aku mengurung diri terus-terusan, ibu mengusirku dari rumah. Dia tega melakukan itu. Barangkali hanya ibuku yang seperti itu di dunia ini. Tapi aku memaafkan semua itu bahkan tanpa ibu meminta maaf sekali pun. Bagaimana pun surga ada di telapak kaki ibu. Atas usiran ibu itu, aku resmi hidup di jalanan. Hidup sebagai apa saja yang aku inginkan, menjadi pengamen, menjadi preman, menjadi pemalak, bahkan menjadi seorang l*sbian.
Beberapa teman l*sbianku mempunyai latar belakang yang mirip denganku, tidak diterima dengan baik di dalam lingkar keluarganya. Atau karena mereka telah jera disakiti berkali kali oleh orang yang berp*nis. Kehidupanku semakin semrawut, aku tak pernah lagi mendengar kabar ibu, kabar kakak-kakakku atau kabar dari siapapun tentang keluargaku. Aku sempurna hidup sendiri di tengah rimba raya kota yang bahkan jauh lebih berbahaya ketimbang hutan liar sekalipun.
Aku mabuk-mabukan sepanjang hari, melakukan hubungan s*ksual dengan beberapa teman l*sbian, merok*k dan nark*tika. Aku melupakan diriku sendiri, aku sudah bukan lagi ‘aku’ yang sebenarnya. Kehidupan foya-foya itu berlangsung selama umurku hinggap di angka 27 tahun. Cukup lama. Duniaku dipenuhi bayangan hitam.
Sampai sekarang aku masih mengutuki siapapun yang memarginalkan setiap anak yang terlahir sebagai perempuan. Kenapa memang kalau ber’v*gina? Bukankah itu bagus untuk berkembang biak? Bukankah itu bagus untuk semakin menambah populasi dunia? Laki-laki, aku tidak membencinya, hanya saja aku menjadi tak diakui di keluargaku hanya karena terlahir sebagai perempuan. Atau karena aku ber’v*gina’.
Secara tidak sengaja, aku mendengar sebuah berita dari seseorang yang menemukanku di jalan. Ia mengatakan bahwa ibuku saat ini sedang sakit keras bahkan mungkin tak lama lagi akan meregang nyawa. Wajahku saat mendengar berita itu, datar-datar saja. Bahkan sempat tersenyum miris, mengakibatkan kepala tetanggaku itu bertanya-tanya.
Aku diajaknya ke sebuah pelataran mesjid, aku menunggu di luar sementara ia menyelesaikan sembahyang asharnya. Selama menunggu, di kepalaku sudah terngiang beberapa kali kalimat “ibu sakit”. Ah sudah lama sekali, aku tak pernah menyebut nama ibu. Bahkan nama itu sudah sangat asing di bibirku. Getir. Entah kenapa, tapi semua tentang ibu kembali terbayang di benakku, di kepalaku. Semua tentang kebencian ibu. Tak aku sadari, aku tiba-tiba menjadi orang cengeng dan merasakan hatiku pilu, sangaaat pilu.
Tetanggaku kembali menemuiku di pelataran mesjid. Ia berkali-kali menasehatiku, bahka secara kasar menyuruhku untuk pulang dan meninggalkan semua dunia ‘kotor’ yang sekarang kulakoni. Ya, dia menyebutnya dunia kotor. Aku tak menyangkal apapun, juga tak membenarkan apapun dari perkataannya. Barangkali hatiku sudah lama membeku, hingga tak mampu membedakan beberapa hal. Aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan. Itu saja.
Selang beberapa waktu setelah pertemuan tak disengaja itu dengan tetangga, aku menyelinap malam-malam ke dekat rumah ibu. Mengintip di kejauhan. Kenangan masa kecilku kembali menguap di udara. Tentang ayah, tentang kemarahan ibu, tentang keputusannya mengusirku dan tentang semua yang sudah kulewati selama belasan tahun di rumah itu. Nampak suasana rumah teramat muram, lampu-lampu hanya menyala di beberapa tempat. Sangat tidak terurus dan menyimpan ribuan tanda tanya di benakku.
Aku mengintai selama beberap malam dan suatu ketika aku kepergok seseorang yang waktu itu hendak ke rumahku. Dia masih mengenali wajahku, melangkah teramat tergesa-gesa dan akhirnya menemukanku di balik belukar bunga-bunga yang tak terawat. “Masuklah!” Begitu katanya. Aku masih bergeming di tempatku berdiri. “Masuklah!” Berkali-kali ia merajukku untuk masuk dan berkali-kali itu pula jawabanku hanya diam terpaku di tempat yang sama.
Ibu-ibu itu pergi tanpa peduli lagi denganku, ia masuk ke dalam rumahku. Lalu tergopoh-gopoh kembali keluar rumah dan memanggil beberapa tetangga. Aku mendengar jeritan kakak perempuanku dari dalam rumah. Terjadi sesuatu, pikirku. Entah apa yang merasukiku, saat itu juga aku melompati belukar bunga-bunga itu dan menerobos pintu rumah lalu masuk. Mata ketiga kakakku terpana melihatku tiba-tiba berada di sana. Selama sekian detik mereka mangap lalu bersama-sama menutup mulutnya karena kaget.
Aku tak peduli lagi dengan kekagetan ketiga saudaraku. Aku menuju tempat di mana ibu terbaring. Ia begitu lemah, dadanya naik turun menghadapi maut. Barangkali akulah yang ditunggunya. Ibu ketika melihatku sama kagetnya dan lalu meraih tanganku. Ibu mengucapkan beberapa kalimat dari bibirnya yang sudah tidak terdengar dengan jelas. Tapi aku menangkapnya, menangkap suaranya yang perlahan mengucap “maafkan ibu, nak!”
Aku menangis di hadapannya, itu airmata terbanyakku setelah airmata untuk ayah. Aku bersimpuh di kakinya, menciumi kakinya. Lalu memeluknya untuk yang terakhir kali barangkali. Setelah aku mengucap “Maafkan aku, terlahir perempuan.” Ibu menangis semakin deras dan akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ibuku meninggal di malam ulang tahunku, di malam aku diusir dari rumah dan di malam aku kembali lagi ke rumah.
“Ibu… Maafkan aku, terlahir perempuan”.
Jingga Lestari
Di tulis dari atas sebuah mobil angkot pulang ke rumah.
18 agustus 2013
Di tulis dari atas sebuah mobil angkot pulang ke rumah.
18 agustus 2013
Cerpen Karangan: Jingga Lestari
Facebook: https://www.facebook.com/jinggalestari
Makassar, 26 Tahun
Facebook: https://www.facebook.com/jinggalestari
Makassar, 26 Tahun
0 komentar:
Posting Komentar