Terbangkan Ikan Ini


Aku mulai menjalani kehidupanku sebagai siswa SMA. Banyak kenangan indah yang telah kulalui bersama teman-temanku sewaktu masih di SMP, dan itu semua masih kuingat. Ya tentu saja, baru sebulan yang lalu aku lulus. Aku kini bergabung dengan sekolah baru dan teman baru, hanya saja ada sesuatu yang masih lama.
Ujian akhir semester 1 sudah kulewati, maka tibalah libur panjang. “Horeee…!”, itulah teriakan histeris anak SMA jaman sekarang. Seolah-olah mereka memiliki radar khusus di telinga mereka, hal sekecil apapun yang berkaitan dengan kata ‘libur’ akan sampai ke telinga mereka dengan cepat, mendahului speaker merk TOA yang terpasang dekat lapang upacara ataupun speaker-speaker kecil di setiap kelas. Entahlah, itu masih menjadi sebuah misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Beberapa teman SMP-ku sepakat untuk mengadakan reuni kecil-kecilan di salah satu villa milik temanku. Karena acaranya mendadak, maka yang hadir pun tidak terlalu banyak.
Setelah melewati jalan yang cukup berliku-liku dan disusul oleh tanjakan dan turunan, akhirnya terlihatlah sebuah villa kecil yang dikelilingi oleh kolam ikan yang tidak terlalu dalam.
Kami saling bercerita mengenai sekolah kami sekarang. Maklum saja, setelah lulus dari SMP banyak yang melanjutkan ke sekolah yang berbeda-beda. Selagi mereka asyik mengobrol, diam-diam aku memperhatikan seseorang di antara mereka. Namanya Bunga. Kami bisa dibilang teman yang cukup dekat, sampai perpisahan memisahkan kedekatan itu.
Aku sudah lama memiliki ketertarikan kepadanya, yang lebih dari sekedar teman dekat tentunya. Aku mencoba untuk mengajaknya mengobrol saat kami membersihkan lantai kayu yang sudah seperti terhalang oleh karpet debu.
“Hey, udah lama kita gak ketemu. Kangen, gak? Hehe..”
“Mmm.. kangen nggak, ya…?”, jawab Bunga sambil menatapku.
“Eh, ikut aku, yuk! Kita lihat-lihat ikan di sebelah sana”, ajakku sembari menarik tangannya.
Kami mengobrol cukup lama, ternyata ia masih sama seperti dulu. Selain wajahnya yang cantik, senyum manisnya pun tak berubah.
“Woy! Ngapain kalian di sini? Cepet bantuin yang lain buat nyiapin makanan, udah laper, nih!”, kata Dion cerewet.
Dion adalah temanku yang memiliki villa ini. Badannya cukup besar, ia juga bisa dibilang cerewet untuk ukuran anak laki-laki.
“Iya, tunggu sebentar!”
“Yuk, ah! Kita bantuin aja, takut kita gak dikasih jatah buat makan sama dia”, sahut Bunga sambil tertawa.
Setelah kami selesai makan-makan, sudah tidak asing lagi, kegiatan berfoto pun menjadi tak terlewatkan. Berbagai pose ala model professional diperagakan oleh beberapa temanku yang ikut berfoto di atas batu besar dekat sungai kecil tidak jauh dari kolam.
Sambil melihat mereka dari atas villa, aku pun memperhatikan Bunga yang saat itu juga masih berada di atas villa. Apakah ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku selama ini? Apa aku perlu berteriak pada ikan-ikan di kolam untuk menyampaikan isi hatiku ini padanya? Jelas itu tidak mungkin. Selain pasti terdengar oleh semua orang, belum tentu juga ikan-ikan itu mengerti bahasaku, karena dari pengamatanku sepertinya mereka menggunakan bahasa ikan.
Perlahan aku berjalan ke arahnya dengan agak gugup. Tiba-tiba Anggi menghampiri Bunga lebih dulu daripada aku.
“Ciee.. gimana kabar kamu sama dia? Kok, gak diajak ke sini?”, tanya Anggi kepada Bunga tentang seseorang.
Saat mendengar itu, aku langsung menghentikan langkahku. Seketika perasaanku bagaikan bercermin di atas mangkuk yang berisi bubur, sungguh tak karuan.
“Ah.. gak pa-pa nggak diajak juga! Hehe..”, jawab Bunga dengan malu-malu.
Dan setelah itu aku tak mengobrol dengan Bunga lagi, aku justru malah menghindar darinya.
“Ngapain diem aja di sini?”, tanya Dion.
“Emh.. kamu tau tentang Bunga?”, tanyaku penasaran.
“Oh, iya, kamu pasti belum tau. Dia udah punya pacar sekarang, sebelumnya ia masih nungguin kamu, lho”, jelas Dion.
“Maksudnya?”, aku tak percaya dengan apa yang kudengar.
“Sebenarnya dia udah suka sama kamu dari dulu, cuma… besok traktir bubur, ya! Haha..”
Ah, dasar! Di saat seperti ini ia masih memikirkan isi perutnya, padahal di sini ada yang terluka isi hatinya.
“Ah, lanjutin dulu yang tadi!”, paksaku sedikit kesal.
Beberapa lama aku mendengarkan apa yang diceritakan Dion kepadaku, aku tak tahu harus bagaimana. Senang karena Bunga sebenarnya sudah suka kepadaku dari dulu hingga sekarang, atau kecewa karena ia telah bersama dengan yang lain?
Seiring dengan langkahku meninggalkan villa itu, pertanyaan demi pertanyaan muncul di hatiku seperti kepala ikan-ikan yang muncul di permukaan air yang sedang menikmati sisa makanan tadi. Jika ia masih suka kepadaku, kenapa kini ia bersama orang lain?
Acara reuni telah selesai, tiba waktunya untuk pulang dan kembali melewati jalan mengerikan yang telah kami lewati tadi. Ketika melewati batu besar tempat ‘para model’ berpose, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah pohon yang terukirkan sesuatu. Aku mendekatinya dan kuperhatikan tulisan yang terukir di pohon tersebut.
Dari depan Anggi berteriak, “Bunga yang membuatnya…!”, sambil tersenyum dan melanjutkan perjalanan pulang.
Betapa terkejutnya aku, ternyata ada ukiran namaku dan namanya di pohon itu. Di sela-sela cabang pohon terselip sebuah bunga yang indah dan harum, terbayang di depanku sedang berdiri ‘bunga yang sesungguhnya’, yaitu Bunga.
Aku terdiam cukup lama di depan pohon itu, setidaknya sampai datang seorang anak kecil mengganggu ketakjubanku pada ukiran itu.
“Kok, mukanya bengong gitu, sih? Kayak ikan lagi mangap aja. Haha..”, sambil berlari mengejekku.
Dengan perasaan kaget dan malu, aku juga langsung berlari. Bukan untuk mengejar anak itu, tapi untuk menyusul teman-temanku yang sudah meninggalkanku dari tadi.
Pagi ini aku lari pagi bersama Dion sekaligus hendak membayar janjiku kepadanya, yaitu mentraktirnya semangkuk bubur yang belum tentu cukup untuk dia.
“Hai, kalian lari pagi juga, ya?”, kata Bunga menghampiri kami berdua.
“Iya. Kamu sendirian aja? Kemana Anggi?”, tanyaku sambil berjalan dengan Bunga meninggalkan Dion yang sedang asyik dengan buburnya.
“Teman-temanku yang lain udah pulang barusan. Kita istirahat di sini dulu, yuk!”, mengajakku duduk di sampingnya.
“Kamu masih inget sama janji kamu ke aku, gak?”
“Janji apa, ya?”, aku bingung sambil mengingat-ingat.
“Itu, lho. Katanya kamu mau ngasih aku kejutan, tapi akhirnya kita keburu lulus dan beda sekolah kayak gini. Sekarang aja, dong!”, senyumnya muncul menutupi matanya yang terlihat sedih.
Aku lupa akan hal itu. Aku memang berencana untuk mengungkapkan perasaanku padanya, tapi untuk saat ini jelas tak mungkin. Ia sudah bersama orang lain. Namun, jika bukan saat ini, kapan lagi?
“Jujur, sebenarnya aku sudah suka kamu dari dulu. Tapi, aku juga tak ingin merusak hubungan kamu dengannya, seharusnya aku lebih berani waktu itu sebelum kesempatan itu hilang diambil orang”, sambil melihat burung yang terbang di atas kami berdua.
“Hah? Benarkah? Aku sebenarnya tidak ingin menjalani hubungan ini, aku menerimanya karena desakan beberapa temanku. Aku lebih memilih menantimu!”, perkataannya itu justru malah membuat aku terkejut, bukan sebaliknya.
Aku tak tahu apa yang harus aku katakan lagi kepadanya, bibirku hanya bisa mangap-mangap seperti ikan yang kehabisan air. Lama kami terdiam.
Tiba-tiba terasa hangat kurasakan di atas kepalaku, aku baru sadar bahwa burung tadi menjatuhkan kotorannya sambil terbang menyusul kawanannya. Gelak tawa muncul memecah kesunyian di pagi itu, aku dan dia akhirnya bisa tertawa lepas bagaikan burung yang terbang tadi.
Aku sadar bahwa burung tadi harus melepas semua yang menjadi bebannya untuk terbang lebih tinggi dan menyusul kawanannya yang sudah jauh di depan. Sama seperti itu, aku juga harus melupakan perasaanku kepada Bunga. Aku tidak boleh terus mengikatkan hatiku pada pohon yang berukirkan namaku dan namanya jika ingin terbang bebas dan mencapai tempat seharusnya aku berada saat ini.
Benar kata Dion, “Kepastian yang belum jelas akan menghasilkan sebuah penantian, dan menantikan sebuah kepastian yang tak pasti itu melelahkan, dan berhentinya sebuah penantian karena terlalu lelah untuk menunggu. Dan jika sebuah penantian itu berhenti, maka kepastian tersebut sudah tak berarti lagi”.
Malam ini adalah malam terakhir di tahun ini. Aku berusaha meninggalkan semua hal di masa lalu yang dapat membatasiku untuk maju terus ke depan. Bagaikan ikan yang dibawa terbang oleh burung ke langit luas, meninggalkan kolam yang membatasi hidupnya selama ini, namun tetap membawa sedikit air agar ia bisa bernapas dan dapat terus mengingat dari mana ia berasal.
Inilah aku sekarang, dengan tahun yang baru, sekolah baru, teman baru, semangat baru, harapan baru, dan sedikit kenangan lama.
Cerpen Karangan: Aris Rizka Fauzi
Blog: arisfauzi34.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar