Rinduku buat papa
Hari itu merupakan hari pengumuman kelulusan bagi anak-anak kelas 3 SMP. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap anak. Begitu pula denganku. Aku tidak sabar menunggu detik-detik pengumuman itu. Hatiku berdebar-debar saat mendengar siapa saja nama yang dinyatakan lulus. Satu persatu nama disebutkan. Semua yang dinyatakan lulus merasakan satu perasaan. Bahagia.
Nama yang disebutkan sudah semakin banyak. Aku berdoa. Semoga saja aku dapat lulus. Doaku terkabul. Namaku disebutkan. Mikha Elisa Putri. Aku lega. Kekhawatiranku perlahan menghilang dan diganti dengan perasaan senang. Aku tidak sabar untuk pulang dan memberitahukannya pada mama dan papa. Hari ini memang mama dan papa tidak bisa menemaniku ke sekolah. Tapi, itu tidak menjadi masalah bagiku. Melihat wajah mereka yang berseri senang karena tahu aku telah lulus SMP sudah cukup bagiku. Namun, yang kutemukan berbeda dengan apa yang diharapkanku.
Aku merasa heran ketika melihat banyak bendera kuning dipasang di pagar rumahku. Rasa heranku pun bertambah ketika melihat banyak orang di rumahku. Sebagian besar dari mereka merupakan keluargaku. Semuanya berpakaian hitam. Ada juga yang berwarna putih. Aku merinding ketika melihat tante Ratih, adik papa keluar dari rumah sambil menangis. Ketika melihatku, ia segera berlari dan memelukku. Firasatku mengatakan ada yang aneh. Ketika tante Ratih sudah sedikit tenang, ia lalu melepaskan pelukannya. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan hal yang tak pernah kubayangkan hadir di depan mataku. Aku melihat papa terbaring kaku di atas tikar. Di sampingnya, kulihat mama sedang menangis. Tak jauh dari sana, kulihat sebuah peti mati. Satu kalimat melintas di pikiranku. Papa sudah tiada. Papa sudah meninggal.
Badanku lemas. Tak terasa air mataku menetes. Tak pernah terbayangkan olehku, aku akan mengalami ini semua. Dalam mimpi pun tidak pernah. Aku menangis. Ini adalah suatu kesedihan terbesar yang pernah kualami. Mama segera datang memelukku. Dalam pelukannya, aku menumpahkan semua kesedihanku. Semua air mataku. Satu persatu kenangan bersama papa terbayang dalam ingatanku seperti sebuah film slide. Perlahan-lahan pandangan mataku menjadi kabur. Semakin lama semakin gelap. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Hanya kenangan bersama papa yang menemaniku.
Aku ingat ketika hari ulang tahunku yang ke 5. Saat itu, papa berjanji akan mengajakku ke Disney Land. Tapi, tiba-tiba saja di kantor papa diadakan rapat penting. Dan papa tidak jadi mengajakku ke sana. Aku sedih. Aku kecewa. Itulah pertama kalinya aku merasa kecewa terhadap papa.
“Papa jahat! Papa kan sudah janji mau mengajak Mikha ke Disney Land. Kenapa tidak jadi?” Kataku di sela-sela tangisku.
“Mikha sayang, kamu jangan marah sama papa, dong. Papa kan tidak bisa pergi karena ada alasannya. Lain kali pasti papa mengajak Mikha ke sana.” Bujuk mama padaku. Tapi aku tidak mendengar apapun yang diucapkan mama. Aku menganggap mama juga sama seperti papa. Sama-sama berbohong padaku. Tapi ternyata tidak. Satu minggu kemudian, papa benar-benar mengajakku ke Disney Land. Kata papa, ini merupakan pengganti hadiah ulang tahunku. Aku sangat senang. Aku menganggap kalau hari itu masih merupakan hari ulang tahunku. Walaupun sebenarnya hari ulang tahunku sudah lewat seminggu.
“Papa jahat! Papa kan sudah janji mau mengajak Mikha ke Disney Land. Kenapa tidak jadi?” Kataku di sela-sela tangisku.
“Mikha sayang, kamu jangan marah sama papa, dong. Papa kan tidak bisa pergi karena ada alasannya. Lain kali pasti papa mengajak Mikha ke sana.” Bujuk mama padaku. Tapi aku tidak mendengar apapun yang diucapkan mama. Aku menganggap mama juga sama seperti papa. Sama-sama berbohong padaku. Tapi ternyata tidak. Satu minggu kemudian, papa benar-benar mengajakku ke Disney Land. Kata papa, ini merupakan pengganti hadiah ulang tahunku. Aku sangat senang. Aku menganggap kalau hari itu masih merupakan hari ulang tahunku. Walaupun sebenarnya hari ulang tahunku sudah lewat seminggu.
Pada hari pertama aku masuk SD, papa yang mengantarku karena mama sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Papa juga yang mengucir rambutku dan mendandaniku. Walaupun, akhirnya aku terlihat seperti ondel-ondel. Akhirnya, aku didandani ulang oleh mbok Itun, pembantu di rumahku. Ketika sudah sampai di sekolah, aku selalu berada di dekat papa. Aku tidak mau jauh-jauh dari papa. Aku takut pada teman-temanku, karena tubuh mereka rata-rata lebih besar daripadaku. Bahkan, sampai waktunya untuk masuk ke kelas juga aku tidak berani. Papa sampai harus menemaniku belajar di dalam kelas. Bayangkan saja, papa yang sebesar itu harus duduk di bangku anak SD yang ukurannya lumayan kecil. Guru-guruku sampai tersenyum geli melihat papa yang harus duduk di kursi sekecil itu dan menemaniku belajar. Akhirnya, mereka mengambilkan kursi lain untuk papa.
Kenangan lainnya tentang papa adalah saat aku sakit. Malam itu, tubuhku menggigil hebat dan suhu tubuhku sangat tinggi. Di luar sedang turun hujan lebat dan mobil kami dua-duanya sedang di bengkel untuk diservis. Papa dan mama berusaha mencari taksi ataupun kendaraan umum lainnya. Tapi, malam itu hujan turun dengan lebatnya sampai-sampai sebagian kota Jakarta mengalami banjir, sehingga taksi maupun kendaraan umum lainnya tidak ada yang lewat. Pada saat mama dan papa sedang bingung mencari kendaraan untuk mengantarku ke rumah sakit, tiba-tiba muncul sebuah becak. Papa segera menghentikan tukang becak tersebut.
“Eh, stop, stop, stop…!” Kata papa sambil menghadang tukang becak itu. Tukang becak itu segera menghentikan becaknya.
“Ada apa, pak?” Tanya tukang becak itu bingung.
“Pak, tolong saya, pak. Anak saya sedang sakit. Saya tidak punya kendaraan untuk mengantar anak saya ke rumah sakit. Bapak mau mengantar saya ke rumah sakit?” Tanya papa pada tukang becak itu. Tukang becak itu berpikir sebentar, lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Maaf, pak. Tapi, jalanan sedang banjir dan jarak rumah sakit juga jauh. Saya saja tidak kuat membawa becak saya.” Kata tukang becak itu pada papa.
“Kalau bapak tidak sanggup, biar saya saja yang bawa. Biar becak bapak saya sewa untuk malam ini. Bapak bisa menunggu saya di rumah saya. Kalau bapak mau pulang ke rumah bapak, ini saya kasih kartu nama saya. Bapak bisa menghubungi saya nanti. Ini uang untuk menyewa becak bapak. Kalau kurang, nanti baru bapak bilang ke saya.” Kata papa sambil mengeluarkan kartu nama dan uang RP.500.000 dari dompet dan memberikannya pada tukang becak itu. Tukang becak itu diam sebentar. Ia kelihatan ragu. Tapi, melihat wajah papa yang serius, ia lalu mengambil uang dan kartu nama tersebut. Papa lalu menyuruh mama menggendongku dan naik ke atas becak, sedangkan papa yang mengayuhnya. Bayangkan saja, papa harus mengayuh becak yang ditumpangi mama dan aku sendirian. Belum lagi harus menempuh jarak yang lumayan jauh dan pada saat itu, jalan menuju rumah sakit juga sedang banjir. Tapi, papa berhasil mengantar aku dan mama ke rumah sakit. Sesampainya di sana, papa segera menggendongku dan membawaku ke ruang perawatan. Aku harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Selama tiga hari itu, mama dan papa menemaniku di rumah sakit. Kadang-kadang, hanya papa yang menjagaku karena mama mudah lelah. Itu merupakan salah satu pengorbanan papa untukku. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan papa yang sangat mencintai dan menyayangiku.
“Eh, stop, stop, stop…!” Kata papa sambil menghadang tukang becak itu. Tukang becak itu segera menghentikan becaknya.
“Ada apa, pak?” Tanya tukang becak itu bingung.
“Pak, tolong saya, pak. Anak saya sedang sakit. Saya tidak punya kendaraan untuk mengantar anak saya ke rumah sakit. Bapak mau mengantar saya ke rumah sakit?” Tanya papa pada tukang becak itu. Tukang becak itu berpikir sebentar, lalu ia menggelengkan kepalanya.
“Maaf, pak. Tapi, jalanan sedang banjir dan jarak rumah sakit juga jauh. Saya saja tidak kuat membawa becak saya.” Kata tukang becak itu pada papa.
“Kalau bapak tidak sanggup, biar saya saja yang bawa. Biar becak bapak saya sewa untuk malam ini. Bapak bisa menunggu saya di rumah saya. Kalau bapak mau pulang ke rumah bapak, ini saya kasih kartu nama saya. Bapak bisa menghubungi saya nanti. Ini uang untuk menyewa becak bapak. Kalau kurang, nanti baru bapak bilang ke saya.” Kata papa sambil mengeluarkan kartu nama dan uang RP.500.000 dari dompet dan memberikannya pada tukang becak itu. Tukang becak itu diam sebentar. Ia kelihatan ragu. Tapi, melihat wajah papa yang serius, ia lalu mengambil uang dan kartu nama tersebut. Papa lalu menyuruh mama menggendongku dan naik ke atas becak, sedangkan papa yang mengayuhnya. Bayangkan saja, papa harus mengayuh becak yang ditumpangi mama dan aku sendirian. Belum lagi harus menempuh jarak yang lumayan jauh dan pada saat itu, jalan menuju rumah sakit juga sedang banjir. Tapi, papa berhasil mengantar aku dan mama ke rumah sakit. Sesampainya di sana, papa segera menggendongku dan membawaku ke ruang perawatan. Aku harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Selama tiga hari itu, mama dan papa menemaniku di rumah sakit. Kadang-kadang, hanya papa yang menjagaku karena mama mudah lelah. Itu merupakan salah satu pengorbanan papa untukku. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan papa yang sangat mencintai dan menyayangiku.
Aku tersadar ketika merasakan ada seseorang yang mengelus-ngelus rambutku. Aku membuka mataku perlahan. Kulihat sesosok wanita paruh baya di depanku. Tante Ratih. Ia menatapku dengan tatapan sendu. Aku melihat di sekelilingku. Ini kamarku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berada di kamarku. Seingatku, tadi aku sedang berada di ruang tamu. Sedang menangis bersama mama. Lalu aku teringat pada papa. Aku lalu kembali menangis. Aku mengambil sebuah foto. Di dalamnya terdapat foto aku, mama, dan papa. Itu merupakan foto pada saat kami sedang berlibur ke Hawai setahun yang lalu. Di foto itu, wajah papa terlihat sangat cerah. Ia memakai baju berwarna ungu cerah yang sama dengan baju yang aku dan mama kenakan. Itu merupakan liburan paling menyenangkan buatku, dan juga liburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih tidak menyangka itu akan menjadi iburan terakhir kami bersama-sama. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana debur ombak di pantai, cahaya matahari pada saat terbit dan terbenam, dan juga burung-burung camar yang beterbangan di atas laut. Aku juga masih mengingat saat papa dan aku naik bananaboat bersama-sama. Aku sangat senang pada waktu itu.
“Bagaimana? Kamu senang dengan liburan kali ini?” Tanya papa sehari sebelum kepulangan kami kembali ke Indonesia. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, pa. Mikha senang banget bisa liburan ke Hawai sama mama dan papa.” Kataku bersemangat. Papa hanya tersenyum melihatku. “Kapan kita bisa liburan ke sini lagi, pa?” Tanyaku pada papa.
“Kalau Mikha mau, kita bisa ke sini lagi tahun depan. Tapi, itu kalau Mikha bisa lulus SMP dengan nilai yang baik. Bagaimana? Setuju?” Tanya papa padaku. Aku merasa senang mendengarnya. Sejak saat itu, aku mulai belajar mati-matian agar dapat pergi lagi ke Hawai. Pada saat aku telah berhasil mendapatkan itu semua, papa sudah tiada. Dan ini membuat aku bertambah merasa sedih. Tiba-tiba saja, muncul sebuah pertanyaan di kepalaku. Apa penyebab kematian papa? Kenapa papa bisa meninggal? Aku harus menanyakannya. Pada mama, pada tante Ratih, atau pada siapapun. Orang yang bisa memberikan jawaban padaku.
“Tante, Mikha mau tanya satu hal sama tante.” Kataku pada tante Ratih.
“Kamu mau tanya apa, sayang?” Tanya tante. Aku menarik napas. Berusaha mengambil ancang-ancang. Aku sudah bersiap untuk mengetahui semuanya.
“Tante, apa sebenarnya penyebab kematian papa?” Tanyaku hati-hati. Tante Ratih terlihat sedikit kaget. Tapi, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya padaku.
“Mikha, tante juga tidak tahu pasti mengenai kematian papa kamu. Tapi, kalau menurut cerita mama kamu… papa kamu meninggal karena ia… mengidap tumor otak…” Kata Tante Ratih perlahan. Aku terkejut mendengar penjelasannya. Samar-samar kulihat air mata mulai menggenangi mata tante Ratih. Aku tidak bisa percaya akan ini semua. Papa yang selama ini selalu terlihat sehat, ternyata mengidap tumor. Penyakit berbahaya yang sangat ditakuti oleh semua orang. Dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
“Bagaimana? Kamu senang dengan liburan kali ini?” Tanya papa sehari sebelum kepulangan kami kembali ke Indonesia. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, pa. Mikha senang banget bisa liburan ke Hawai sama mama dan papa.” Kataku bersemangat. Papa hanya tersenyum melihatku. “Kapan kita bisa liburan ke sini lagi, pa?” Tanyaku pada papa.
“Kalau Mikha mau, kita bisa ke sini lagi tahun depan. Tapi, itu kalau Mikha bisa lulus SMP dengan nilai yang baik. Bagaimana? Setuju?” Tanya papa padaku. Aku merasa senang mendengarnya. Sejak saat itu, aku mulai belajar mati-matian agar dapat pergi lagi ke Hawai. Pada saat aku telah berhasil mendapatkan itu semua, papa sudah tiada. Dan ini membuat aku bertambah merasa sedih. Tiba-tiba saja, muncul sebuah pertanyaan di kepalaku. Apa penyebab kematian papa? Kenapa papa bisa meninggal? Aku harus menanyakannya. Pada mama, pada tante Ratih, atau pada siapapun. Orang yang bisa memberikan jawaban padaku.
“Tante, Mikha mau tanya satu hal sama tante.” Kataku pada tante Ratih.
“Kamu mau tanya apa, sayang?” Tanya tante. Aku menarik napas. Berusaha mengambil ancang-ancang. Aku sudah bersiap untuk mengetahui semuanya.
“Tante, apa sebenarnya penyebab kematian papa?” Tanyaku hati-hati. Tante Ratih terlihat sedikit kaget. Tapi, ia berusaha untuk tidak menunjukkannya padaku.
“Mikha, tante juga tidak tahu pasti mengenai kematian papa kamu. Tapi, kalau menurut cerita mama kamu… papa kamu meninggal karena ia… mengidap tumor otak…” Kata Tante Ratih perlahan. Aku terkejut mendengar penjelasannya. Samar-samar kulihat air mata mulai menggenangi mata tante Ratih. Aku tidak bisa percaya akan ini semua. Papa yang selama ini selalu terlihat sehat, ternyata mengidap tumor. Penyakit berbahaya yang sangat ditakuti oleh semua orang. Dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.
Papa menyimpan semuanya seorang diri. Ia berjuang melawan penyakit ini tanpa seorangpun tahu. Ia selalu tersenyum di depanku, di depan mama, di depan kami semua. Tapi, di balik itu semua, ia menyimpan penderitaan yang tak bisa dibayangkan. Hatiku sakit bagaikan teriris seribu sembilu. Aku marah. Marah pada papa karena tidak pernah memberitahu kami tentang penyakitnya. Marah pada diriku sendiri yang tidak tahu tentang penyakit papa. Marah pada Tuhan karena memberikan papa penyakit itu. Aku marah pada dunia karena telah meninggalkan papa seorang diri. Aku marah pada semuanya. Aku merasa dihempaskan ke jurang tak berdasar. Di hantam badai yang takkan pernah berlalu. Aku menangis, aku berteriak, aku memohon pada Tuhan. Aku mohon Tuhan mengembalikan papa. Bahkan, aku rela menukar nyawaku dengan papa. Namun, itu sia-sia. Sekeras apapun aku berteriak, selembut apapun aku memohon, papa tidak akan pernah kembali. Papa tidak akan hidup lagi. Tante Ratih berusaha menenangkanku. Ia berkata kalau ini semua sudah takdir dari yang kuasa. Tapi aku tidak dapat menerimanya. Kata guru agamaku, Tuhan sayang pada orang yang sayang pada anak-anak. Kalau begitu, kenapa Tuhan mengambil papa? Padahal papa sayang padaku. Sayang pada anaknya. Kenapa harus papaku yang diambil? Kenapa? Hatiku bertanya sambil menjerit pilu.
“Tante, papa ada di mana? Mikha mau lihat papa.” Kataku sambil menahan isak tangis.
“Papa masih ada di bawah. Tapi, sebentar lagi mau dimakamkan.” Kata tante Ratih menghapus air matanya.
“Mikha mau lihat papa, tante. Mikha mau lihat papa.”
“Ya sudah, ayo tante antar kamu ke bawah.” Kata tante Ratih sambil membimbingku ke bawah. Aku sangat lemah untuk berjalan. Bahkan, memikirkan bagaimana cara berjalan saja aku tidak sanggup.
“Tante, papa ada di mana? Mikha mau lihat papa.” Kataku sambil menahan isak tangis.
“Papa masih ada di bawah. Tapi, sebentar lagi mau dimakamkan.” Kata tante Ratih menghapus air matanya.
“Mikha mau lihat papa, tante. Mikha mau lihat papa.”
“Ya sudah, ayo tante antar kamu ke bawah.” Kata tante Ratih sambil membimbingku ke bawah. Aku sangat lemah untuk berjalan. Bahkan, memikirkan bagaimana cara berjalan saja aku tidak sanggup.
Setelah sampai di bawah, mama segera menghampiriku. Ia mencium keningku dan berkata semuanya akan baik-baik saja. Aku mengangguk dan mama membantuku berjalan menuju peti papa. Aku ingin melihat papa untuk terakhir kalinya. Saat sampai di depan peti mati papa, air mataku kembali bergulir. Aku tak tahan. Aku kembali menangis.
“Papa, kenapa papa ninggalin Mikha? Kenapa papa ninggalin Mikha sama mama? Kenapa papa?” Kataku di sela-sela tangisku. Mama kembali memelukku dan menenangkanku. Tapi, kali ini aku sudah tidak bisa membendung semuanya. Aku masih tidak percaya kalau papa sudah tiada. Padahal, tadi malam papa masih sempat masuk ke kamarku dan mengucapkan selamat malam kepadaku. Malam itu papa terlihat sangat sehat.
“Papa, katanya papa mau mengajak Mikha liburan ke Hawai lagi kalau Mikha lulus, kan? Gimana kita bisa ke sana kalau papa ninggalin Mikha? Bangun papa…! Bangun…!” Kataku semakin histeris. Mama dan tante Ratih kembali menenangkanku. Aku sedikit tenang ketika mama memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Hal yang sering dilakukan mama pada saat aku sedih.
“Papa, kenapa papa ninggalin Mikha? Kenapa papa ninggalin Mikha sama mama? Kenapa papa?” Kataku di sela-sela tangisku. Mama kembali memelukku dan menenangkanku. Tapi, kali ini aku sudah tidak bisa membendung semuanya. Aku masih tidak percaya kalau papa sudah tiada. Padahal, tadi malam papa masih sempat masuk ke kamarku dan mengucapkan selamat malam kepadaku. Malam itu papa terlihat sangat sehat.
“Papa, katanya papa mau mengajak Mikha liburan ke Hawai lagi kalau Mikha lulus, kan? Gimana kita bisa ke sana kalau papa ninggalin Mikha? Bangun papa…! Bangun…!” Kataku semakin histeris. Mama dan tante Ratih kembali menenangkanku. Aku sedikit tenang ketika mama memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Hal yang sering dilakukan mama pada saat aku sedih.
Kami lalu bersiap untuk menuju ke tempat pemakaman. Aku dan mama naik mobil AMBULANCE yang memuat peti mati papa. Setelah sampai di sana, kami semua segera turun dan menuju tempat yang telah disediakan untuk mengubur papa. Acara pemakaman berlangsung khidmat diiringi dengan doa dan tangis untuk papa. Sesaat sebelum peti papa dimasukkan ke liang kubur, aku kembali menangis histeris sambil memanggil-manggil papa.
“Papa…! Papa…! Papa jangan ninggalin Mikha. Mikha tidak mau kehilangan papa. Mikha sayang sama papa. Papa…! Kenapa papa harus pergi secepat ini? Papa kan belum lihat Mikha masuk SMA. Mikha mau papa yang mengantar Mikha ke sekolah. Mikha juga belum bahagiakan papa. Mikha belum membalas semua yang papa lakukan buat Mikha. Mikha mau papa yang menemani Mikha saat nikah nanti. Mikha Mohon, papa jangan pergi…! Jangan, papa…!” Teriakku sambil meronta-ronta. Aku hampir masuk ke liang kubur kalau saja tidak ditahan oleh mama dan beberapa orang yang ada di situ.
“Papa…! Papa…! Papa jangan ninggalin Mikha. Mikha tidak mau kehilangan papa. Mikha sayang sama papa. Papa…! Kenapa papa harus pergi secepat ini? Papa kan belum lihat Mikha masuk SMA. Mikha mau papa yang mengantar Mikha ke sekolah. Mikha juga belum bahagiakan papa. Mikha belum membalas semua yang papa lakukan buat Mikha. Mikha mau papa yang menemani Mikha saat nikah nanti. Mikha Mohon, papa jangan pergi…! Jangan, papa…!” Teriakku sambil meronta-ronta. Aku hampir masuk ke liang kubur kalau saja tidak ditahan oleh mama dan beberapa orang yang ada di situ.
Setelah kepergian papa, hari-hariku terasa semakin kelabu. Aku masih sering menangis bila mengingat papa. Aku menangis saat bangun tidur, saat makan, saat pergi dan pulang sekolah, dan saat hendak tidur. Mama juga masih sangat sedih. Namun, kesedihannya itu tidak ditunjukkannya padaku. Karena sering menangis, kurang makan dan kurang tidur, aku jatuh sakit. Aku harus dirawat di rumah sakit. Karena keadaanku semakin parah, aku sempat koma. Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari. Selama itu, aku bermimpi sedang bermain di taman yang sangat indah. Taman itu dipenuhi bunga-bunga indah dan kupu-kupu yang cantik. Di tempat ini, aku dapat melupakan semua kesedihanku. Saat aku sedang bermain-main, aku melihat sesosok laki-laki yang ku kenal. Aku menghampirinya. Kuperhatikan wajahnya baik-baik. Ternyata itu papa. Aku sangat senang dapat bertemu lagi bersama papa. Aku segera memeluknya. Papa juga memelukku. Dalam pelukannya, aku merasa sangat damai. Aku merasa aman. Aku tidak merasa kesepian lagi.
“Papa, Mikha senang sekali bisa ketemu sama papa. Mikha kangen sama papa. Papa jangan pergi kemana-mana lagi ya, pa? Ayo kita pulang. Mama pasti senang karena papa bisa pulang.” Kataku pada papa.
“Mikha, papa juga senang bisa ketemu Mikha lagi. Tapi, papa tidak bisa kembali ke rumah. Tempat papa adalah di sini.” Kata papa lembut sambil membelai rambutku. Mendengar itu aku menjadi kecewa. Aku marah. Aku ingin protes. Tapi aku sadar, memang di sinilah tempat papa yang seharusnya.
“Kalau itu mau papa, tidak apa-apa. Tapi, Mikha mau terus bersama papa. Mikha mau di sini bersama papa. Boleh ya, pa?” Pintaku pada papa. Papa lalu menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa Mikha. Tempat Mikha bukan di sini. Tempat Mikha adalah di dunia bersama mama. Kalau Mikha di sini, nanti siapa yang menjaga mama?”
“Kalau ini bukan di dunia, berarti ini di mana? Ini di surga ya, pa? Papa tinggal di surga?”
“Bukan Mikha. Ini bukan surga. Ini memang seperti surga, tapi berbeda. Papa belum bisa pergi ke surga.”
“Kenapa papa tidak bisa ke surga? Papa kan orang baik. Papa juga sayang sama anak-anak. Seharusnya papa berada di surga. Seharusnya papa bersama Tuhan.”
“Papa belum bisa pergi ke surga, sayang. Itu semua karena Mikha belum merelakan papa pergi. Mikha masih sering menangis, kan? Kalau Mikha terus seperti itu, papa belum bisa pergi ke surga.”
“Jadi, papa tidak bisa pergi ke surga karena Mikha? Karena Mikha sering menangis? Kalau begitu, Mikha tidak akan menangis lagi. Mikha akan selalu tersenyum. Supaya papa bisa sampai ke surga.” Janjiku pada papa. Papa hanya tersenyum. Perlahan papa mulai menghilang. Akhirnya papa menghilang seutuhnya. Aku ingin menangis, tapi kutahan. Aku sudah berjanji pada papa kalau aku tidak akan pernah menangis. Aku ingin papa cepat sampai ke surga. Aku ingin papa bahagia bersama Tuhan. Selamat jalan papa. Semoga papa bisa diterima di samping Tuhan. Mikha selalu menyayangi papa.
Perlahan aku membuka mataku. Kulihat mama tertidur di sampingku. Aku mengelus wajah mama. Mama terkejut. Ia lalu membuka matanya. Ia terlihat sangat senang. Ia lalu memeluk dan menciumku.
“Ma, tadi Mikha mimpi ketemu papa. Kata papa, papa belum bisa sampai ke surga karena Mikha selalu menangis. Mikha belum bisa merelakan kepergian papa. Karena itu, Mikha minta mama juga jangan menangis lagi ya, ma… Mikha juga tidak akan menangis lagi. Tapi Mikha akan selalu tersenyum untuk papa.” Kataku pada mama. Mama mengangguk pelan dan menghapus air matanya.
“Papa, Mikha senang sekali bisa ketemu sama papa. Mikha kangen sama papa. Papa jangan pergi kemana-mana lagi ya, pa? Ayo kita pulang. Mama pasti senang karena papa bisa pulang.” Kataku pada papa.
“Mikha, papa juga senang bisa ketemu Mikha lagi. Tapi, papa tidak bisa kembali ke rumah. Tempat papa adalah di sini.” Kata papa lembut sambil membelai rambutku. Mendengar itu aku menjadi kecewa. Aku marah. Aku ingin protes. Tapi aku sadar, memang di sinilah tempat papa yang seharusnya.
“Kalau itu mau papa, tidak apa-apa. Tapi, Mikha mau terus bersama papa. Mikha mau di sini bersama papa. Boleh ya, pa?” Pintaku pada papa. Papa lalu menggelengkan kepalanya.
“Tidak bisa Mikha. Tempat Mikha bukan di sini. Tempat Mikha adalah di dunia bersama mama. Kalau Mikha di sini, nanti siapa yang menjaga mama?”
“Kalau ini bukan di dunia, berarti ini di mana? Ini di surga ya, pa? Papa tinggal di surga?”
“Bukan Mikha. Ini bukan surga. Ini memang seperti surga, tapi berbeda. Papa belum bisa pergi ke surga.”
“Kenapa papa tidak bisa ke surga? Papa kan orang baik. Papa juga sayang sama anak-anak. Seharusnya papa berada di surga. Seharusnya papa bersama Tuhan.”
“Papa belum bisa pergi ke surga, sayang. Itu semua karena Mikha belum merelakan papa pergi. Mikha masih sering menangis, kan? Kalau Mikha terus seperti itu, papa belum bisa pergi ke surga.”
“Jadi, papa tidak bisa pergi ke surga karena Mikha? Karena Mikha sering menangis? Kalau begitu, Mikha tidak akan menangis lagi. Mikha akan selalu tersenyum. Supaya papa bisa sampai ke surga.” Janjiku pada papa. Papa hanya tersenyum. Perlahan papa mulai menghilang. Akhirnya papa menghilang seutuhnya. Aku ingin menangis, tapi kutahan. Aku sudah berjanji pada papa kalau aku tidak akan pernah menangis. Aku ingin papa cepat sampai ke surga. Aku ingin papa bahagia bersama Tuhan. Selamat jalan papa. Semoga papa bisa diterima di samping Tuhan. Mikha selalu menyayangi papa.
Perlahan aku membuka mataku. Kulihat mama tertidur di sampingku. Aku mengelus wajah mama. Mama terkejut. Ia lalu membuka matanya. Ia terlihat sangat senang. Ia lalu memeluk dan menciumku.
“Ma, tadi Mikha mimpi ketemu papa. Kata papa, papa belum bisa sampai ke surga karena Mikha selalu menangis. Mikha belum bisa merelakan kepergian papa. Karena itu, Mikha minta mama juga jangan menangis lagi ya, ma… Mikha juga tidak akan menangis lagi. Tapi Mikha akan selalu tersenyum untuk papa.” Kataku pada mama. Mama mengangguk pelan dan menghapus air matanya.
Dua hari kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Setelah pulang dari rumah sakit, mama segera mengajakku masuk ke kamar mama dan papa. Di dalam kamar, aku dan mama berdoa pada Tuhan. Kami memohon agar papa dapat diterima oleh Tuhan. Aku juga memohon Tuhan mengirimkan tanda pada kami apabila papa sudah sampai di surga. Keesokan harinya, kulihat pelangi yang sangat indah. Aku menganggapnya sebagai tanda dari Tuhan. Aku segera berdoa mengucapkan terima kasih pada Tuhan, karena telah menerima papa di sampingNya. Di dalam doaku, aku berkata “Tuhan, titip salam rindu untuk papa yang ada di sampingMu…”
TAMAT
Cerpen Karangan: Ria Ratoe Oedjoe
Facebook: Ria Ratoe Oedjoe
Facebook: Ria Ratoe Oedjoe
0 komentar:
Posting Komentar