Ini Tentang Kita

Aku duduk termenung di atas sebuah kursi di teras kamarku. Menatap bintang dan bulan, berharap mereka mengerti perasaanku yang tak menentu. Ya, sangat tak menentu. Beberapa bulan lalu aku bertemu dengannya. Ya, satu-satunya orang membuatku terpukau setelah 2 tahun. Aku mengenalnya di sekolah, dia memang tak setampan pria lainnya, tapi bagiku dia cukup menawan. Setelah mengenalnya lebih dekat, aku mulai merasa nyaman dengan segala perhatiannya padaku. Apa kau menyukaiku? 2 minggu pun berlalu, aku mulai mendengar gosip-gosip antara aku dan dia. Tak heran jika aku memiliki saingan yang berat karena dia bukanlah orang dari negeri ini. Ya, Korea. Semakin hari aku semakin dekat dengannya dan dia mulai berani duduk di sampingku dengan penuh keceriaan. Sampai akhirnya aku merasa bahwa aku mulai menyukainya. Tahun ajaran berlalu dengan kenangan dan memori tentangnya. Saat aku mulai yakin dengan dia, hadirlah seseorang yang mungkin memikat hatinya. Entahlah, aku semakiin tak yakin dengan segala kenyataan pahit ini. Aku pun mulai jauh dengannya, sangat jauh. Di antara kami bagaikan hadir sebuah dinding. Aku mencoba menghancurkan dinding itu dan menepis semua jarak antara kita, tapi apa yang kuinginkan tak juga terlaksana dan akhirnya membuatku kembali terpuruk. Dia bersama perempuan itu di depanku, mengulang memori yang ada di benakku. Tapi, hanya aku dan perempuan itu sajalah yang berbeda. Hatiku mulai resah dengan segala keadaan ini, mungkin kamu memang tak ditakdirkan bersamaku. Mungkin aku hanya bisa menjadi seorang sahabat bagimu. Cerpen Karangan: Ellena Crysantha gue suka nulis hal-hal yang berkaitan dengan hidup gue stay follow gw di twitter @ellenaaELN , insta : ellenacrysantha ^^ caoo ~!

0 komentar:

Posting Komentar

Tentang Aku dan Kisahku

Mungkin sebuah cerita akan menjadi kenangan yang mahal harganya dan jika di biarkan akan mudah untuk di lupakan. begitu juga cerita yang akan ku ungkapkan berikut ini. Berawal dari putih abu-abu dan masa ospek di salah satu sekolah yang tidak seberapa terkenal. Entah dari mana dan siapa yang terlebih dahulu melihat tapi yang jelas aku tahu bahwa dia yang berkaca mata hitam itu dan terlihat aneh orangnya teman sekelasku, aku hanya berani menatapnya dari kejahuan dan tak berani menanyakan siapa, dari mana atau Cuma sekedar menyapa dirinya. Hari itu pun akhirnya berakhir, sampai suatu ketika pembagian kelas pun dibacakan dan di situlah aku berpisah dengan sesosok itu dan awal dari segalanya. Di saat yang bersamaan pula aku akhirnya mengetahui siapa namanya. Ku ingat dalam benakku namanya dan dengan penuh penasaran aku bertekad ingin menjadi temannya. Dia yang bertubuh tinggi, berkulit putih dan berlesung pipi. Seperti biasa aku hanya dapat memandangi dirinya dari kejahuaan, sampai bertanya pada diri sendiri dapatkah aku berkenalan bahkan menjadi temannya. Sampai pada suatu ketika di hari sabtu aku bersama teman-teman lainnya berangkat dengan kegembiraan menuju kolam renang yang berdekatan dengan salah satu perguruan tinggi di lampung. Dan tanpa di duga oleh siapa pun ketika aku pulang dari kolam renang aku bertemu dengan dia dan temannya. Dalam perjalan suasana sunyi menyapa kami, aku berusaha untuk dapat ngobrol dengan dia namun yang ku dapat hanya jawaban dingin dari bibir merahnya bahkan kebisuan. Dari sanalah aku makin penasaran dengan dia, ketika itu aku berfikir sepertinnya dia enak kalau di jadikan teman. Dengan modal nekad aku meminta nomor hpnya kepada temannya, lalu aku menghubunginya dengan menyembunyikan identitas sebenarnya hingga aku dapat berkenalan dengannya. Namun peristiwa ini tidak berlangsung lama, dengan suatu kesepakatan dia tidak akan marah dan tetap menjadi teman aku memberitahu identitasku sebenarnya. Tapi walaupun begitu dia tidak langsung mengetahui aku siapa, karena salah satu ke anehannya ia tidak hafal nama lengkap teman di sekelilingnya yang hanya ia tau adalah nama panggilannya. mungkin ini jadi pelajaran buat aku juga bahwa kita harus mengenal seseorang sedetail mungkin bukan hanya nama panggilan karena nama panggilan bisa berubah-ubah. Dari peristiwa itu berawallah pertemanan di antara aku dan dia. Pertemanan yang berawal dari keisengan, perasaan penasaran bahkan keistimewaan. Istimewa karena aku bertemu dan berteman dengannya di luar dugaan dan kejadian yang aneh. Pertemanan yang berusaha untuk saling membantu dan memotivasi satu sama lain untuk sukses meraih impian di kemudian hari. Pertemanan yang tulus untuk saling berbagi satu sama lain. Dia telah mewarnai kehidupanku dengan pandangan-pandangannya yang bijak dan maju kedepan. Dari dia aku belajar untuk mau menerima kritikan dan masukan, dari dia pula aku belajar untuk merencanakan sesuatu yang akan kita kerjakan jauh kedepan. Aku sebetulnya orang yang tidaklah mudah untuk merubah pola pikir, aku juga bukan orang yang mau terbuka dalam semua hal kepada seseorang meskipun aku suka mendengarkan seseorang bercerita kepadaku. Aku dan dia bisa di bilang bersahabat dari media yaitu hp, aku bercerita segalanya dengannya lewat hp dan lebih sering sms dari pada telpon. Kami menghabiskan waktu bercerita lewat tulisan dari bangun tidur sampai kami tertidur, persahabatan yang indah ketika sebelum suatu kejadian terjadi di anatara kami. Kejadian yang mungkin selalu di alami oleh pasangan sahabat. Masalah kecil yang dapat merusah segelanya begitu juga pertemanan yang telah terjalin di atara kami selama kurang lebih 1 tahun. Masalh itu adalah gosip yang mengatakan bahwa aku mencintai sahabatku. Setelah aku pikir-pikir semua itu tidak benar karena aku nyaman dia menjadi sahabat yang selalu ada kalau sahabatnya kesusahan tapi gosip itu timbul karena kecerobohan aku yang tidak sengaja menyimpan smsnya dan keisengan teman-teman lain kepadaku dengan menyimpulkan sesuatu yanaug tidak benar. Aku dan dia sama-sama tau siapa orang yang di sukai atau dicintai. Rasanya tidak adil saja bagiku. Aku kehilangan teman tempat bercerita, aku bahkan dijahui dan diperlakukan seolah-seolah aku yang mau gosip itu terjadi olehnya, dia bahkan bersikap dingin, cuek dan bersikap tidak mengenal diriku. Bahkan yang membuat aku sampai sekarang tidak akan lupa dia sampai-sampai memblokir pertemanan di FB. Jika pada saat itu aku diberikan kesempatan untuk menjelaskan, aku bukan mencintainya tapi aku hanya sebatas mengaguminya ada banyak hal yang aku kagumi dari dirinya dan itu timbul seiring dengan pertemanan yang terjadi. Peristiwa panjang dan melelahkan ini berlangsung 1 tahun lebih dan peristiwa ini mengandung banyak pelajaran yang ku dapat dan sakit hati yang entah kapan akan hilang akibat tingkah laku dan sifat dia berkacamata hitam. Namun aku sadar itulah pertemanan yang tidak selalu indah, tidak untuk disesali bahkan tidak akan terulang. Semua itu mencair ketika kami duduk di bangku kelas tiga semester 2, walaupun sulit untuk memaafkan tapi aku mencoba untuk iklas. Dan aku mencoba untuk sadar bahwa tali silaturami harus dijaga karena dialah aku berani bermimpi, dialah yang merubah pola pikirku sehingga aku dapat menjadi lebih baik. Akhirnya pertemanan itu kembali seperti semula di saat pengumuman kelulusan. Rasanya masa putih abu-abu sangat berwarna karena dia, masa ini akhirnya berakhir indah. Indah karena kami mendapat kelulusan 100 persen dan indah karena akhirnya aku mendapatkan kembali pertemanan yang sempat rusak bahkan berangsur-angsur membaik. Aku bersyukur karena aku di pertemukan dengan dia. dia yang banyak memberikan hal-hal positif dan peristiwa yang berwarna dan di luar dugaan ku. Dimana pada putih abu-abu inilah aku mendapat banyak teman yang pengertian dan sayang kepadaku. Bersenang-senang bersama dari makan bakso cinta, shoping, karokean bahkan ngebolang bersama. Semua terasa indah dan bahagia. Di masa inilah aku menyadari bahwa persahabatan adalah anugerah ilahi. Aku mendapat begitu banyak hadiah ketika hari kelahiranku boneka dan diary berwarna merah bergambar hello kitty . bahkan banyak lagi peristiwa indah lainnya. Saat seragam putih abu-abu kini di tanggalkan kami sibuk mencari almamater baru sebagai tangga menggapai impian dan cita-cita. Namun komunikasi di antara aku dan yang lainnya tetap terjaga termasuk dengan dia. Dia yang dulu berbeda dengan yang sekarang, dulu dia pendiam, aneh dan tidak mengerti tenteng berpakaian sekarang semua itu berubah 100 persen. Aku senang dengan perubahannya yang positif. Walaupun kami di pisahkan jarak yang jauh namun kami selalu saling mendukung dan mendoakan satu sama lainnya. Aku mendoakan dia dimana pun ia semoga selalu bahagia dan dapat mengapai semua mimpinya termasuk duduk di perguruan tinggi impiannya. Aku menyadari bahwa setiap manusia mempunyai jalannya sendiri, jalan yang tidak selamanya lurus. Aku bangga melihatnya masuk di salah satu perguruan tinggi di kota tetengga. Namun yang aku kagumi dari dia adalah sifat patang menyerahnya sehingga ia mendapatkan hasil dari itu. dia salah satu orang yang keterima sekolah tinggi negara yang saingannya ribuaan. Bangga dapat mejadi saksi perjalanan hidupnya dan namun sayang aku tak dapat menghapuskan rasa kagum itu kepada nya. Berbagai cara aku lakukan untuk tidak kagum bahkan berusaha untuk membencinya namun hasilnya nol besar. Hanya kebingungan dan tanda tanya besar yang ku dapat, binggung kenapa dia bersiakap ini dan itu, kenapa dia tidak bisa memprilakukan aku seperti layaknya temannya kebanyakan, kenapa dia tidak memilih untuk memarahi dan menegurku atas semua prilaku ku yang berlebihan, atau lebih baik mungkin agar dia ngblokir pertemanan seperti dulu, kenapa ia selalu hadir di saat dia mulai terlupakan, kenapa aku mengagumi orang yang sedingin, cuek bahkan tidak bisa ditebak sepertinya, kenapa dia rela membiarkan aku menunggu tanpa melihat kegigihan dan jeri payahku, mungkin karena aku tak pantas bersamanya bahkan hanya untuk menjadi sahabatnya. Seiring berjalanya waktu dan seiring semua pertanyaan itu, kini dia telah menggapai kesuksesannya dengan memakai toga dan almamater kebanggaannya. Dan itu memperjelas semua keadaan ini, aku dan dia bagaikan kutub magnet yang berlawanan dan tidak akan dapat menyatu. Aku akan teteap bertahan dengan semua keadaan ini, menyerahkan semuanya kepada sang pencipta. Aku tidak akan lagi berusaha untuk melupakannya karena semakin aku coba untuk melupakannya semakin kuat juga ia dipikiranku. Aku akan berusaha mencari apa yang sebenarnya hatiku rasakan dan ku mau. Aku akan belajar sabar dengan semua prilaku mu. Aku akan berusaha ikhlas menerima hasil akhir cerita ini walaupun besar kemungkinannya aku yang akan tersakiti setidaknya aku sudah berusaha. Yang pasti aku hanya ingin melihat orang-orang di sekitarku termasuk dia bahagia dengan atau tanpa aku. Aku akan menunggu semua jawaban itu dengan seiringnya bergulir waktu. Waktu dimana aku tak tahu apakah kau akan tetap memegang teguh pendirian mu dan apakah kau akan mengingat ku atau bahkan tidak sama sekali. Waktu dimana aku akan membuktikan bahwa aku dapat membanggakan semua orang dengan berhasil menyusulmu memakai toga kebanggaan dan meraih kesuksesan. Dimana disitulah aku di ambil sumpah dan dikukuhkan sebagai tenaga kesehatan yaitu bidan dan bergelar amd keb. Detik itulah akhir dari batas waktuku menunggu kejelasan dari cerita ini. Cerpen Karangan: Arfiana Sari Facebook: Facebook.com/arfiana.sari

0 komentar:

Posting Komentar

Arti Sebuah Penantian

Subuh ini aku mulai menulis kembali. Berani menyita semua waktu tidurku untuk menceritakan kembali tentangmu disana. Aku, saat ini merasakan bahwa kehadiranmu sungguh ada dan duduk di sampingku. Memberikan sedikit cibiran khas, menyipitkan mata, dan tertawa ntah kenapa. Tapi rasanya aneh jika bayangan ku itu harus bergelut dengan kenyataan bahwa kau, ada disana bersama wanita lain, duduk dan bercanda manis dengannya. Membelai rambutnya hingga aku merasa bahwa aku sangat kesal, aku harus melihat ini dan menerimanya. Aku harus menahan sakit walaupun aku tidak dihiraukan. Sebagai penonton seharusnya aku mampu menangisi apa yang aku lihat. Karena kalian tidak akan perduli. Begini atau bagaimanapun aku. Rasanya hari tanpa membicarakanmu tak wajar. Rasanya tanpa bergelut dengan laptop setiap waktu tanpa memperbincangkanmu juga tak wajar. Kamu bukan sebagian dari hidupku lagi. Tapi kamu masih bagian dari hatiku. Apa kau ingat saat aku memilih untuk pergi meninggalkanmu di halte bus itu? Seharusnya hari itu duduk di sampingmu. Melewati beberapa menit yang akan berlalu sebelum aku menginjakkan kaki di rumah dan memulai beberapa jam hingga malam tanpamu. Tapi aku juga tidak mampu untuk bersamamu berjam-jam di bus itu dengan wanita lain. Wanita yang lebih dari biasanya aku lihat. Dia bukan teman kita, mengapa kamu harus mengenalnya? Dan kenapa kamu harus mengenalinya padaku? Setelah hari aku memulai untuk pulang sendiri itu aku sadar. Bahwa aku mencintaimu, aku cemburu. Tapi aku salah, kenapa aku harus menaruh hati padamu? Pada orang yang jelas-jelas juga tidak mencintaiku. Mungkin. Di hari berikutnya, aku merasa enggan meninggalkan halte itu. Banyak cerita yang kita parut dan habiskan bersama. Walaupun dalam jangka yang pelan dan sebentar. Rasanya tidak tega kepada halte yang sudah baik mau memberikan aku tempat untuk mencintaimu, memperhatikanmu secara diam-diam dan sekarang malah ku tinggalkan begini saja? Aku tidak ingin menjadi orang yang berbeda setelah sesuatu berubah sepertimu. Sejak kau mengenalnya kau hanya akan berfikir bagaimana menghabiskan waktu untuk hanya sekedar melambaikan tangan pada wanita berkaca mata itu? Kamu belum tau rasanya aku ketika kamu menanyakan, “aku harus pakai alasan apa lagi ya untuk menemui Kristin nanti?”. Oh jadi nama wanita berkaca mata itu Kristin, baiklah sekarang aku hanya ingin menemui wanita itu dan menjabat tangannya. Memberikan ucapan terima kasih karena sudah menjadi media lain untuk zain merasakan kenyamanan. Perasaan tak terbalaskan itu tidak ada gunanya. Bagi semua orang yang merasakan ini. Aku susah payah menunggumu hanya untuk pulang bergandengan, sedangkan kamu berlari mencari wanita itu. Lalu aku bisa apa? Halte itu kusam, tanpa aku dan kamu seperti biasa. Tanpa kita yang perduli dengannya. Membersihkannya dengan canda tawa yang meledak. Sengaja kita ledakkan. Di antara kekecewaan yang aku rasakan ini, apakah kamu tak pernah ingin bertanya “hari apa yan paling membuatmu kesal dil? Apakah ada?” dari dulu aku menunggu pertanyaan itu. Dan aku ingin menjawab dengan nada lantang dan tegas… Ada! Apa kamu ingat saat pulang sekolah kamu menawarkanku untuk pulang bersama seperti biasa dan bilang bahwa “aku kangen loh waktu-waktu kita pulang bareng kayak dulu”. Disana, mungkin karena cintaku ini terlalu lembut, sehingga mampu kamu mainkan dengan perbincangan anak-anak. Perbincangan laki-laki yang hanya ingin menyakiti dan memakai kata “kangen”. Aku juga merindukanmu, lalu aku bisa apa ketika kamu berbicara itu? Jelas aku menerima tawaranmu. Ternyata, bukan hanya tawaran itu yang kamu suguhkan, kamu juga bilang “hari ini aku mau ngajakin kamu makan dil. Mau kan?” Wanita mana yang ingin menyia-nyiakan rasa kebersamaan yang akhir-akhir ini hampir punah karena dengan adanya orang lain di antara mereka? Jelas saja aku menerimanya. Siang itu kamu juga membawaku untuk pergi ke sebuah café pilihanmu. Aku mengikut saja, asal adanya kamu aku akan merasakan semuanya baik. Tapi aku merasa ingin pergi dengan tangisan ketika aku melihat di meja sana, di meja yang tertera angka 11 itu ada wanita berkaca mata yang selama ini aku benci. Kristin, kenapa wanita itu sudah pindah habitat kesini? Sengaja ingin mencemburui ku? Tampaknya ia melambaikan tangan kepada zain, benar sudah kan apa yang aku bilang? Datang kesini hanya akan membuat aku mati dalam kecemburuan hanyut dalam penyesalan. “kita duduk di meja 11 zain?” kataku dengan menyembunyikan rasa kesalku. “iya, kita makan bareng Kristin. Tadi dia minta aku ngajak kamu” jawabmu sambil tersenyum. Dia minta aku ngajak kamu? Sebenarnya kehadiranku lebih tidak diinginkan oleh zain ternyata. Ia hanya terpaksa dengan alasan kasihan mungkin. Duduk disana, di meja 11. Berhadapan dengan Kristin, wanita berkaca mata berkulit putih dan sipit itu, iya memang berkesan wanita cina. Tapi aku tidak mungkin memakai alasan “aku ke belakang sebentar ya…” toh nantinya juga aku akan kembali di meja itu. Agak terjepit dengan rasa cemburu juga ketika kamu dan dia memilih menu secara bersamaan dan menu yang sama. Melihat itu selera makanku hilang, sudah kenyang dengan senyuman pahit mereka berdua. Memangnya jika aku marah semuanya akan berada pada posisi yang aku inginkan? Tidakkan? Lebih baik diam. Mungkin pilihan yang menyakitkan, tapi lebih baik begitu. Kamu beranjak pergi ntah kemana, wanita berkaca mata itu mendekatiku. Ia sedikit tersenyum lalu menunduk. Kemudian menatap ku, “kamu cemburu?” katanya. Ah tuhan, terbacakah semua yang aku lakukan ini? Terbacakah semua dari sorotan mata ini? Perih. Aku bersikap cuek, mengenal wanita ini tidak pernah aku inginkan. Duduk makan siang bersamanya dan melihat ia menatapku dengan penuh keseriusan ini juga tak pernah kubayangkan. Lagi, ia tersenyum melihatku. Ia menggenggam tanganku penuh rasa sahabat. “jangan cemburu hingga membenciku begitu. Aku tidak mencintainya dil…” semua berubah. Aku diam dia tertawa, aku mulai berfikir bahwa aku ingin membunuhnya jika ia berbohong. “jangan menatapku seperti ingin membunuh begitu, aku tidak mencintainya dil..” lanjutnya lembut. “Selama ini kami dekat, kami ini adalah tetangga. Dan lebih dekatnya kami adalah sepupu jauh, kami baru beberapa kali bertemu dan sepertinya memang kami cocok.” Cocok? Sakit. “bukan cocok sebagaimana kamu dan zain, tapi kami memang cocok untuk sharing. Selama ini kami memang banyak bersama, itu karena sesuatu yang pantas kamu dapatkan. Jangan takut kehilangan dia” jelasnya. Melihat itu, aku berani untuk menjelaskan… “aku sudah lama menunggu zain, bukan sebentar tapi dalam waktu yang lama. Itungan tahun, dari SD juga aku menyukainya, tapi aku belum berani untuk menegaskan bahwa aku mencintainya. Seiring waktu, kami juga selalu dapat sekolah yang sama aku mulai berani untuk jujur terhadap hari-hari ku, bahwa aku hampa tanpa zain. Aku belum pernah ingin mengubur rasaku kepadanya hidup-hidup. Tapi rasa ini tidak pernah mati, tapi setelah melihat kalian aku ingin mematikan ini semua.” Rasanya tidak salah jika aku menangis dalam kepasrahan. Aku juga sudah jujur semuanya. “aku juga sudah lama. Tapi hari ini aku ingin menghidupkan lagi semuanya dil” suara lelaki. Ini bukan Kristin yang berbicara. Suaranya dekat dan sangat dekat dengan telingaku, ia berbisik. “hari ini, ingat saja di meja nomor 11 tanggal 11. Aku ingin memberikanmu kado, mengganti ketidak hadiranku malam kemarin untuk menyiapkan hari ini.” Suaranya tegas berdiri di belakangku. Aku tidak berani untuk menengok ke belakang, aku belum sanggup menjadi orang yang sangat bodoh ketika tahu itu hanya bayangan saja. Tapi tunggu, aku belum pernah membayangkan ini. Lalu ia memegang pundakku mencubit bahuku dan membalikkan badanku. Sakit .. “maaf aku mencubitmu, aku hanya ingin membangunkanmu dan berbicara bahwa ini bukan bayangan ini aku zain yang juga sudah bertahun-tahun bersama mu dan bersama perasaan kita. Aku mencintaimu dil.” Aku bisa apa ketika kau membalas perasaanku dengan begitu tegas? Aku bisa menangis dalam kebodohan. Kecemburuan bukan berarti masalah untuk suatu hubungan yang aku inginkan. Tapi bagaimana caranya menunggu dan saling meyakinkan bahwa kita sama, kita satu dan akan datang waktunya untuk kembali menyempurnaan perasaan kita dengan suatu hubungan. Jangan berfikir bahwa kita menunggu itu sendiri, jika dia belum mampu membalas setidaknya kita menunggu berdua dengan perasaan murni ini untuknya. Dan ya mungkin seperti ini, tanpa kita sadari .. kita saling menunggu dalam kebisuan. Indah … Cerpen Karangan: Nia Anisha Twitter: @niaanishaa

0 komentar:

Posting Komentar

Bunga putih

Ia masih disana, masih berdiri di tempat biasa, menjajakan setangakai bunga pada setiap orang yang lalu lalang dihadapannya. “Bunganya, Mas… Bunganya, Mbak… Lima belas ribu setangkai, untuk orang yang di sayang,” Berulang kali ia menyerukan kata-kata itu. Berharap ada seseorang yang menghampirinya dan membeli bunga-bunga yang ia jajakan hari ini. “Masih belum ada yang beli?” tanyaku mengejutkannya. “Eh, kamu. Ngapain kesini lagi? Mau beli bunga?” tannyanya polos. “Hmm.. Tapi aku maunya mawar putih” “Mawar putih?” Ia nampak bingung. “Bukannya yang aku jual ini mawar putih?” tanyanya. “Bukan, itu mawar merah.” jawabku singkat. “Mawar merah?” Ia terdiam sejenak. “Bukan, ini mawar putih. Dari wanginya saja aku yakin.” bantahnya. Sudah aku tebak, gadis ini memang istimewa. Di saat indera penglihatannya tak berfungsi dengan baik, indera penciumannya bekerja dengan sempurna. Bahkan lebih peka dari pada orang normal biasanya: Ia dapat membedakan dengan jelas antara mawar merah dan putih hanya lewat aromanya. “Kamu salah. Jelas-jelas ini mawar merah. Masa kamu nggak percaya?” kataku kembali meyakinkannya. Walaupun tebakannya memang benar. “Masa iya?” katanya ragu. “Ya ampun, masa iya aku bohong sama kamu. Yang kamu jual hari ini itu memang mawar merah. Kalau kamu nggak percaya, coba aja kamu tanya sama orang lain!!” ujarku seraya tersenyum kecil menahan tawa yang tak bisa kubendung lagi. Ia masih tak percaya dengan kata-kataku. Bermodal keyakinan akan keistimewaan indera penciuman yang dimilikinya, ia bertekad untuk membuktikan apa yang ia katakan itu benar: bahwa yang ia miliki sekarang adalah mawar putih bukan mawar merah seperti yang aku katakan. “Permisi, Mas!!” Ia menghentikan seorang pria yang melintas dihadapannya. “Numpang tanya, ini mawar merah atau mawar putih?” tanyanya ragu. “Mawar merah.” jawab pria itu singkat seraya kembali melanjutkan perjalanannya. Terus dan terus berulang kali ia menghentikan sekumpulan orang yang lalu lalang dihadapannya seraya menanyakan pertanyaan yang sama. Namun jawaban yang ia terima dari setiap orang yang ia temui tetaplah sama, yaitu merah, merah dan merah, hingga akhirnya ia menyerah. “Apa aku bilang. Yang kamu punya itu mawar merah, bukan mawar putih seperti yang kamu katakan.” Ia tertunduk lesu, menempatkan badannya dengan melipat kedua lutut bertumpu pada telapak kaki dan pantat tidak menjejak tanah. “Iya, aku salah,” ujarnya kemudian dengan pelan. “Ya sudah, karena bunga yang kamu bawa hari ini tidak habis terjual, biarkan aku membelinya semua.” “Apa? Kamu akan beli semua?” Ia nampak terkejut. “Bukannya kamu ingin beli mawar putih?” lanjutnya dengan mimik heran. “Sudah, nggak papa. Mawar merah pun boleh” — Angin malam semilir membelai tubuhku lembut. Hiruk pikuk sekumpulan anak manusia yang wajahnya tak asing lagi bagiku berkumpul dalam ruang kosong, bekas pabrik kertas yang sudah lama tak terpakai lagi. “Kemana aja lu, Dai?” sapa Topan, sahabatku yang kini berada di atas tumpukan-tumpukan ban mobil bekas. “Bukan urusan lu,” jawabku singkat tanpa menghiraukannya dan terus berjalan menyusuri koridor menuju tangga di ujung ruangan. “Lu ketemu lagi sama cewek buta itu?” tanya Topan menyusul langkahku. “Kalau iya, memangnya kenapa?” aku balik bertanya. Masih tak menghiraukan keberadaannya dan tetap berjalan lurus kedepan. “Wah, memang nyari mati lu, Dai. Nggak sadar kalau itu udah jadi lahanya Naga?” Topan meradang. Ia makin mempercepat langkahnya hingga mendahuliku. “Gue nggak perduli!” jawabku pendek. ”Lu nggak perlu khwatir, gue bisa jaga diri kok” lanjutku seraya mendahuluinya kembali.. “Gue nggak khawatir sama lu. Yang gue takutin kalau Naga sampai ngelakuin hal yang nggak-nggak sama itu cewek” ujar Topan dengan nada semakin keras. Kuhentikan langkahku. Spontan badanku kuputar seratus delapan puluh derajat lalu menatapnya tajam. “Bakal gue habisin genk-nya si Naga, kalau mereka berani nyentuh cewek itu!” wajahku memanas. Amarah di dada mendadak bergolak, batin ini tak terima jika terjadi sesuatu pada gadis itu. “Lu habisin? Nggak salah? Nggak sadar kalau kita sekarang lagi kalah jumlah. Kalau lu mau nyari mati, silakan aja!!” Topan kembali meradang. Aku terdiam. Amarahku seketika padam dan membeku. “Lebih baik lu jauhin dia!” Lanjut Topan memberi saran. “Kalau nggak, lu tau sendiri konsekuensinya!!” — Malampun semakin larut. Namun tak lantas membuat gedung ini menjadi sepi tak berpenghuni. Karena semakin malam bergulir menuju pagi suasana disini justru malah semakin ramai. Bermacam ragam anak manusia berbondong-bondong kumpul di tempat ini. Baik untuk melakukan pesta mir*s atau hanya sekedar menghabiskan malam hingga fajar menjelang. “Dai, bagaimana lahan kita yang ada di Selatan?” tanya Tora padaku. Pria separuh baya bertubuh gemuk, dengan tinggi badan 150 cm – Ia pemimpin tertinggi genk ini. “Baik, Bang. Semuanya aman, cuma…” Aku mendadak diam. Ragu untuk melanjutkan. “Anak buahnya Naga udah nguasain setengah dari wilayah selatan, Bang” Topan menyambung perkataanku yang terputus. “Setengah? Kenapa bisa?” Tora nampak terkejut. “Mereka sudah bergabung dengan genk-nya Aray. Jadi kelompok mereka bertambah dua kali lipat” Topan kembali menjeaskan. “Betul seperti itu, Dai?” tanya Tora padaku. “Kenapa lu nggak bilang sama gue dari awal?!” Tora membentakku. “Betul, Bang” Aku terdiam sejenak. “Tapi sebentar lagi pasti gue rebut kok” kataku agak gugup. “Rebut? Oh… nggak untuk saat ini, Dai. Kekuatan kita masih belum cukup untuk menghadapi mereka. Apalagi mereka sudah berkomplot dengan kelompoknya Aray. Pasti itu akan tambah sulit.” “Terus kita harus gimana lagi, Bang?” celetuk Topan, kembali ikut dalam pembicaraan. “Menunggu. Sampai suasana terkendali lagi dan baru kita mulai bertindak” nada suara Tora nampak begitu yakin. “Ya sudah, nanti kita bahas lagi, soalnya gue ada tugas penting buat lu berdua.” “Tugas?” jawabku spontan. — Ia masih disana. Masih dalam posisi yang sama dengan kegiatan rutin seperti hari-hari sebelumnya. “Masih mawar merah?” sapaku seperti biasa.. “Eh, kamu lagi?” jawabnya spontan. Respon yang sama setiap kali aku berjumpa dengannya. “Bukan!. Kali ini mawar putih” lanjutnya yakin. “Siapa bilang itu mawar putih? Itu masih bunga yang sama seperti kemarin” kataku. “Ah, tidak mungkin. Kali ini aku tak akan salah” bantahnya semakin yakin. “Masih nggak percaya? Coba kamu tanya lagi sama orang lain, pasti jawabannya merah.” Dengan polosnya ia kembali melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan kemarin. Bertanya pada setiap orang yang lewat dihadapannya hanya untuk memastikan keyakinannya. “Bagaimana?” tanyaku setelah ia kembali ketempatnya. “Aku masih salah.” Jawabnya lirih seperti putus asa. “Ya sudah, kali ini biarkan aku yang membelinya semua.” “Jangan!” “Kenapa?” aku bingung. “Aku akan menyimpan bunga ini” jawabnya. “Kok, malah di simpan? Bukannya kamu butuh uang?” “Aku akan menyimpan bunga ini hingga suatu saat aku dapat melihat kembali, aku akan buktikan jika selama ini aku tidak salah.” Serunya padaku. Aku tersenyum. “Oh iya, aku ada sesuatu untukmu.” Aku memberikan bungkusan berwarna coklat kepadanya. “Apa ini?” Ia nampak bingung. “Mudah-mudahan bisa sedikit membantumu untuk melakukan operasi mata” “Maksudmu?” Ia semakin nampak bingung. “Ini uang 100 juta.” “Apa? 100 juta?” — Langkahku cepat tak teratur. Berlari sekuat tenaga seraya sesekali menolehkan pandangan ke arah belakang. Tubuhku gemetar, rasa takut merasuki jiwaku dalam. “Gue udah bunuh orang” gumamku lirih menatapi tangan yang penuh darah. “Gue udah bunuh, Naga” teriakku histeris. — Dua bulan kemudian… “Dai, kita harus lari ke luar kota!!” seru Topan dengan nada cemas yang begitu jelas. “Luar kota?” “Iya, luar kota. Gue nggak mau mati konyol lama-lama disini. Aray pasti lagi ngacak-ngacak Jakarta buat nyari kita” “Gue nggak perduli…” “Apa? Nggak perduli lu bilang? Selain Aray yang lagi nyari-nyari kita, kita juga buronan polisi, Dai!. Nggak inget lu udah ngabisin nyawa orang? Masih bilang nggak perduli?” Topan nampak geram menatapku lekat. “Gue nggak takut… dan, gua capek harus lari terus, Pan” “Hah! gue nggak ngerti sama jalan pikiran lu, Dai. Apa ini gara-gara lu nggak mau ninggalin cewek buta itu?” tanya Topan. “Iya…!!” Jawabku singkat. Topan diam, seolah-olah kehabisan kata-kata. Suasana pun hening sejenak. “Gue nggak mau terjadi apa-apa sama dia” lanjutku. “Kalau lu nggak mau terjadi hal yang buruk sama cewek itu, lebih baik lu jauhin dia!! Karena semakin jauh lu dari dia, itu semakin aman buat dia, Dai” — Akhirnya aku menyetujui saran dari Topan untuk meninggalkan Jakarta. Tapi dengan syarat, sebelum aku pergi menghilang dari kejaran Aray, aku harus bertemu terlebih dahulu dengan gadis bunga mawar itu. “Lu udah liat dia bukan?” kata Topan saat bersamaku memperhatikan gadis itu dari kejauhan. “Dan, sekarang saatnya kita harus pergi.” “Tapi, Pan…” “Tapi apa lagi?” dengus Topan jengkel. “Biarin gue ngeliat dia dari dekat. Please, ini buat yang terakhir kalinya” pintaku. Topan menganggukan kepala. Aku tahu dia sangat terpaksa mempersilahkanku menemui gadis itu. Ia masih berdiri di tempat biasa dan masih melakukan kegiatan yang sama. Namun penampilannya terlihat sangat berbeda. Ia sudah dapat melihat kembali. “Bunganya, Mas… Bunganya, Mbak… 15 ribu setangkai, untuk orang yang di sayang,” “Mawar putihnya ada?” tanyaku. “Mawar putih?” ia memandangku dengan ekspresi bingung. “Bukannya ini mawar putih?” Tak seperti biasa, kini ia tak mengenaliku. Mungkin karena sudah dua bulan belakangan ini ia tak lagi mendengar suaraku. “Bukan, itu mawar merah.” “Mawar merah?” ia menatapku tajam. “Kamu…” Aku pun tersenyum. Ternyata ia menyadari bahwa ini adalah aku. Orang yang selama ini selalu menemuinya untuk menayakan mawar putih. Matanya pun berkaca-kaca. Buliran air halus membasahi sudut matanya. “Jadi, kamu…?” tangisnya pun meledak bersamaan dengan letusan senjata api yang terdengar memecah kebisingan. Tubuhku terhempas ke aspal jalan. Darah segar berbau anyir melumuri sekujur tubuhku. Sebuah timah panas telah bersarang di batok kepalaku. Gadis bunga mawar itu menangis histeris disampingku. Bunga-bunga yang berada digenggamannya berubah sekejap menjadi merah. Beberapa detik sebelum semuanya menjadi gelap hanya satu kata yang masih sempat terucap dari mulutku. “Aku mau mawar putih…” Gadis itu semakin histeris. Ini pertama kalinya ia ingin membuktikan padaku bahwa selama ini ia benar tentang mawar putih yang dimilikinya. Tapi semua sudah terlambat. Sebab… Mawar putih telah berubah warna menjadi merah darah… Cerpen Karangan: Aryan Dhanoe Facebook: https://www.facebook.com/aryan.dhanoe

0 komentar:

Posting Komentar

Sebuah Hari Mimpi

Covering my ears to listen to you Shutting my eyes to imagine you You have slowly become blurred, You have slowly left me in the unstoppable memories - Daydream - Tio… nanti bisa temani aku ke butik? Ahhh tidak bisa ya? ya sudah kalau gitu… tapi… Pria itu mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Titik-titik kecil keringat sudah tertera di keningnya saat suara itu kembali tengiang dalam memori otaknya. Tio… ibu menyuruh kita untuk fitting baju pengantin kita, bisakah kamu datang? Oh.. kamu ada rapat penting hari ini? ya sudah tapi bisakah kamu nanti menyempatkan untuk datang? walaupun terlambat tidak apa-apa yang penting… Baiklah kalau begitu… aku akan menunggu kamu di butik ya? Aku mencintaimu… Pria itu menggelengkan kepalanya lemah. Matanya masih terpejam tapi kedua tangannya sudah terkepal dengan sangat erat. Peluh keringat semakin membasahi wajahnya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk bangun agar bayangan suara itu hilang dari memori otaknya. Tio..? Kenapa kamu belum datang juga? Aku sudah hampir 3 jam menunggumu disini… Kamu ada dimana? kalau kamu memang tidak bisa datang setidaknya telfonlah aku, jangan buat aku khawatir seperti ini… Tiffanny… Fanny… TIFFANNY Pria itu langsung terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Pria itu, Tio berusaha untuk menormalkan kembali detak jantungnya dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Tio memejamkan matanya sejenak dan tanpa terasa air matanya kini berhasil lolos membasahi pipinya. Ia menyentuh dadanya dan entah kenapa ia kini merasakan sesak yang luar biasa saat ia kembali teringat dengan mimpinya tadi. Tio mengatur nafasnya untuk menjadi normal kembali dan perlahan ia membuka matanya kembali. Tio melihat jam di kamarnya yang kini masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Pria itu, Tio menyandarkan tubuhnya pada sandaran tempat tidurnya dan kembali menyentuh dadanya yang masih terasa sesak. Terasa sesak saat ia lagi dan lagi kembali mengingat bayangan suara itu. Suara seseorang yang sangat berarti untuknya. Dan suara seseorang yang sangat dirindukannya saat ini. Tio menundukkan kepalanya dan lagi-lagi air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya berhasil keluar sehingga membasahi wajahnya. - Daydream - Pria dan wanita paruh baya itu menolehkan kepalanya saat mendengarkan derap langkah kaki seseorang yang menghampirinya ke ruang makan. Wanita paruh baya itu tersenyum hangat saat melihat putra tunggalnya itu sudah rapi dengan kemeja putih lengan panjang dan celana kain panjang berwarna hitam yang ia kenakan serta jas hitam yang ia pegang di tangan kanannya. “Kamu mau sarapan apa, sayang?” Tanya wanita itu dengan lembut pada putranya itu. “Roti saja bu…” Ucap Tio lalu mendudukan dirinya di kursi. “Tio… apakah kamu sibuk hari ini? kalau tidak nanti bisa temani ayah bertemu dengan klien ayah dari China?” Ucap pria paruh baya itu sambil memandang putranya itu. “Hmmm…?” Tio menghentikan makannya lalu memandang ayahnya itu. “Ayah..?” Panggilnya yang membuat kedua orang tuanya itu kini memandangnya. “Ya…” “mmm… hari ini bolehkah aku ijin untuk tidak ke kantor?” Tanya Tio lirih. “Memangnya kamu ingin kemana? ada urusan penting kah?” “Aku… aku ingin mengunjunginya hari ini” Ucap Tio sambil menundukkan kepalanya sedangkan kedua orang tuanya sempat terkejut dengan kata-kata putranya tentang ‘mengunjunginya’ itu. “Kamu ingin menemuinya sayang?” Tanya wanita paruh baya itu sambil memegang tangan kanan putranya. “Kalau kamu ingin menemuinya.. pergilah nak, ibu yakin dia akan senang jika kamu datang mengunjunginya” Ucap wanita itu sambil mengusap punggung anaknya itu. “Baiklah ayah akan mengijinkan kamu” Ucap pria paruh baya itu sambil tersenyum. “Terima kasih ayah…” Ucap Tio. - Daydream - Mobil mewah berwarna hitam itu berhenti di dekat sebuah taman kota yang cukup ramai hari itu. Pria itu, Tio keluar dari mobil mewahnya itu lalu memandang kearah taman yang sudah cukup lama tidak pernah ia kunjungi. Tio melangkahkan kakinya menyusuri taman itu. Dilihatnya beberapa orang yang sedang duduk-duduk santai sambil membaca buku dan beberapa anak kecil yang sedang bermain ayunan yang ada di taman itu. Tio menghentikan langkahnya saat ia berada di depan sebuah bangku kayu. Ia mendekati bangku itu lalu mendudukan dirinya di bangku itu dan kini ia kembali mengingat sebuah kenangan di memori otaknya. “Jadi kamu menelfonku malam-malam hanya untuk mengajak aku duduk di taman ini?” Tanya Tio sambil memandang gadis dihadapannya yang sedang duduk sambil mengemut permen lollipopnya. “Hmmm… habis aku bosan di apartement terus” Ucap gadis itu, Tiffanny yang masih asyik mengemut permen lolipopnya itu. “Kalau kamu bosan kenapa kamu tidak pulang ke rumahmu saja sayang..?” Ucap Tio yang kini sudah duduk di samping gadisnya itu. “Kalau aku pulang itu akan jauh lebih membosankan karena papah dan mamah sedang keluar negri” Ucap Tiffanny. “Tapi bukan berarti kamu bisa membuat aku repot kan? hey.. kamu tahu besok aku itu ada rapat penting pagi-pagi sekali” “Kamu itu kan tunanganku jadi kamu harus mau untuk direpotkan. Lagi pula ini masih pukul 11 malam dan aku rasa nanti masih punya waktu untuk tidur dan aku jamin besok kamu tidak akan kesiangan” Ucap Tiffanny sambil tersenyum manis kepada tunangannya. “Kalau sampai besok aku kesiangan, kamu harus menerima hukumannya” Ucap Tio sambil mencubit pelan hidung gadisnya yang membuat Tiffanny mengerucutkan bibirnya. Tio menyunggingkan senyumnya saat kembali mengingat kejadian itu. Kejadian dimana gadisnya itu menelfonnya malam-malam dan menyuruhnya datang ke apartemennya hanya untuk menemaninya duduk di taman dengan alasan gadisnya itu bosan berada di apartemennya. Tio melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya yang sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Tio mengusap pelan bangku yang pernah diduduki gadisnya itu lalu ia beranjak dari duduknya dan kemudian ia berjalan menuju tempat dimana mobilnya diparkirkan tadi. - Daydream - Setelah dari taman tadi, Tio langsung mengendarai mobilnya menuju suatu tempat. Dan sekarang disinilah ia berada, di depan sebuah gedung apartemen mewah. Tio keluar dari mobilnya lalu berjalan memasuki gedung itu. Ia berjalan memasuki lift dan menekan angka 11 pada tombol yang ada di lift itu. Tak harus menunggu lama kini pintu lift itu terbuka saat ia sudah sampai di lantai 11, Tio keluar dari lift lalu ia kembali melanjutkan jalannya. Pria itu menghentikan langkahnya saat ia berada di depan sebuah pintu yang bertuliskan angka 112 dan di depan sebuah pintu tempat dimana gadisnya itu tinggal. Pria itu, Tio mulai memasukkan password yang membuat pintu apartemen itu terbuka. Tio tak langsung masuk tapi ia justru terdiam dan tersenyum miris saat mengingat password yang membuat pintu apartemen itu terbuka. TLoveT, Tio tersenyum miris saat mengetahui bahwa Tiffanny masih menggunakan kata-kata itu sebagai password apartemennya. Tio menghela nafas beratnya lalu ia mulai memasuki apartemen yang sudah cukup lama tidak ia datangi itu. Tio menutup pintu apartemen itu pelan lalu ia melangkahkan kakinya menuju ruang tamu di apartemen itu. Ia menyalakan lampu di ruang tamu itu dan kini ia dapat melihat barang-barang milik Tiffanny masih tertata rapi disana. Tio berjalan perlahan menuju sofa yang ada di ruangan itu. Perlahan tangannya memegang sofa berwarna putih itu, tempat dimana ia dan Tiffanny sering menghabiskan waktu berdua untuk mengobrol ataupun menonton dvd bersama. Kemudian ia berjalan menuju meja yang ada di dekat sova itu. Sebuah meja yang menjadi tempat dimana foto-foto gadisnya itu terpajang. Tio mengambil salah satu bingkai foto yang berisikan foto Tiffanny yang sedang tersenyum manis dan disampingnya adalah dirinya yang tersenyum dan merangkul pundak gadis itu. Tio mengusap pelan foto itu lalu ia memejamkan matanya sambil mendekap foto itu. Tapi itu hannya sebentar saat ia merasakan kehadiran seseorang dan ia langsung membuka kembali matanya. “Fanny…” Tio mengedarkan pandangannya dan ia menghela nafas beratnya saat ia sama sekali tidak menemukan kahadiran seseorang di ruangan itu. Tio meletakkan kembali bingkai foto itu di meja lalu kini ia berjalan menuju sebuah kamar dengan pintu berwarna putih. Tio perlahan membuka pintu itu lalu ia masuk ke kamar yang masih terlihat rapi. “Fanny… kamu dimana?” Ucap Tio saat ia memasuki apartemen gadisnya itu. Tio mengedarkan pandangannya saat ia tidak menemukan gadisnya itu. Biasanya Tiffanny akan menyambutnya jika Tio datang ke apartemennya itu. “Tif…” Ucap Tio lagi. Tio melangkahkan kakinya menuju kamar Tiffanny saat dilihatnya pintu kamar itu yang terbuka. Tio masuk ke kamar itu dan ia bernafas lega saat melihat gadisnya itu sedang tidur dengan posisi duduk dan kepala yang ia sandarkan di meja kerjanya. Tio menghampiri Tiffanny lalu melihat laptop gadis itu yang masih menyala. Tio melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 9 malam lalu ia menyimpan laporan kerja gadisnya itu lalu ia menshut down laptop itu. “Tumben sekali jam segini kamu sudah tidur..? terlalu lelah kah?” Ucap Tio lalu mengangkat tubuh Tiffanny dengan pelan agar gadisnya itu tidak terbangun. Tio melangkahkan kakinya menuju tempat tidur Tiffany tapi baru 2 langkah ia dikejutkan dengan kekehan kecil yang terdengar dari mulut gadisnya itu. “Yak.. kamu pura-pura tidur?” Ucap Tio yang membuat Tiffanny membuka matanya lalu tersenyum manis pada tunangannya itu. “Jadi kamu mengerjaiku, eoh?” Tanya Tio. “Hmmm… lagian mana mungkin jam segini aku sudah tidur? kamu tahu sendiri kan jadwal tidur aku itu pasti di atas jam 12 malam” Ucap Tiffanny. “Hahhh… ya sudah sekarang turun. Kamu tahu tubuhmu itu terasa berat” “Aku nggak mau.. kamu sudah menggendong aku jadi sekarang kamu harus tetap gendong aku sampai tempat tidur lagi pula sepertinya sekarang aku sudah mulai menagantuk” Ucap Tiffanny sambil tersenyum jahil. “Aishhh bilang saja kamu itu ingin merasakan di gendong sama aku” Ucap Tio yang membuat Tiffanny semakin mengembangkan senyumnya. Tio tertawa kecil saat mengingat kejadian itu. Lalu ia berjalan menuju tempat tidur dengan nuansa pink itu. Tio mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur itu, ia mengambil bantal dan memeluknya berharap ia masih bisa menghirup aroma tubuh Tiffanny yang berbekas di bantal itu. “Aku merindukanmu…” Ucapnya lirih. - Daydream - “Sadarkah dengan apa yang kamu lakukan tadi?” Ucap Tio kepada Tiffanny dengan nada marah saat mereka sudah di apartemen Tiffanny. “Kamu tahu… tidak sepantasnya kamu berbicara seperti itu tadi, kamu…” “Bukankah seharusnya aku yang marah disini? Aku menunggumu hampir 3 jam di butik tanpa ada kabar yang jelas darimu, aku pikir kamu benar-benar sibuk tapi apa yang aku lihat tadi kamu malah asyik makan berduaan dengan gadis murahan itu” Ucap Tiffanny dengan air mata yang kini sudah menggenang di pelupuk matanya. “Tiffanny… berhenti menyebutnya wanita murahan… dia itu klienku” “Klien? Oh… selain dia mantan kekasihmu sekarang dia klienmu? pantas saja kalian bisa berduaan seperti tadi. Ahhh atau jangan-jangan dibelakangku kalian malah sudah jadian kembali?” PLAKK… satu tamparan cukup keras berhasil mengenai pipi kanan Tiffanny. Gadis itu memegangi pipinya dan air mata yang ia pertahankan kini runtuh seketika. “Fanny…” Ucap Tio lirih saat ia menyadari atas apa yang baru saja ia lakukan barusan. Ia benar-benar emosi dan hilang kendali saat Tiffanny mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan. Dan kini ia sangat merasa bersalah karena sudah menampar gadis itu dan ia juga merasakan sesak di dadanya sat ia melihat gadisnya itu menagis dan itu karena dirinya. “Kamu…” “Maaf..maaf..aku…” Baru saja Tio akan menyentuh pipi Tiffany tapi gadis itu langsung menghindar yang membuat Tio kini merasakan sakit didadanya dan semakin merasa bersalah. “Kamu berani menamparku hanya untuk perempuan itu? Oh seharusnya aku sadar dari awal kalau kamu tidak benar-benar mencintaiku. Seharusnya aku sadar kalau aku hanya satu-satunya orang yang menginginkan pernikahan ini dan juga seharusnya aku sadar kalau…” “Tidak… tidak itu tidak benar. Aku mencintai kamu Fanny dan aku juga sangat menginginkan pernikahan ini dan kamu harus percaya…” “Setelah kamu menampar aku, haruskah aku memepercayai kamu? sepertinya kita memang harus berpikir lagi tentang rencana pernikahan ini. sekarang aku ragu apakah pernikahan ini bisa tetap dilaksanakan atau tidak” Ucap Tiffanny lalu mengusap air matanya dengan kasar dan kemudian berlari keluar dari apartemennya. “Tio… Fanny… Tiffanny kecelakaan…” “Tidak… itu tidak mungkin…” “Tio…” “Ibu… itu tidak benar kan, Fanny… Itu tidak mungkin. Tidak.. tidak… TIFFANNY” - Daydream - Tio terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah. Mimipi itu, mimpi yang sudah 3 bulan ini selalu hadir dalam tidurnya. Mimpi yang selalu membuatnya merasa bersalah dan merasa takut karena harus kembali mengingat kejadian itu. Tio menyandarkan tubuhnya pada pangkal tempat tidur lalu mengedarkan pandangannya dan ia baru ingat kalau ia masih berada di kamar Tiffanny dan tadi ia tertidur di tempat tidur gadisnya itu. Tio menyeka peluh keringat yang ada di keningnya lalu pandangannya teralih pada iphone-nya yang ada di meja di samping tempat tidur Tiffanny. “Hallo bu…” Ucap Tio setelah ia mengambil dan mengangkat panggilan masuk di iphone-nya itu. “Kamu dimana? bisakah kamu ke rumah sakit sekarang… dia…” - Daydream - Not Breathing to feel you clutching both fists together to touch you You have slowly become blurred, you have slowly become blurred You have slowly left me in the unstoppable memories… Pria itu, Tio berlari menyusuri lorong rumah sakit. Ia sudah tidak memperdulikan perkataan orang-orang yang tak sengaja tertabrak olehnya karena saat ini ia berlari dengan tidak fokus, yang hanya ada dipikirkannya saat ini adalah perkataan ibunya yang masih sangat jelas terngiang di otaknya. “Fanny keadaannya semakin memburuk Tio… jadi bisakah sekarang kamu datang ke rumah sakit” Ya gadis itu, Tiffanny kini sedang terbaring koma di rumah sakit sejak 3 bulan yang lalu. Kecelakaan mobil yang ia alami setelah ia bertengkar dengan Tio malam itu membuatnya harus terbaring koma hingga sekarang. Selama 3 bulan itu, kondisi Tiffanny tidak pernah ada perubahan dan baru hari ini Tio mendapat kabar terbaru dari gadisnya, tapi berita itu bukan membuatnya bahagia tapi berita itu malah membuatnya semakin merasakan ketakutan jika ia harus benar-benar kehilangan gadisnya itu. “Ibu…” Ucap Tio saat ia sudah berada di hadapan ibunya. Dan di tempat itu juga Tio melihat kedua orang tua Tiffanny dan ayahnya yang menunjukkan raut wajah khawatir. “Tio…” Wanita paruh baya itu memandang putranya dengan tatapan sedih. “Bag… bagaimana keadaannya, dia…” Ucapan Tio terhenti saat melihat dokter beserta 2 orang suster dibelakangnya keluar dari ruangan Tiffanny di rawat. “Dokter… bagaimana keadaan Tiffanny? dia baik-baik saja kan? dia sudah bangun dari komanya kan?” Ucap Tio yang membuat dokter itu memandangnya dengan wajah sendu. “Maaf…” Dokter pria itu menundukkan kepalanya yang membuat Tio merasa semakin takut. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi…” “Tidak…” Tio memegang kedua bahu dokter itu lalu mengguncangnya pelan. “Tidak.. itu tidak benar kan… Tiffanny baik-baik saja kan? Tiffanny sudah bangun dari komanya kan dokter” Ucap Tio dengan suara bergetar dan tak terasa air mata yang sejak tadi ia tahan kini sudah mengalir membasahi pipinya. “Maaf.. tapi nona Tiffanny sudah pergi meninggalkan kita…” Ucap Dokter itu yang membuat Tio secara perlahan melepaskan cengkraman tangannya dari kedua bahu dokter pria itu. “Itu tidak mungkin…” Tio menggelengkan kepalanya pelan dan mundur secara perlahan. Ia merasakan kini kedua kakinya melemas dan itu membuat ayahnya langsung merangkul pundak putranya untuk menguatkannya. “Sabar nak…” Ucap ayah Tio. “Itu tidak benar kan ayah? dia tidak pergi meninggalkanku kan?” Ucap Tio dengan lirih lalu kini pandangannya beralih kepada kedua orang tua Tiffanny yang sudah menangis sama seperti dirinya. “Tante… itu tidak benar kan? dokter itu berbohong kan?” Tanya Tio yang membuat ibu Tiffanny semakin deras mengeluarkan air matanya. “Tio…” Ibu Tio menghampiri anaknya itu. “Aku harus menemuinya bu…” Ucap Tio lalu pria itu berlari masuk ke dalam ruangan Tiffanny dan pria itu semakin merasakan kakinya melemas dan tangannya bergetar saat melihat gadisnya itu masih menutup matanya dan alat-alat medis yang selama ini membantu gadisnya itu untuk bertahan sudah di lepas. Tio perlahan menghampiri Tiffanny dan pria itu dapat melihat wajah gadisnya yang sangat pucat itu saat ia sudah berada di samping tempat tidur Tiffanny. “Sayang…” Tio menggenggam tangan Tiffanny yang terasa dingin lalu ia menatap wajah Tiffanny dengan sedikit kabur karena air mata yang masih mengalir keluar dari matanya. “Hey bangunlah dan katakan kalau mereka itu bohong…” Ucap Tio lirih. “Tiffanny…” Tio mengguncang bahu Tiffanny karena gadis itu tak kunjung menjawab perkataannya. “Sayang.. bangunlah, buka matamu. Bukankah besok kita akan menikah? Buka matamu TIFFANNY” Teriak Tio sambil terus mengguncang bahu gadisnya itu. “Kalau kau marah denganku buka matamu dan segera tampar dan pukuli aku Fanny… Fanny cepat buka matamu jangan membuatku takut seperti ini” Ucap Tio dengan suara bergetar. Pria itu semakin deras mengeluarkan air matanya dan kini pria itu memeluk Tiffannya dan membenamkan wajahnya dilekukan leher Tiffanny. “Tio…” Ibu Tio yang sudah berada diruangan itu memegang pundak anaknya, berusaha untuk menguatkan anaknya itu. “Ikhlaskan dia.. nak” Ucap ayah Tiffanny lirih sambil menepuk pundak Tio pelan yang membuat Tio mendongakan kepalanya dan kini menatap calon ayah mertuanya itu dengan sedih. Lalu pria paruh baya itu memegang tangan dingin putrinya dan mengecup kening Tiffanny cukup lama. “Semoga kamu tenang dan bahagia disana sayang…” Ucap ayah Tiffanny lirih dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya. “Ibu mencintai kamu sayang… semoga kamu bahagia disana” Ucap ibu Tiffanny lalu mencium pipi mulus dan dingin putrinya itu. Pria itu, Tio kembali memandang intens gadis yang terbaring dihadapannya itu. Diusapnya rambut Tiffanny lalu mencium kening gadis itu cukup lama, lalu ciumannya itu beralih ke kedua mata Tiffanny yang tertutup rapat. “Aku bahkan belum mengunjungimu hari ini tapi kenapa kamu justru pergi meninggalkan aku Tiffanny? bukankah kamu yang berjanji untuk selalu berada di sisiku? tapi kenapa secepat ini? bahkan kita belum mencoba baju pengantin kita? bahkan kita belum mencoba cincin pernikahan kita sayang…” Ucap Tio lirih dan setelah itu ciumannya beralih ke pipi gadisnya itu. “Aku mencintaimu… terimakasih sudah hadir dalam kehidupanku selama ini dan terima kasih sudah mau menjadi bagian yang teramat penting dalam hidupku. Aku mencintaimu sayang dan semoga kamu bahagia disana… dan semoga suatu saat nanti kita dapat dipersatukan kembali” Ucap Tio lirih lalu mengecup sudut bibir Tiffanny dan seiringan dengan itu air matanya kini menetes kembali. - END - Cerpen Karangan: Apri Dwi Jayanti Facebook: Apri Dwii Jayanti

0 komentar:

Posting Komentar

Suka cewek dapet Bencong

Dunia puber memang sangat menyenangkan. Rasa ingin tahu akan sesuatu yang baru juga sangat begitu besar. Coba ini, coba itu semuanya dijabanin. Kadang kalanya ada di posisi yang benar dan juga kadang-kadang di jalur yang salah. Gue sedikit mau berbagi memori terburuk dalam kehidupan percintaan gue. Saking buruknya kalau gue nanti diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berengkarnasi, gue mau file kehidupan gue yang satu ini didelete aja. Kenapa harus didelete? “timbul pertanyaan di otak kalian”. “Ya iyalah harus dihapus, coba kalau tidak dihapus, gue bakalan mengalami kejadian mengerikan sepanjang hidup gue dua kali. “Dua kali mas dan mba bro, dua kali”. “Apa Tuhan tega kasi gue penderitaan itu dua kali?”. Bertanya pada diri sendiri (kaya orang gila aja). Untuk mengobati isi fikiran kalian yang sejak dari tadi bertanya-tanya file mana sih yang mau gue hapus dari hidup gue. Baca dengan seksama cerita waktu gue SMA dulu. Ingat setelah kalian baca kisah ini jangan menganggap gue Abnormal ya. Gue tekankan sekali lagi gue lelaki NORMAL. Alkisah pada suatu waktu ketika tubuh gue masih diselimuti pakaian putih abu-abu. Masa peralihan dari bercelana pendek ke sekolah menjadi celana panjang. Masa ketika suara masih cempreng berubah menjadi suara ngebass berat. Serta tonjolan ditengah-tengah leher juga mulai keluar. Dari rambut belah tengah yang yang mengkilat-kilat karena dilumuri minyak goreng oleh ibu sebelum pergi ke sekolah berubah menjadi rambut kering acak-acakan kerena tiupan angin khas pete-pete (angkot) pagi saat berangkat sekolah. Semuanya berubah total. Dan hal paling gue senangin juga yaitu perubahan dari senang bolos sekolah hanya untuk maen PES di tempat rental, berubah menjadi senang naksir cewek. Yups, naksir cewek hal terindah kedua yang gue rasa paling menyenangkan setelah nyontek saat ujian ga’ ketahuan sama pengawas. Menurut filosofi yang gue dapat dari teman gue yang sudah berpengalaman di dunia pacaran sejak kelas 6 SD, cinta itu adalah kompetisi (gila dari kelas 6 SD aja sudah berkutat di dunia naksir menaksir cewek, gimana gedenya ya?. Bisa-bisa ibu kantin aja digebet sama dia. Teman yang aneh tapi keren). Menurut penggalan motivasi yang pernah gue baca bahwa “Pengalaman adalah guru terbaik” mesti diubah menjadi “Pengalaman orang lain adalah guru terbaik”. Maka dari itu gue sedikit-sedikit mencoba menerapkan metode yang diajarkan oleh teman gue tersebut [sorry nama teman gue ga’ bisa gue sebutkan karena sesuatu dan lain hal. (takut dituntut bayar royalty karena nyebutin nama dia ditulisan gue)]. Pelajaran pertama yang gue dapat dari teman gue itu adalah pada saat kita naksir cewek hal yang harus kita lakukan adalah cari tau siapa namanya (ya, iyalah pasti harus tau namanya dulu). Kemudian masuk ke fase PeDeKaTe. Ditahap inilah paling susah, bermodalkan mantra Papa kamu polisi yaa? (berharap dijawab ko’ tau), gue dekatin si cewek. “Eheemm”. Basa-basi sebagai pembuka percakapan. “Iya ka”. Dehemanku dibalas ramah. Gue kaget, dia tau kalau gue ini seniornya. Awal yang bagus. Paling tidak dia kenal gue. “Chika ya?” Tanya ku. “Ia, ada apa ya ka?”. Balasnya dengan senyum manis. “Gini Chik, bapak kamu cowok ya?”. Salah ngomong akibat grogi. “Ya, iyalah ka’. Kakak becanda nih”. Mukanya agak kesal. “Benar juga ya”. Gue jadi bingung sendiri. Dengan muka yang agak kesal dia pergi. Langkah pertama gatot (gagal total). Gue kesal pada diri sendiri. Kenapa gue ga’ berkutik di depan cewek. Selang beberapa minggu gue baru tau kalau ternyata Chika udah punya MONYET, si Anto, simuka pas-pasan kalau diobral juga ga’ bakalan laku mukanya. Gue piker kalau mukanya digratisin juga ga’ ada yang bakalan mungut. Tapi satu hal yang buat Chika mau jadi pacar Anto the beast yaitu motor KAWASAKI NINJA RR yang menjadi daya tarik Anto. Cewek kampret. Cerita cinta tentang Chika berakhir tanpa dia tau kalau gue suka sama dia. Biar aku, Tuhan, dan buku diary pinkku yang tau. Pasca tragedi CIDAHA ke Chika. Beberapa bulan hati gue lowong. Sampai gue temukan cewek pengalih dunia gue. Dinda. Manis-manis gulali, itulah pendeskripsian buat Dinda. Teman sejawat di kelas III tapi beda kelas. Dia berada di kelas IPA. Sementara gue berada di kelas spesialis tukang ngitung-ngitung ala tukang kredit IPS. Sebenarnya gue kenal Dinda itu sejak dari kelas I, tapi gue baru naksir baru di kelas III. Cinta memang ga’ bisa ditebak. Berhubung kita sudah saling kenal, jadi proses malu-malu bisa dihilangkan dengan cepat. Proses PDKT berjalan sesuai rencana. Gue bisa tebak kalau Dinda suka sama gue. Gue juga tau kalau Dinda bukanlah tipe cewek pantat bensin. Buktinya gue ajakin jalan pake sepeda aja dia mau, cewek yang perfect. Belum sempat gue bilang suka sama Dinda, kegalauan menghampiri. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue ada yang naksir gue duluan. Gue gamang. Cewek misterius yang khilaf naksir gue itu bermula saat gue asyik di rumah lagi kerjain PR Matematika (lebih tepatnya nyalin dari buku teman ke buku gue, karena gue ga mau repot-repot mikir, toh hasil mikir gue juga nantinya sama dengan hasil dari pemikiran teman gue, jadi tinggal salin aja punya dia, lebih simple). Hp gue berontak berkali-kali akibat gangguan dari nomor baru misterius. Tiap kali gue angkat pasti dimatiin. Begitu seterusnya. Dua hari berturut-turut nomor misterius itu terus meneror. Gue jadi dongkol. Gue kirimi dia somasi lewat sms. “Kalau berani ngomong dong”. Isi sms gue dengan nada yang agak kesal. Ga berapa selang dia ngebalas sms gue. “Sorry, kalau udah ganggu”. Dia ngebalas ramah. Dengan hati masih agak dongkol gue replay sms dia lagi. “Loe siapa, kalau ada perlu jangan braninya CUMI (cuman miscall) doang”. “Skali lagi maaf, aku Wanda”. Balasnya dengan nada yang masih ramah. “Ohh, dapat nomor aku dari mana?”. Gue masih ngebalas dengan nada ketus. “Kalau aku kasih tau kamu jangan marah ya?”. “Ia”. Jawab gue singkat. “Aku dapat nomor kamu beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku liat kamu beli pulsa di dekat rumah aku, trus aku ambil dech nomor kamu ma penjaga counternya”. Dia menjelaskan secara rinci. “Ohh”. Gue balas dengan 3 huruf. Walau gue ngebalas smsnya dengan singkat padat dan tidak jelas, dia tetap sabar menghadapi sms-sms super singkat gue. Sms terakhirnya ga’ gue balas, karena nonton acara favorit gue Dora The Explorer lebih penting dari pada ngebales sms orang yang ga’ gue kenal sama sekali. Walaupun gue cuek abis, dia tetap rutin ngesms gue. Pagi, siang, malam smsnya terus-menerus menyerang, kayak minum obat aja smsnya datang 3 kali sehari. Karena gue ga tegaan orangnya, dan gue juga ga’ mau dicap orang yang sombong karena ga’ ngebalas sms dia. Maka dengan etika yang baik gue mulai ngebalas smsnya. Gue sikat abis setiap pertanyaan yang dia sodorkan. Dia pun begitu setiap pertanyaan gue yang muncul di layar Hpnya dia telan dengan lahap. Untuk sejenak PDKT gue ke Dinda terpending. Hampir sebulan komunikasi gue sama Wanda hanya lewat jari-jari yang menekan tombol huruf yang ada di handphone masing-masing. Setiap kali gue nyuruh dia nelpon dia selalu nolak. Atau gue mau nelfon dia punya 1001 macam alasan buat nolak telfon gue. Gue mulai mikir negatif ke Wanda. Puncaknya gue ajakin dia buat ketemuan. Dia nolak. Gue sedikit mengancam kalau dia ga mau ketemu sama gue, gue ga bakalan gubris sms dia lagi. Dia tetap tak bergeming. Dia tetap menolak untuk bertatap muka dengan gue. Gue mulai curiga. Kalau bukan setan pasti giginya mancung ke depan, jadi dia malu untuk ketemu gue. Kemudian dia ngirimi gue sms. “Aku suka sama kamu, tapi aku malu untuk ketemu ma kamu”. Isi smsnya. “Kenapa mesti malu ma gue, gue ga’ ngegigit ko’”. Balas gue. “Mau dong digigit”. Dia ngebalas dengan nada bercanda. “Kalau emang kamu suka ma gue, mesti ketemu dulu. Gue ga mau beli kucing dalam karung. Ga ada yang jelas”. Gue dan Wanda janjian untuk ketemuan malam jumat, kayak mau ngepet aja ketemuan di malam jumat, tepatnya di lapangan depan rumah jabatan bupati. Karena gue ga mau terjadi apa-apa gue ajakin teman gue untuk ikut. Sampai di TKP gue ga ngeliat ada cewek yang berkeliaran di sekitaran lapangan. Yang ada hanya gerombolan Satpol PP yang asyik diskusi sambil ngisap rokok sebatang ramai-ramai. Gue ga ngeliat orang yang gue cari, gue putusin untuk nelfon dia. 2 kali gue telfon dia cuman respon lewat sms. “Aku uda ada di lapangan”. Isi smsnya. “Di sebelah mana. Gue juga uda ada di sekitar lapangan”. “Aku di dekat pohon yang di dekat lapangan tenis”. Dia ngebalas sms gue. Gue ngga’ ngebalas smsnya. Irwan teman gue langsung tancep gas motornya menuju ke arah lapangan tenis yang persis berada di sebelah lapangan voli. Sampai disana gue cuman liat orang yang duduk di atas motor. Jarak kami dan dia cuman sekitar 10 langkah. Gue masih bingung sampai sekarang cewek yang gue cari ngga’ muncul-muncul. Tak lama kemudian sosok orang yang berada di atas motor yang berada di depan gue dan Irwan menghampiri. “Rama ya?”. Sosok tersebut langsung menyodorkan pertanyaan. “Bukan, tapi dia”. Irwan menunjukkan jarinya ke arahku. Gue kaget setengah mampus ternyata sosok tersebut makhluk jadi-jadian. Manusia setengah Pria dan setengah wanita alias BENCONG. “Ia, gue Rama”. Gue mengiyakan tuduhan Irwan. Dengan celana jeans super ketat yang dia kenakan, serta baju kaos oblong putih dan berkerah segitiga ala Olga Syahputra yang melorot hingga dadanya kelihatan. Mukanya yang sangar yang berusaha dia imut-imutin tapi malahan jadi mirip tukang parkir di pasar yang biasa gue liat. Gue lihat juga kulitnya yang hitam pasti keseringan maen layangan jadi bisa seperti itu, berbanding terbalik dengan wajahnya yang putih mengkilat kayak udah dicat pake Avitex. Atau mungkin dia pake tepung terigu yang dia padu pake air santan supaya bisa kelihatan putih. Tapi itu semua malah bikin gue mau muntah darah ngeliatnya. Dia sodorkan tangannya ke arah gue, “Rama kan?”. Bibir tak beraturannya kembali bergerak diikuti oleh sebuah pertanyaan. “Ia”. Sambil salaman gue mengiyakan lagi pertanyaannya. Sejurus kemudian dia memperkenalkan diri “Aku Wanda”. Pranggg, ubun-ubun gue mau pecah setelah mendengar pengakuannya kalau bencong bermuka tukang parkir ini bernama Wanda. “Mati gue, selama ini gue smsan ma bencong”. Gue menyumpahi diri gue dalam hati. Sementara itu Irwan hanya bisa cengengesan nahan ketawa. “Thanks ya udah mau datang kesini”. Kata si bencong, mukanya sambil dia imut-imutin mirip Annisa cherrybelle. Sumpah gue mau kencing di celana liat senyum yang gue rasa lebih mirip pocong lagi boker. Mending gue ketemu pocong skalian dari pada bencong bertampang mesum ini. “Sama-sama”. Jawab gue dengan nada shock. “Jadi loe itu bukan cewek ya?”. Gue menyerbunya dengan pertanyaan yang ga gue fikir sebelumnya. “Fisik aku emang kayak cowok, tapi hati aku cewek tulen ko”. Pertanyaan gue dia jawab dengan jawaban yang bisa bikin gendang telinga gue berdarah-darah. Irwan terus menahan tawa sambil menutupi mulutnya dengan tangannya. Gue cubitin pinggangnya, semoga Irwan ngerti kalau itu kode untuk segera cabut. Gue menyumpahi diri gue sendiri “Mati gue, mati gue”. Gue terus nyubitin Irwan. Dia bereaksi. Kayaknya dia ngerti signal yang gue kasih ke dia. “Ram, ayo balik, nanti bokap gue nyariin motornya”. Irwan mengajak untuk pergi dari hadapan bencong bertampang Annisa cherrybelle tapi versi bencongnya. “Ayo”. Gue langsung mengiyakan. “Kita balik duluan ya”. Gue pamitan sama makhluk aneh itu. “Oh, ia”. Dia ngebalas pesan pamit gue dengan senyum termanisnya yang bisa bikin gue gegar otak ngeliatnya. Di jalan Irwan hanya bisa tertawa terbahak-bahak setelah menjadi saksi mata peristiwa terpahit selama hidup gue. Terus gue menyumpahi Irwan agar kejadian memalukan tersebut jangan sampai bocor keteman-teman lain. Irwan mengiyakan sambil tertawa tanpa henti. Sampai di rumah, si bencong kampret itu kirim sms ke Hp gue. “Aku senang banget dech bisa ketemu kamu tadi”. Isi smsnya yang buat gue bisa masuk UGD. Gue ngga’ ngebalas smsnya. Karena takut digangguin dia terus, akhirnya sim card gue patahin dan gue ganti yang baru. Akhirnya gue terbebas dari jerat bencong bermuka mesum. Dan gue baru sadar juga kalau nama Wanda itu ternyata singkatan dari Wanita tanpa Dada (WANDA). Emang bener dia seorang wanita tak berdada. Gue nyesel banget. Gue pending nembak Dinda hanya untuk seonggok makhluk bernama Wanda. Besoknya gue mandi kembang tujuh rupa buat ngilangin kutukan si bencong berwajah tukang parkir. Cerpen Karangan: Rahmat Suardi Facebook: Rahmat Suardi

0 komentar:

Posting Komentar

Cintaku yang manis

Aku berjalan keluar dari kelas bersama Bella. Menuruni tangga lalu berjalan lagi melewati taman sekolah sampai akhirnya keluar dari sekolah. Bukan hari yang buruk tapi hari yang cukup menegangkan, pelajaran hari ini membuat syaraf otakku tegang. “Bell, aku gak bisa pulang bareng” “Kamu mau kemana?” tanya Bella “Mau samperin mama di depannya gramed, biasalah” “Oh, okelah” “Aku duluan ya Bell” pamitku “Daah Dian” Aku mulai berjalan berlawanan arah dengan Bella, menyusuri jalan yang tak begitu ramai. Memasuki salah satu Mall yang paling terkenal di kota ini. Kepalaku melihat ke arah kiri dan kanan, mengawasi setiap orang yang berpakaian sama seperti ku, yap! Teman sekolahku. “Mama!” aku berhasil mengejutkan mama yang sepertinya dari tadi sedang menungguku. “Dian! Mama kaget tau!” “Maaf ma” aku menunduk takut dimarahin mama “Gak papa kok sayang, mau makan dimana?” tanya mama sambil merangkul aku. “Di foodcourt aja ma” jawabku cepat “Foodcout atas atau bawah?” tanya mama lagi “Atas aja deh ma” aku bergelayut manja di lengan mama sambil merjalan menuju ekskalator “Kenapa gak di foodcourt bawah aja?” “Enakan di atas ma” Aku dan mama sampai di lantai 3. Lantai paling atas di mall ini. Sesampainya di foodcourt, aku memalingkan wajahku ke kanan, eh kok kayak pernah lihat di sekolah ya? Tanyaku dalam hati. sekali lagi aku memperhatikan meja yang tak terlalu pinggir itu. “Ya Tuhan, itu Davi sama Nifa duduk sebelahan?” suaraku terlalu pelan, hatiku mulai sakit, cenat-cenut yang tidak tertahankan mulai menggoncangkan jantungku. Aku berhak marah? Tentu saja tidak, aku bukan siapa-siapanya hanya teman yang mampir di kehidupannnya. “Dian, kamu kenapa? Kok dari tadi diem terus?” tanya mama Aku tersadar “Dian gak papa kok ma, ya udah Dian pesen makanan dulu” Aku bangkit berdiri dan berjalan ke salah satu counter, sambil mengamati pemandangan yang membuat kakiku lemas. Mereka tidak berdua saja tapi masih ada Alfa dan Gita. Bagiku tidak masalah kalau mereka duduk sebelahan, tapi tidak untuk Davi dan Nifa! Nifa udah punya pacar, kenapa harus mengambil gebetan orang lain? Kemana Alam, apa dia tidak tau apa yang sudah dilakukan Nifa? Setelah memesan makanan, aku tak berani lagi melihat Davi, cukup sakit hatiku berkali-kali menunggu hanya diabaikan saja, lalu sekarang? Aku tak mau lagi meningatnya. — “Kemarin Nifa ikut latihan sama kamu gak?” tanyaku “Nggak sih” “Berarti bener dong aku liat dia di foodcourt bareng Davi, Gita, sama Alfa” aku pasrah, dan ingin melupakan kenangan yang paling buruk itu. “Davi?!” Lia terbelak. Aku hanya mengangguk lemah mencoba untuk tabah. “Davi duduk sebelahan sama Nifa” aku mencoba untuk tidak lemah. “Masa?!” Lia masih kaget. Aku berusaha tenang dan tidak ingin menangis sama sekali! “Nifa bilang ke aku, kalo dia mau jalan sama Alam, mungkin Alam gak bisa dateng” “Kenapa harus Davi?” Lia terdiam, aku semakin resah, aku tidak mengerti maksud mereka itu apa? “Ya mungkin aja Davi disuruh ikut sama Alfa” Lia mengelus pundakku. Aku terduduk diam, memanganya aku ini siapa? Pacarnya? Apakah aku harus memarahi mereka? Menunmpahkan semua kekesalan yang bergelunjak di hatiku? Tuhan apa yang harus aku lakukan? “Alam kemana sih?” aku mendesah, sakit hatiku yang berulang kali aku tahan, kini mulai muncul dan memuncak kembali. Emosi yang telah kujaga juga keluar tanpa sadar “Mereka gak tau hati aku sakit gini Lia!” “Sabar ya Di” Lia merangkulku dan menuntunku pulang Matahari mulai menenggelamkan dirinya, dan bulan mulai memunculkan dirinya bersama bintang-bintang yang berkelap-kelip. Aku masih tak bergerak dari tadi, hanya menatapi langit sambil duduk di balkon kamarku. Aku mendesah, mengingat kejadian tadi. Sungguh aku telah berjuang, untuk Davi dan semuanya untuk Davi, apa yang dia beriikan untukku? Hanya angin kosong yang kudapatkan. Perjuanganku selalu diabaikan. Perhatianku selalu diterakhirkan. Penantianku selalu dihempaskan. Aku marah. Iya. Aku sakit. Iya. Aku capek. Iya. Apa aku berhak menceritakannya ke Davi? Apa dia berhak tau? Tuhan aku harap Davi tau yang ku maksud selama ini, yang kuperjuangkan selama ini. — “Dian!” Panggil Lia yang melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Aku menoleh dan membalas lambaian tangannya. Aku berhenti menunggu Lia yang sedang berlali ke arahku. “Ada tugas atau PR?” “Tidak ada” Aku dan Lia berjalan beriringan ke kelas, sampai disana aku bertemu dengan Icha dan teman-teman yang lainnya. “Ichaaa” panggilku sambil melempar tas ke tempat duduk Bella. “Iya Di?” “Kenapa kamu duduk di kursiku?” “Yaa enggak papa” “Aku mau cerita” “Apa?” Aku menceritakan semua yang aku alami seharian kemarin dengan tatapan nanar dari mataku. “Ya ampun, Nifa itu gak tau diri ya” “Kenapa sih?” Tanya Riska kepo. Aku menceritakan ulang dengan, hati yaaah. Tidak rela. “Anak itu memang gitu Di” “Trus aku harus gimana dong? Masa marah-marah? Kan gak lucu” “Di, anaknya datang tuh!” Nifa berjalan gontai masuk ke dalam kelas. Mengamati kelas, lalu mengeluarkan handphone-nya seakan tak peduli. “Gak tau udah punya pacar apa? Anak orang lain jadi korban” teriak Icha sambil menyindir Nifa “Iya sok kecantikan, kasian loh Dian” Riska juga ikut menyindir. “Udahlah, kasian anaknya jangan disindiri terus” “Kamu gak bisa gitu Di! Dia gak tau siapa kamu sebenarnya, kamu harusnya tanya sama dia” Icha membentakku “Tapi aku gak punya hak! Aku bukan siapa-siapanya, aku cuma…” kata-kataku terputus aku gak yakin mengucapkan kata itu. “Cuma mantannya?” sambung Icha Aku mengangguk lemah “Di! Kamu harus move on, kamu gak bisa gini terus” “Tapi gimana? Aku gak bisa move on dan aku gak mau move on!” Icha terdiam mendengar teriakanku. Aku kembali merenungkan apa yang harus kulakukan, aku benci dalam keadaan seperti ini. “Lia, kemaren Davi ngasih aku hadiah ulang tahun loh, sama itu tuh yang di MTD gulali ituu” cerita Nifa Aku yang mendengarnya langsung berpura-pura tidak tau. Lia mentapku kasihan, sedangkan aku? Apa yang ku pikirkan? Sakit sih iya. Mengutarakan perasaan itu gak bisa. “Di, nanti aku beliin kamu gulali juga!” Icha menyindir Nifa lagi. Kepalaku pusing. Aku hanya terdiam, apa yang mau diinginkan Nifa? Kenapa dia harus merebut orang yang aku sayangi? Kenapa? — Sendiri itu bisa menenagkan hati yang terguncang, tapi sendiri itu sepi. Sendiri itu bisa membuat pikiran melayang ke arah masa lalu, tapi sendiri itu sunyi. Sendiri itu bisa membuat mulut ingin memuntahkan berbagai kata, tapi sendiri itu senyap. Sendiri itu bisa membuat hati ingin ditemani, tapi sendiri itu mati. Yang aku pikirkan saat ini adalah sendiri. Bagaimana cara melupakan seseorang yang tidak memikirkanku. Tapi sendiri itu juga butuh teman untuk menceritakan masalahnya. Apa lagi sendirian di mall itu nggak seru sama sekali. Kesepian dalam keramaian. Bruukk. “Maaf, aku gak sengaja” “Iya gak papa kok” sambil melihat orang yang menabrakku. Aku terkejut. Ya Tuhan. “Davi? Maaf aku gak sengaja” aku berjalan meninggalkan Davi. “Tunggu” Davi memegang tanganku. Aku terkejut, baru kali ini tanganku dipegang oleh laki-laki. “Kenapa?” aku menyembunyikan kegugupanku, aku tak akan membiarkan hatiku melayang, aku juga tak akan membiarkan otakku terus berpikir tentang Davi. “Kamu mau kemana?” tanya Davi “Aku mau pulang” “Kamu bisa ngga temani aku?” “Kemana?” “Aku mau pulang” “Jangan pulang, temenin aku makan yuk?” Deg! Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Kakiku lemas, tanganku lunglali, aku sudah tak sanggup berjalan. Ingin berbicara tapi mulut susah mengeluarkan kata-kata. Aku harus bahgaimana? Mengiyakan? Ini kesempatan emas aku bisa berduaan dengan Davi. Mungkin kalau aku tolak, hari berikutnya tidak ada kesempatan seperti ini. “Emm, iya deh” aku menyembunyikan kegugupan ku. “Kamu mau makan apa?” Aku melihat penjual gulali yang sedang menjajakan permen-permen yang manis itu, aku langsung menunjuk permen gulalai itu. “Kamu yakin mau itu? Kayak anak kecil aja” Davi menertawakanku. Aku hanya melihatnya dengan tatapan polos. “Anak SMA juga bisa makan itu kan?” tanyaku lagi. Davi mengangguk. Aku langsung mengambil gulali benbentuk love. Saat itulah kebahagianku mulai muncul. Dan aku rasa hidupku sudah cukup bahagia Dear Davi Aku tau susah untuk memaksakan cinta yang tak pernah ada Tapi cinta itu bisa datang karena telah terbiasa bukan? Aku tak mengharapkan kita bisa bersama Tapi yang kuharapkan adalah cinta yang terus mengalir hanya untukmu… Cerpen Karangan: Sofia Oktadilah Facebook: Sofia Oktadilah

0 komentar:

Posting Komentar

Tuhanlah sang sutradaranya

“Ada empat teori mengenai kisah cinta dalam kisah ini; 1. Ketika suatu hubungan tak selamanya berakhir indah; 2. Karena penantian tak selalu memberi hasil sesuai yang diharapkan; 3. Di saat kamu letih dalam menanti, disitulah cinta memberi kekuatan untuk bertahan; dan 4. Hubungan jarak jauh tak selamanya berhasil” Pagi yang cerah datang lagi. Matahari telah tersenyum indah. Bola penuh sinar itu menyapa Nessa mesra melalui berkas-berkas cahaya hangat yang dipantulkan menembus kaca jendela kamarnya dan memantul pada lekukan pipih yang merekah. Nessa tak membalas sapaan manja itu. Nampaknya dia jauh lebih bersahabat dengan hujan yang mengguyur deras dan membasahi bumi tadi malam. Hujan rintik-rintik di matanya memang sudah mulai mengering, namun masih tersisa kesedihan dan kegalauan hati yang tersirat dari kedua kelopak mata kemerah-merahannya yang mulai membengkak sejak tadi malam. Semalaman dia memang tertidur. Dia lelah, menangis memikirkan kelanjutan kisah hubungan percintaannya yang tidak berjalan semulus kisah dalam dunia khayal. Kisah mengenai seorang putri bersama sang pangeran tampan yang selalu berakhir bahagia. Kisah tentang dongeng fiksi yang selalu menghiasi pikiran anak-anak kecil sebelum mereka terlelap dalam tidurnya. Dia tau bahwa kisahnya berbeda. Dia sadar akan hal itu, tentu saja. Karena kisah cintanya memang bukan cerita dongeng, bukan suatu karangan imajinasi manusia dengan tujuan sebagai hiburan, bukan juga cerita bohongan tentang kehidupan para remaja. Ini kisah nyata! Kisah dimana Tuhanlah yang bertindak sebagai sang sutradara. Ini kisah di mana Nessa dan orang yang dicintai adalah pemeran utamanya, pemeran yang tak dapat melakukan apa-apa selain ber-akting mengikuti apa yang Tuhan kehendaki, apa yang Tuhan mau dan inginkan sebagai penguasa yang berhak mengatur semuannya. Sore ini mereka telah berjanji untuk saling bertemu. “Bentar sore di café Antlas aja.” Nessa memutuskan. “Kayaknya bakal lebih nyaman kalau kita ketemuan di sana… Iya jam 4” percakapan singkat itu lalu terputuskan. Seharian penuh Nessa selalu di kejar oleh bayang-bayang sang pacar, Dion. Dia benar-benar menunggu kehadiran Dion, wajah yang penuh senyum datang untuk menjemputnya untuk yang pertama kali. Nessa membayangkan, pikiran yang melambung jauh setinggi-tingginya yang dapat ia lakukan. Membayangkan seperti adegan-adegan sinetron yang ada di televisi. Ini yang pertama untuknya. Dia tak pernah berpacaran sebelumnya, dia tak pernah jatuh cinta, apalagi untuk dijemput seorang cowok di depan rumahnya? Betapa ini sangat ia nanti-nantikan. “Aku pakai bando ungu aja deh, biar matching sama rompi baju .. hm” dipandangi pantulan bayangan dirinya di depan kaca, berputar-putar melihat kemolekan tubuhnya. Jam masih menunjukkan pukul 1 siang, sementara waktu janjian adalah jam 4 sore. Nessa lalu berbaring di atas tempat tidurnya. Tak sampai 10 menit kemudian ia lalu tertidur dengan pakaian dress ungu-putih dan bando berhias pita ungu di kepalanya. Tiga setengah jam kemudian barulah Nessa terbangun. Ia kaget bukan main setelah melihat jam yang sudah menunjukkan hampir pukul setengah lima sore. Nessa tau bahwa Dion tak pernah terlambat dalam hal janjian. Dia lalu melompat dari kasurnya, membawa tas kecil di samping tempat tidur dan bergegas pergi. Dia lupa berpamitan pada orang tuanya, dia bahkan lupa untuk membawa hapenya. Tepat pukul 6.30 bel rumah Nessa berbunyi. “Nessa, kenapa kamu baru pulang? Mana Dion sayang? Kenapa mama telepon kamu tapi gak di angkat-angkat? Kenapa kamu lusuh sekali? Kamu kenapa? Ada masalah apa?” Mama terlihat cemas sekali. “Hape Nessa ketinggalan tadi, Nessa gak tau kenapa Dion gak nepatin janji” dia hanya menjawab seperlunya. “Jadi kamu ditinggal gitu aja? Dibiarin menunggu? Kenapa Dion seperti itu?” Seolah-olah ada seribu pertanyaan yang harus segera Nessa jawab saat itu. “Nessa capek ma, Nessa lagi malas cerita apa-apa sekarang. Nessa pengen istirahat.” Nessa lalu menyerobot masuk kamar dan mengunci pintu. Mama selalu tau saat di mana Nessa benar-benar tak ingin di ganggu jadi mama hanya membiarkannya beristirahat dari segala kepenatan. Sehari sebelumnya Nessa sempat bertemu dengan Hana sahabatnya di taman kota dekat rumah Hana. Mereka sempat berbicara banyak. Mereka berbicara mengenai hal yang sudah terlewatkan di masa lalu, entahlah menyadarkan atau malah mempengaruhi Nessa tentang doktrin yang berbeda. “Aku galau Han, aku gak yakin bisa ngomong kayak gitu sama dia!” curhat Nessa kepada sahabatnya Hana. “Tapi apakah kamu mau selalu kayak gini? Kamu mau selalu nungguin dia dan ngehabisin masa SMA mu hanya buat nunggu sesuatu yang gak pasti? Kamu yakin? Kamu yakin kamu mampu Ness?” Ucap Hana sembari menatap dalam ke arah Nessa. “Ya.. ya enggak sih. Aku gak kuat kayak gini terus. Udah dua tahun Han, 2 tahun aku gak pernah dekat sama cowok lain, aku gak pernah ngerasain gimana pacaran secara nyata! Maksud aku, aku gak pernah dapetin perhatian, ditemenin, natap wajah dia, berbincang, cerita sama-sama, jalan bareng, semua gak pernah aku rasain secara langsung! Aku pengen ngejalanin hubungan dengan orang yang bisa selalu ada buat aku, nemenin aku.. bukan hanya bisa jadi “Pacar Via Mobile” kayak gini! Aku kadang iri lihat pasangan lain yang bisa selalu sama-sama. Mereka yang bisa nyelesaikan masalah mereka dengan ketemu dan berbincang langsung, gak kayak aku!” Tersirat jelas bahwa Nessa sedang kesal dan kecewa. “Yah, aku tau. Ini semua tergantung kamu. Kalau kamu yakin kamu masih sanggup menunggu dia dan gak mau ngelepas dia, kamu boleh aja menunggu kok. Itu gak salah, terus setia sama dia seperti ini. Setidaknya kamu bisa memiliki orang yang kamu cinta walaupun dia gak ada secara nyata di mata kamu. Tapi…” Hana terdiam sejenak, sedikit memalingkan wajah dari Nessa dan berpikir sejenak. “Tapi apa?” Nessa ingin tau, penasaran dengan hal yang akan diucapkan Hana selanjutnya. Dia lalu menggengam tangan Hana. “Tapi apa Hana? Bilang aku” dia memperjelas pertanyaannya sekali lagi. Genggaman tangannya semakin erat. “Tapi aku takut Nes, aku takut kamu bakal kecewa” “Kecewa bagaimana maksud kamu?” Kening Nessa mengkerut, dia semakin tak kuasa menahan rasa penasaran di batinnya itu. “Aku, aku gak mau kamu kecewa kalau nanti penantianmu bakal sia-sia. Aku gak bermaksud mendoakan, mencap, memberi label,mempengaruhi pikiranmu atau.. atau apapun itu. Fine-fine aja kalau emang bener ternyata Dion adalah sosok pria yang akan menemani hidupmu nanti, kalau emang benar dia itu jodohmu di masa depan. Tapi kalau bukan bagaimana? Apakah kamu yakin bakal menghabiskan semua massa SMAmu hanya buat ngenal satu cowok aja? Hanya buat menunggu dia? Hidup ini masih panjang untuk mengenal yang lainnya” kata-kata itu membuat Nessa terdiam sejenak. Seolah-olah ada pisau belati tajam yang telah tertancap menembus ulu hatinya. “T-tapi.. itu terlalu jauh Han, aku gak bermaksud sampai..” “Iya aku mengerti. Coba kita pikir saja hal terburuknya. Oke mungkin itu memang pikiran yang terlalu jauh. Sekarang apa kamu benar-bener yakin kalau dia bakal setia di sana? Apa dia gak bakal deket-deket sama cewek lain? Apa dia gak bakal membuka hati untuk mengisi kekosongan dengan cewek lain? Kamu yakin?” hiliran angin sore yang dingin lalu memainkan rambut-rambut halus mereka berdua. “Sebenarnya, tidak. Tapi aku mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa dia.. bahwa dia setia sama aku di sana. Setidaknya dia harus setia! Karena aku di sini lagi nungguin dia, karena aku di sini setia sama dia, jadi dia juga harus kayak gitu!” Nessa memang egois dalam hal seperti ini. Dia hampir saja menangis. Dadanya terasa sesak. Rasanya asma tiba-tiba telah menyerangnya. Tapi itu bukan gejala penyakit asma, melainkan penyakit lain yang disebut ASMAra yang gagal sukses, gagal bahagia. “Kamu ingat hal yang kamu ceritakan padaku? Mungkin sudah sekitar sebulan yang lalu” Hana berusaha mengingatkan sesuatu. “Mengenai apa?” rasanya Nessa memang selalu lupa tentang hal yang pernah ia ceritakan pada sahabatnya itu. “Banyak yang sudah aku ceritakan sama kamu kan? Sebulan yang lalu? Aku tak ingat” dia melanjutkan. “Dion, beberapa saat setelah kalian putus untuk yang kedua kalinya, dia langsung punya pacar baru bukan? Kamu bahkan tidak tau..” “Aku tau setelah kita balikan, setelah teman sekelasnya menceritakan hal itu” Nessa nampaknya sudah berhasil mengingatnya. “Kamu justru mengetahuinya dari teman sekelasnya kan? Yah tak aneh juga kalau temannya hanya mengada-ada, tapi buruknya setelah kamu klarifikasikan sama Dion dia justru membenarkan tanpa mengelak dan.. tanpa benar-benar merasa bersalah sedikit pun!” “Mengapa dia harus merasa bersalah? he-he. Aku bercanda. Itu berarti dia mudah move on kan dari aku? aku tau, perasaannya ke aku dengan perasaanku ke dia memang tak sama. Kadar sayang kami berbeda, apakah aku lebih banyak? Tapi.. dia bilang dia gak sayang sama cewek itu, dia hanya nembak Riny karena diajakin taruhan sama teman cowoknya..” Nessa sedikit ragu mengatakan hal itu. Dia menggigit bibir mungilnya pelan. “Apa?! Jadi hanya untuk taruhan!? Kenapa kamu gak ngasih tau sama aku alasan itu? Itu berarti kan dia juga punya niat untuk mainin cewek! Dia jahat, dia seharusnya gak boleh lakuin itu. Terus sekarang setelah dia ngerasa gak nyaman sama si Riny, dia dengan mudahnya minta balikan sama kamu? Begitu? Dan kamu mau aja?” Hana sedikit kesal, dia memang tak pernah suka sama cowok yang suka mainin perasaan cewek. “Itu karena aku gak tau Han! Aku kan udah bilang kalau aku baru tau dari temen sekelasnya, itupun setelah kita balikan. Jadi aku harus gimana?” Ucapan itu lirih, Nessa lalu mendesah dan menyandarkan pundaknya pada sandaran kursi taman yang panjang, tempat dia dan Hana duduk. “Enggak, kali ini kamu yang harus mutusin sendiri. Entahlah menurut kamu yang mana yang terbaik aja buat kamu. Aku takut dia gak setia di sana, sementara kamu terus nungguin dia kayak orang ngemis-ngemis cinta gak pasti gini. Ih males deh punya sahabat yang kasihan gini hehe” candaan itu terlontar begitu saja. “Iihhh Hana ini! Nessa cubit nih!” Nessa lalu mencubit pelan perut sahabatnya dan tertawa. Kali ini sesak di dadanya mulai sedikit berkurang. “Hehehe… ya udah, aku yakin kamu bisa mutusin hal yang terbaik buat kamu. Eh ngomong-ngomong kamu belum makan siang kan? Mama aku lagi masak papeda panas loh, pake ikan kuning lagi! Wiih sedep deeehhh…” Hana mengacungkan jempol kanannya, bersemangat. “Ih tau aja kamu! Aku laper berat nih… hehehe” Sore yang manis, semburat warna jingga memecah langit biru yang selalu berkapas. Bola cahaya raksasa hampir saja pulang, ia sudah berada di kaki cakrawala. Dua insan manusia yang saling berjanji dalam satu ikatan, yaitu persahabatan, nampak saling berangkulan. Mereka yang penuh dengan kasih antara sesama saling bercanda menembus angin-angin sore yang menari-nari menerbangkan dedaunan kering di taman. Mereka saling memahami, saling mengerti satu sama lain. Betapa indah persahabatan yang yang telah terajut lembut. — Jalan Cempaka nampak begitu padat. Asap-asap polusi tak pernah mau kalah bersaing dengan padatnya kendaraan yang berhilir-mudik dalam dua arah. Semuanya sibuk, iya semua sibuk dengan kegiatan dan keperluan masing-masing. Sore hari selalu saja indah. Burung-burung camar yang terbang setinggi 15 kaki nampak bergerombol pulang ke arah Barat. Namun Nessa tak kunjung pulang walaupun hari sudah semakin sore. Dia masih setia menunggu untuk yang kedua kali. Namun Dion tak kunjung datang pada janji yang kedua ini. Bahkan ini telah lewat 2 jam dari waktu janjian. Nessa benar-benar kesal. Jemrinya tak pernah henti mengutak-atik handphone balckberrynya, menunggu telpon atau setidaknya sms balasan dari Dion. “Kenapa kamu tak kunjung datang!” Dia kesal, Nessa marah dan kecewa. Dia semakin ragu dengan penantian yang sudah dilakukannya selama ini, selama mereka memiliki hubungan jarak jauh. Nessa takut Dion akan pergi jauh hingga dia lupa dengan dirinya, lalu tergantikan oleh sosok cewek lain di sana. Jam 17.19, tepat dua jam lebih 19 menit Nessa menunggu. Dari kejauhan sosok cowok yang Nessa nanti-nantikan sejak tadi akhirnya muncul juga. Dion muncul dengan mengendarai motor mio merah, helm hitam, dan jaket berwarna biru muda. Pakaiannya terlihat keren di tambah lagi sepatu kets dan celana setinggi lutut. “Kenapa kamu baru datang!” Nessa langsung marah dan menunjukkan ekspresi tidak suka. “A-aku… aku tadi jemput kamu. Dulu waktu kamu masih SMP, katanya kamu gak berani sama mama dan papa kalau misalnya ada cowok yang datang untuk jemput kamu keluar. Makanya aku hanya nungguin kamu di pinggir toko Cemerlang Mart, berharap kita ketemu dan bisa jalan bareng.. tapi kamu kok gak ada? Kamu kok gak kelihatan?” Dion berusaha menjelaskan. “Bodoh banget sih kamu! Harusnya kamu kasih tau! Aku kan gak mungkin tau kalau kamu diem-diem kayak gini! Lagian itu kan waktu aku masih SMP, sekarang aku udah SMA woy! Udah gede! Orang tua aku pasti izinin lah.. kamu aja yang gak berani datang ke rumah aku, iya kan?! Alah jujur aja deh!” “eng-enggak bukannya gitu.. aku beneran gak tau Nes, sumpah! Demi Tuhan. Kita gak pernah ngomongin masalah ini selama long distance kan? Jadi aku kira masih sama, aku gak mau kamu dimarahin orang tua kamu. Aku minta maaf Nessa, aku yang salah! Aku minta maaf.. please” Selalu seperti ini. Dion memang selalu mengalah jika terjadi perdebatan di antara mereka. Nessa selalu saja menang, entahlah dia seolah-olah selalu memiliki kekuatan besar yang mampu membuat Dion tak dapat berkutik atas segala hal mengenai perdebatan pendapat mereka atau apapun itu. “Terus kenapa hape kamu gak aktif?!” Nessa menyolot dengan membuka matanya lebar-lebar. “hape aku baterainya habis Nes, aku gak sempat cas” Dion menjelaskan dengan nada yang tenang dan lembut. “ah pasti kamu bohong. Kamu ini yah, nyebelin banget! Di telpon gak bisa! Sms gak di jawab! Udah 2 jam aku nunggu kamu! Aku capek, pegel!” telunjuk kanan cewek Bandung itu lalu digerakkan dan menunjuk-nunjuk Dion. “Aku gak mungkin bohong soal itu, dari pagi..” “udah lah, aku males bahasnya. Kita langsung masuk aja ke café, aku udah haus banget” potong Nessa dan tanpa berbicara banyak langsung masuk ke arah café Antlas. Suasana di café Antlas memang sangat sesuai sebagai tempat nongkrong anak muda. Dion dan Nessa duduk saling berhadapan di sofa merah besar dekat jendela. “Aku minta maaf udah ngebuat kamu menunggu” Dion berusaha memulai pembicaraan. Nada suaranya menunjukkan penyesalan yang amat sangat, ditambah lagi ekspresi wajah yang mengibakan jiwa. Namun Nessa tak perduli dan justru membuang muka. Dia tetap saja asik dengan menyeduh ice chocolate miliknya. “Ness, aku gak mau kita berkelahi. Aku gak mau kayak gini Nes. Aku minta maaf udah buat kamu nunggu aku” Dion tetap berusaha membuat Nessa memaafkannya. Dia lalu meraih telapak tangan Nessa, berusaha memegangnya. Namun… “Udah, gak usah pegang-pegang Dion. Kamu itu emang selalu buat aku nunggu kamu! Tapi kamu? Selalu aja datang terlambat, eh malah kemarin kamu gak datang! Kamu pikir nunggu itu enak hah!” Nessa meletakkan ice chocolatenya di atas meja, mengambil tissue dan mengelap bibir merah jambunya perlahan. Setelah itu dia mendesah dalam. “Waktu itu aku gak datang karena mama aku minta tolong anterin berobat Ness, aku udah sms kamu kan? Kemarin. Aku udah siap bahkan setengah jam sebelum waktu janjian kita. Tapi tiba-tiba mama aku pingsan di dapur, mama aku sakit Nes, aku gak mungkin ninggalin mamaku seperti itu karena saat kejadian Cuma ada aku dan adik ku yang masih 9 tahun. Aku udah sms kamu, aku bahkan telpon kamu saat di rumah sakit. Tapi kamu gak angkat-angkat. Aku minta maaf Nes” Wajah Dion, segala penjelasannya tak kunjung membuat Nessa sudi member maaf. Sebenarnya Nessa tak mampu menatap mata permohonan maaf Dion yang terlewat nanar. Namun dia keburu kesal karena selalu saja dia harus menunggu Dion. “sms itu, aku gak baca. Aku kesal sama kamu kemarin makanya setelah tau kamu sms, tanpa membuka inbox baru, langsung saja aku hapus. Aku minta maaf aku gak tau kalau itu alasanmu” Nada bicara Nessa mulai memelan. “Iya, gak apa-apa.. aku juga mau ngasih tau. Baterai aku habis dan gak sempat ngecas karena sejak pagi aku pergi, aku siapin barang-barang untuk nanti…” Dion tak melanjutkan. “Maksudnya untuk nanti apanya?” Nessa berhasil di buat penasaran oleh Dion. “Entar malam aku mau berangkat” kata-kata itu seolah-olah membuat tameng air mata Nessa mulai hancur sekidit demi sedikit. “Jadi kamu? Mau pergi lagi? Ninggalin aku lagi? Biarin aku sendiri? Jadi aku nunggu lagi gitu?” “i-iya..” Dion terdengar ragu dalam menjawab. Waktu seolah-olah berhenti sekejap. Nessa lalu terdiam, dia nampaknya sedang pasrah dengan keadaan. Dia lalu menerawang, menerawang jauh sekali. Semua semua perkataan Hana dua hari sebeluumnya mengingatkan sesuatu. “Kapan kamu bakal kembali lagi?” Messa bertanya dengan nada datar. “Aku gak tau, aku gak bisa janji” Dion menjawab ragu. Nessa sempat terdiam lagi untuk beberapa saat. “Jika jawab tak juga ada, haruskah praduga jadi jembatannya? Jika sapa tak juga berbalas semestinya, haruskah diam jadi pilihannya? aku gak bisa. Aku gak bisa kayak gini terus. Aku gak bisa nungguin kamu setiap waktu. Kita pacaran udah hampir dua tahun, kamu nyadar kan? Itu bukan waktu yang sebentar. Tapi pertemuan kita secara langsung hanya bisa dihitung jemari tangan. Aku seneng kamu datang, walaupun hanya satu minggu kamu ada di sini setidaknya kamu udah datang, itu udah buat aku cukup bahagia. Itu udah cukup membuat aku dapat sedikit melepas kerinduan yang disebabkan oleh hubungan jarak jauh yang sedang kita jalani. Tapi… sampai kapan harus kayak gini terus? Aku capek! Selalu menunggu kamu, aku capek! Menunggu kedatangan kamu yang gak tentu itu, setiap enam bulan sekali, setahun sekali! Aku gak sanggup” “apa kamu udah bosan Nessa?” pertanyaan itu, keduanya lalu saling beradu pandang. “Iya, aku bosan. Aku gak kuat, aku gak mau LDRan lagi kayak gini. Aku hanya bisa jadi korban LDR aja, aku gak dapat apa-apa. Kamu gak pernah bisa janjiin sesuatu yang pasti. Setiap aku nanya kapan kamu datang, kamu selalu aja ragu menjawab, kamu hanya bisa nyuruh aku sabar. Tidak semua hal bisa selalu di jawab dengan kata sabar Dion” Musik di café Antlas semakin mendukung suasana, membuat hati kedua insan manusia kian bertambah galau. “Apakah waktu hanya berjalan di tempat saja? Dia seolah-olah merayap dari hari demi hari. Tak bisakah ia sedikit lebih cepat!” Nessa berucap kesal. “Jadi sampai kapan? Hanya sabar saja yang dapat kau berikan Dion, sabar!” “Aku gak bisa ngejanjikan apa-apa sayang, aku Cuma bisa berjanji setia sama kamu. Dan aku hanya bisa minta kamu untuk bersabar sampai kita bisa sama-sama lagi. Bukankah kita pernah bermimpi untuk kuliah sama-sama?” pengakuan, kenyataan, kesedihan, dan kebimbangan merengsek maju untuk mencari kebenaran perasaan. “Aku lupa, aku lupa akan janji itu. Tapi aku capek, aku butuh orang yang bisa selalu ada di saat aku butuh. Aku mau orang yang bisa nemenin aku di saat sedih ataupun senang, yang bisa ngasih bahunya sebagai sandaran untuk tangisku. Kamu pasti tau rasanya kan? Aku sayang kamu, iya aku sayang! Aku tau kamu gak bisa janji apa-apa. Tapi kamu tau? Aku kadang mikir kalau misalnya aku terus nunggu kayak gini apakah penantianku gak bakal sia-sia?” Nessa menjelaskannya, menjelaskan apa yang dia rasa dan pendam selama ini. Semua jelas sudah. “Iya aku mengerti. Kamu pikir aku gak mikir kayak gitu juga? Tapi aku percaya sama kamu, itu yang setidaknya buat aku bisa sedikit lebih tenang. Tapi kalau kamu gak percaya sama aku ya, maunya gimana? Tolong katakan apa yang kamu mau, mumpung aku lagi di sini, sebelum aku pergi lagi” Dia bertutur dengan sopan, tenang, namun itu menyakitkan bagi Nessa. Nessa menarik oksigen dalam-dalam. Dia lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Ya Allah, ini salahku. Aku tidak mengerti apa yang menjadikan aku seperti ini. Hari ini penat pikiranku, penat banget. Dari pagi aku udah kena masalah yang membuat moodku semakin buruk. Maaf mungkin kamu udah jadi korban pelampiasan dari segala hingar bingar masalah pribadiku yang menyesakkan aku hari ini” “Jadi bagaimana sekarang? Apalah akhir adalah sebuah pilihan?” Dion meminta kepastian. “Im tired, I feel so tired to having this long distance relationship, Im sorry” Nessa menutup matanya, berulang kali mengganti dan mencari posisi duduk yang nyaman. “kamu mau berakhir? Kalau kamu udah gak sanggup aku juga gak bisa maksa. Sekarang semua keputusan ada di kamu” “hahh, kenapa ribet banget rasanya. Iya mungkin akan lebih baik kalau kita berakhir sampai di sini. Ini akan lebih melegakan karena kita sama-sama lebih bebas melangkah untuk kedepannya. Setidaknya kita harus lebih dewasa nanti, walaupun langkah kaki yang kita setapakkan tak lagi sama, tak lagi seirama karena kita bukan lagi satu. Walaupun nanti kita udah putus, aku mau kita gak saling lupa. Aku mau kamu ingat aku sebagai bagian dari masa lalumu. Aku mau apa yang sudah kita alami ini bisa dijadikan pelajaran untuk kita berdua” seusai berkata-kata, Nessa lalu menatap ke luar jendela yang mulai lembab diguyur hujan. “entahlah, aku masih tak percaya kita berakhir seperti ini. Aku bener-bener gak percaya. Baiklah jika menurutmu itu yang terbaik” “Antarkan aku pulang Dion, ini hampir malam. Kamu harus siap-siap untuk berangkat kan?” “tapi Ness, ini masih hujan” “Gak papa” Nessa memainkan rambut panjangnya yang sedikit bergelombang. Hari ini, mereka berjanji untuk saling menatap sebagai sepasang kekasih untuk terakhir kali. Hari ini, mereka saling berboncengan menerobos hujan deras sebagai sepasang kekasih untuk terakhir kali. Hari ini, kata-kata sayang yang selalu melantun dari balik komunikasi mereka nampaknya harus segera diganti, mereka bukan lagi sepasang kekasih, bukan lagi sepasang raga yang terikat menjadi satu jiwa. Mereka sudah berakhir. “benarkah kita sudah berpisah? Kenapa langkahmu masih mengikutiku dari belakang? Sangat dekat, bahkan. Aku tak pernah lupa bau harum napasmu itu. Yah bau harum napasmu yang seperti hidup memenuhi alam pikiranku. Pantas hadirmu selalu kudekap dalam jarak satu centimeter. Benarkah kita berpisah? Rasanya ego dan kejenuhan telah memenangkan hatiku. Jadi, mengapa kisah kita seperti ini? Karena inilah yang Tuhan takdirkan? Sutradara atas segala kisah yang terjadi di bumi?” semua tulisan itu menutup lembaran akhir diary Nessa, semua mengakhiri kisah cinta yang pernah terjadi dalam hidupnya. Selamat jalan kekasih, manis yang berhujung perih. Semua berakhir sudah, meski kisah tak selamanya indah. Inilah skenarionya, Tuhan telah mengatur semua. Karena Tuhanlah sang sutradaranya. Cerpen Karangan: Niluh Ayu Mutiara Ariyanti Blog: duniakecilnunu.blogspot.com

2 komentar:

Posting Komentar

Galau selain cinta

Ujian kemarin itu, menjadi ujian yang berarti bagiku, bagaimana tidak, aku yang tidak pernah keluar dari 3 besar kini mendapat nilai ujian Bahasa Inggris yang sangat yummy. 50 50 50 50 Bagaimana harus aku menyembunyikannya dari sepengetahuan keluargaku? sementara isak tangis terus berderai di pipiku. Belum lagi, aku harus berjalan menyusuri puluhan rumah ketika pulang sekolah. Ya Allah… memang apa salahku ketika aku ujian kemarin? Nyontek, enggak. haduuhh… aku nggak tau harus gimana lagi. Air mataku menetes tanpa ada bendungan, mataku semakin merah… merah… merah… isak tangis tak berhenti, sampai-sampai teman jalanku menepuk bahuku, dengan menghela napas aku menoleh kearahnya “gila juga ni anak, galau itu karena cowok, putus, atau yang lain deh, pokoknya bukan karena nilai. menurut gue sih kayak gitu, nah lu? huh… emang ya, spesies orang kayak gini udah punah, tapi kenapa gue masih nemuin?” celotehnya sambil mentertawakanku, aku hanya tersenyum. tapi air mata masih belum terhenti. Sampai di Rumah Kamu kenapa?” tanya kakakku dan ibuku yang sudah lama tertawa-tawa di depan TV, setelah itu, kuceritakan semuanya. Malah mereka tertawa-tawa melihatku semakin terpuruk mengingat cerita hari ini. “sudah, nggak papa… namanya juga sekolah, yang penting SUKSES” hibur ibuku “Gimana mau sukses kalo naik kelas aja enggak?” lawanku makin kecewa, lalu kutinggalkan mereka berdua ke kamar. Ketika di kamar aku merenungi sesuatu yaitu “Rasanya, baru sekarang aku nangis karena masalah selain bertengkar sama kakak atau adikku di rumah, ternyata rasanya nangis + curhat itu SENSASIONAL” … Hari Remidi “Fitri Melani dan Dian Wahyu Safitri, masuk” teriak Pak Saiful dari dalam ruangan memanggilku dan kawan sekelasku. “Kenapa bisa sih fit? kamu kenapa? nilai 50 itu mustahil hukumnya bagi kamu, tapi ada apa sama kamu yang sekarang?” tanya Pak Saiful panjang lebar kepadaku, aku hanya menggeleng dan air mata kembali menghapus semua bedak di pipiku “Baiklah, duduk!” perintah Pak Saiful. “Fitri, kalo kamu dapat nilai diatas 80, bapak akan belikan kamu ice cream, coklat, permen coklat, dan sekaligus keripik singkong untuk kamu siang ini di kopsis” hibur Pak Saiful guru kesayanganku. Bu Wiwik tiba-tiba muncul di jendela ruangan untuk melihat keadaan siswa didiknya bertarung menghadapi masa-masa remidi pertama. Dian, dia hanya terus berdo’a karena selama ini dia tidak pernah menyukai bahasa inggris. “Rasanya, aku ngerjain ujian ini juga sama aja kayak yang kemaren, cuma, lebih sepenuh hati aja” pikirku dalam hati. Kukumpulkan lembar jawabanku di atas meja pak saiful dan kutambahi dengan senyum kecut ala ABG Galau dari lubuk otakku. Fiiuuhh… kuhela nafasku lalu duduk di bangku asalku, kulanjutkan dzikirku sejak pagi tadi. Kulihat Pak Saiful dengan teliti menelaah hasil ujianku, tidak lama kemudian Dian temanku mengikuti langkahku untuk mengumpulkan hasil kerjanya selama 30 menit ini. “Lama sekali Pak Saiful ini, mana lembar kerja Dian diteliti duluan. rasanya mau protes aja” pikirku dalam hati. baru saja ingin kutinggal tiduran Pak Saiful yang matanya tidak berpaling dari lembar kerjaku. Lalu tiba-tiba Pak Saiful berteriak “sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… selamat” ucap Pak Saiful sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku menangis senang sekarang, rasanya ingin cepat pulang dan pamer-pamer di depan kakakku Tapi kulihat Dian lebih terpuruk dariku kemarin, dia melihat lembarannya yang penuh dengan coretan merah “Gimana Yan?” tanyaku lembut Dian mengangguk-angguk lalu berkata “64″ lalu dia pergi meninggalkanku begitu saja… Sesuai janji, pak Saiful mengajakku ke kantin untuk mentraktirku. “Wuuhhhuuuwww…” ucapku dalam hati senang. Rasanya ini hikmah dari semua sikapku yang selalu terlalu menyepelekan bahasa inggris ketika ujian. Dan sekarang aku sadar Tertawa dan menangis itu sepasang. Kemarin aku pulang dengan derai air mata, sekarang aku pulang dengan gigi yang hampir kering karena kubuka terus mulutku ini untuk tersenyum-senyum sepanjang jalan Cerpen Karangan: Fitri Melani Facebook: Fitri Melani

0 komentar:

Posting Komentar

Dia Aku dan Sahabatku

Menurut psikologi, cinta itu harus diungkapkan Menurut agama, cinta itu harus dipendam sampai waktu yang tepat Menurutku, cinta itu ibarat sebuah kayu yang terhanyut dalam aliran sungai Kisah ini berawal dari keikutsertaanku dalam sebuah olimpiade ekonomi di sebuah universitas di kota malang. Saat aku bertemu dengannya usiaku baru 17 tahun. Sosoknya yang berwibawa dan karismatik serta supel telah mengambil seluruh perhatianku seketika. Semua yang berkaitan dengannya pasti akan aku rawat dan takkan ku biarkan sembarang orang dapat menyentuh ataupun melihatnya. Sebuah gantungan kunci berbentuk persegi dan selembar biodatanya adalah benda berhargaku saat ini. Semua tersimpan rapi dalam kotak kenanganku dengannya. Mungkin baginya aku hanya seorang anak sma yang sebatas kenalan dengan dia. Akan tetapi bagiku, dia adalah sosok kakak yang selama ini aku idam-idamkan. Penuh perhatian dan tak pernah bosan selalu mendukung dan memotivasiku. Berawal dari sinilah sedikit demi sedikit tumbuh sebuah rasa yang tak biasa. Aku pun binggung dengan rasa yang kini ada di hatiku ini, apakah ini hanya rasa kagum, atau rasa suka, cinta atau bahkan sayang? Jujur aku binggung dengan apa yang terjadi. Sejak 4,5 tahun yang lalu aku tak pernah jumpa lagi dengannya. Hubunganku dengannya hanya sebatas pertemuan via sms, FB dan telepon. Hmm seingatku aku dan dia hanya 4 kali teleponan, itu terjadi tahun 2009, 2010, 2011 dan tahun ini yakni 2013. Kebanyakan kami berhubungan via sms. Dalam sms itu tidak hanya bertanya tentang kabar, akan tetapi saling bercerita tentang kegiatan kami dan juga saling bercerita tentang keindahan bulan. Ya kami berdua sangatlah suka melihat keindahan bulan, di saat yang lainnya terlelap dengan sinetronnya, lelap dengan kesibukannya yang lain, kami berdua sibuk melihat keindahan bulan di atas sana. Pertama kali kau menghubunginya itu setelah aku lulus sma, nomor yang dulu dia berikan ternyata sudah tidak aktif lagi. Hingga aku akhirnya bertanya kepada temanku yang juga mendapatkan cinderamata dari dia. Selama ini temanku yang sudah menghubungi dan menjalin hubungan dengan dia. Begitu aku menghubunginya aku takut-takut karena selama ini kau tak pernah menghubunginya, ketika aku menghubunginya mungkin rasanya agak aneh akan tetapi ketika aku mendengar ucapannya ini, rasanya aku langsung plong. “oh kamu thoo nduk gimana kabarnya?” jawabnya dengan suara ceria dan logat khasnya yang membuat aku tetap berusaha menjaga silaturahmi dengannya. Dulu aku selalu berpikiran bahwa jika aku sms dia pasti terganggu akan tetapi dia selalu menyakinkanku bahwa itu hanyalah kekahawatiranku saja. Selama ini dia selalu menjawab semua sms dariku tak pernah tidak, dan selama itu juga aku tak pernah berani untuk memulai sms dengan dirinya karena bagiku mungkin dia tak nyaman dengan diriku yang mungkin sedikit agresif ini. Aku tak mau dia merasa tak nyaman dekat denganku walaupun di antara kita tak ada hubungan apa-apa. Entah sejak kapan rasa ini mulai besar, bahkan hingga aku merasa sakit ketika mendengar sahabatku bahkan sampai pergi ke kota malang hanya untuk bertemu dengan dirinya. Mendengar itu entah kenapa rasanya sakit sekali, air mataku pun tak tertahankan untuk mengalir, apalagi setelah aku ketahui dia bermalam di rumah keluarga besar temanku itu. “Oh jadi itu sebabnya smsku tak kau balas?” batinku merintih. Akan tetapi setelah aku mendengar apa yang terjadi sebenarnya rasa itu sedikit lebih ringan. Dia terpaksa menerima tawaran keluarga besar sahabatku itu karena malam sudah larut dan dia dalam kondisi yang tak sehat karena kurang tidur. Hmm aku merasa bersalah padanya akan tetapi percuma juga rasa bersalahku itu karena memang di antara kita tak ada hubungan apa-apa. Aku pun teringat sms sahabatku yang sepertinya sedang gembira, “ini aku sedang jalan-jalan dengan kakaknya, bareng dengan saudara sepupu dan pakdeku”, membaca sms itu rasanya sakit banget. Ingin rasanya teriak-teriak akan tetapi aku tak enak hati dengan para penghuni kost yang lainnya. Hingga akhirnya teriakan itu berubah menjadi deraian air mata untuk mengurangi sesaknya dada menanggapi hal tersebut. Akhirnya aku mendapat sedikit penjelasan dari dia terkait dengan apa yang sedang dialami oleh sahabatku tersebut. Ternyata sahabatku merasa sedikit tertekan dengan semua kondisi yang tidak berpihak padanya, semua teman yang tak mempercayainya, nilai UAN yang diluar targetannya, kisah cintanya yang tak pernah bersambut serta saingannya yaitu diriku. Walau aku tak pernah menganggapnya sebagai sainganku ternyata seperti itu tanggapannya terhadapku. “Hmm terserah dia sajalah” batinku menanggapi hal tersebut. Aku baru tahu ternyata orang yang sangat dicintai oleh sahabatku adalah dia. Aku tak tahu akan hal itu sampai sahabatku itu mengatakannya, “diriku mencintainya, bagaimana denganmu?”. Mendengar pertanyaan itu aku langsung terdiam, akan tetapi langsung ku jawab, “tidak, aku tak mencintai dia”. Entah apa yang membuat sahabatku ini berpikiran bahwa aku pun menyukai bahkan mencintai dia. Hingga akhirnya aku pun mulai berani untuk ikut mengungkapkan apa yang tak rasakan. Ketika sahabatku itu bertanya lagi, aku pun menjawab, “ya aku mencintainya, bagaimana denganmu?”. Mendengar hal itu sahabatku langsung tak menghubungiku lagi. Aku pun mulai mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada dia, via buku yang aku titipkan pada kakak tingkat dan juga via email. Aku ungkapkan apa yang sedang aku rasakan. Aku masih ingat dengan ilmu psikologi, jika kau menyukai seseorang maka ungkapkanlah itu. Sedangkan dalam ilmu agama jika kita menyukai seseorang maka bersabarlah dan tahanlah hingga waktu yang tepat. Akan tetapi bagiku, ungkapkan dan lupakan semua hal itu. Jika kau ingin melupakan orang yang kau sukai, caranya bukan dengan menghapus semua kenangan itu darimu akan tetapi buatlah yang banyak kenangan dengannya dan beritahukan pada semua orang ketika kau menyukainya. Maka kamu akan malu untuk meneruskan hal itu. Tapi jangan kau pakai caraku ini jika kau tak cukup berani. Aku tak tahu apakah sahabatku itu merestui hubunganku dengan dia atau bagaimana akupun tak tahu. Akan tetapi akhir-akhir ini, sahabatku selalu sms menanyakan kabar dia, “bagaimana kabarnya dia? Apakah dia baik-baik saja? Smsku tak pernah dibalas oleh dia, apakah dirimu sama denganku. Diacuhkan begitu saja olehnya?”. Jujur membaca sms itu aku heran hah bagaimana bisa sahabatku itu tak dibalas smsnya sedangkan aku masih dapat bersms ria dengannya. Segera aku pun mengirim sms untuknya, “bagaimana kabarmu kak?”, smsnya pun langsung berbalas, “aku baik-baik saja”. Hmm mengapa hal itu terjadi? Aku masih binggung, mengapa sms sahabatku tak pernah dibalas bahkan cenderung diacuhkan oleh dia. Saat sahabatku itu sms lagi menanyakan kabar dia, aku pun langsung memberitahu kepadanya, dan tahukah kamu kawan apa yang terjadi. Sahabatku itu tak menghubungiku lagi, aku tak tahu apa yang terjadi hingga sebuah telepon dari nomor yang aku ketahui nomor orangtuanya sahabatku masuk dalam ponselku. Telepon itu juga yang akhirnya menjelaskan duduk perkara dari awal hingga akhir. Baru aku ketahui jika sahabatku itu sedang dalam pengobatan karena banyaknya pikiran yang ada dalam otaknya. Dia mungkin mersa bersalah pada orangtuanya karena tidak dapat memberikan nilai yang terbaik saat UAN. Mungkin juga karena tekanan dari teman-teman yang membutuhkan kontribusi dirinya atau lain sebagainya, aku pun tak tahu. Sahabatku itu juga mendapat perlakuan tidak adil dari teman-teman asramanya, dan yang pasti sahabatku itu cemburu padaku karena aku masih berhubungan dengan dia sedangkan sahabatku tidak. Mendengar semua hal itu, aku langsung sedih sekali, “Ya allah gara-gara aku masuk ke dalam hubungan di antara mereka jadi seperti ini”. Aku merasa bersalah seolah mengambil perhatian dia dari sahabatku. Begitu aku curhat ke teman-temanku yang lainnya mereka pada bilang agar aku melepas dia, jangan sampai gara-gara dia, aku kehilangan sahabatku sendiri. Saat di telepon aku pun berjanji untuk tidak akan menghubungi dia lagi, demi menjaga perasaan sahabatku. Akan tetapi apa yang terjadi setelah sms dan email yang aku kirimkan, aku berada dalam posisi yang kangen berat dengan dia. Aku butuh sedikit semangat dari dia, sebuah porsi semangat yang hanya bisa diberikan oleh dia. Hingga akhirnya aku mulai mengirim email kepadanya yang langsung disambut dengan sms semangat darinya. Mendapat itu semua senyum tak pernah lepas dari wajahku, hatiku berbunga tiap kali membaca sms dari dia. Hahahha senangnya aku kira dia tak akan mengirimiku sms ini. Mengingat emailku yang mengatakan ingin memutus hubungan di antara kami ini. Aku mengirimkan email untuk meminta doa dia karena aku akan menghadapi sidang. Aku memberanikan diri untuk memulai sms dia karena menurutku yang sedang dalam kondisi perang dingin itu dia dan sahabatku, mengapa aku harus ikut-ikutan. Hingga akhirnya, aku mulai aktif lagi smsan dengan dia. Terlupalah sudah janji yang sudah aku ucapkan. Sahabatku itu ternyata akhirnya menjalani perawatan dan sudah berangsur-angsur membaik. Karena hatiku tak tenang setelah melanggar janji, aku pun memutuskan untuk mengungkapkan pada sahabatku itu. Aku ungkapkan tentang janjiku dan aku ungkapkan jika aku sudah melanggarnya. Dan akibatnya adalah sahabatku ini kembali alpa. Kembali tamparan yang sama menampar wajahku, tak hanya wajah yang serasa ditampar, telinga rasanya panas mendengar adikku berkata, “kau egois, hanya memikirkan dirimu sendiri, kenapa tak kau pikirkan perasaannya ketika kau ungkapkan hal itu”. Batinku seketika memberontak, “mau sampai kapan aku harus melindunginya terus, sedangkan aku sedang sakit begini, apakah aku pun harus mengorbankan diriku juga”. Batinku masih terus melakukan pembelaan atas kesalahan yang aku lakukan hingga datangnya sebuah sms yang berbunyi. Assalamualaikum wrwb, nak ibu minta tolong jika anak ibu menghubungi terkait dengan laki-laki itu bilang aja anak ga tahu berhubungan lagi dengan dia. Ibu tahu itu bohong tapi ini demi anak ibu. Assalamualaikum wrwb, nak, sejak anak memberitahu anak ibu, bahwa anak masih sering berhubungan dengan laki-laki itu, anak ibu mnjadi tidak terkendali dan sulit mengontrol emosinya, mungkin karena rasa cemburu. Ibu tidak menyalahkan anak karena mungkin anak khilaf atau lupa. Tapi ini mungkin ujian buat ibu sekeluarga agar lebih mendekatkan diri kepada Allah dan lebih bersabar. Tapi ibu minta anak jangan merasa bersedih atau merasa bersalah, anak doakan saja semoga anak ibu cepat sehat dan dapat beraktivitas kembali. Inilah akibat dari apa yang sudah tak lakukan tanpa pikir panjang. Akibat yang sangat fatal bagi sahabatku. Aku tak pikirkan hal lain selain ucapan permohonan maafku. Saat aku telepon pun dia masih baik-baik saja. Dia sendiri mengaku jika dia baik-baik saja dan menyetujui jika aku dengan dia. Tapi apa yang terjadi, sahabatku itu bahkan merelakan sampai membuatnya jatuh. Hmm apakah layak aku masih tertawa senang seperti ini. Padahal aku pun sebenarnya tahu jika dia pun sudah menolakku, akan tetapi entah kenapa batinku ini masih saja berharap padanya. Padahal dia sudah dengan jelas mengatakan bahwa dia tak ada perasaan cinta atau menyukai dengan lebih terhadapku. Dia hanya ada rasa suka, ya sebatas rasa suka seperti rasa sukanya terhadap teman-temannya saja. Dia tidak ada tujuan memilikiku untuk dirinya pribadi. Dia tidak mempunyai rasa cinta yang hanya mengarah pada hubungan dua manusia saja. Ya sekali lagi dia tak punya perasaan lebih padaku. Akhirnya aku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku yang paling mendasar selama ini. Walau begitu entah mengapa aku selalu merasa dia seakan menyukaiku. Akan tetapi dia tak berani mengungkapkannya karena mungkin baginya aku dan dia tak akan dapat bersatu. Karena itu dia, selalu berbuat seperti ini. Akan tetapi mengapa dia selalu seakan memberikan sinyal kepadaku. Dia dan aku bahkan pernah bercerita tentang jumlah anak yang kami inginkan. Kami sama-sama ingin punya anak lima orang. Dia pernah bertanya padaku “mau ga kamu melahirkan anak-anak untukku?” yang langsung tak jawab, “mau ga jika aku yang melahirkan anak-anak untukmu?”. Aku tatkala itu langsung menjawab “iya’ sedangkan dia tidak menjawab, hingga ini aku tak tahu jawaban dia apa. Baru aku sadari bahwa selama ini, aku terus yang mengungkapkan apa yang ada dipikiranku, dia tak pernah sama sekali. Ketika aku bertanya terkait dengan semua hal yang sudah kita bicarakan, dia hanya menjawab “pelajari psikologi dasar biar kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi, apakah itu hanya teka-teki, permainan kata atau yang sebenarnya atau sebuah liukan topeng? Atau sebuah tak tik atau battleplan atau kata-kata represif depresif akan keadaan atau hanya sekedar jebakan agar orang lain berpikiran seperti yang kita inginkan” hmm sebuah jawaban yang tak pasti. Baru aku sadari ternyata selama ini, dia hanya meladeni permainanku ini, dia hanya pemainkan perannya dengan cukup lihai dan apik hingga aku pun terbuai dengan apa yang sudah dilakukannya. Selama ini, dia tak pernah membatasi apa yang ada dalam alam pikiranku, dia membiarkan pikiranku ini berkembang dengan liarnya. Dia tak pernah membatasinya. Bagi dia itu adalah hak setiap orang untuk memproses semua inputan yang sudah masuk dalam otaknya. Jadi jangan pernah menyalahkan orang lain atas semua pikiran yang ada di otakmu, karena yang mempunyai kendali penuh atas pikiranmu hanyalah dirimu sendiri. Mereka semua hanya pemberi input, otakmu yang memproses dan memberikan output jadi kendalikan pikiranmu. Cerpen Karangan: Bayu Rahmawati Blog: bayurahmawati.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar