Arti Sebuah Penantian
Subuh ini aku mulai menulis kembali. Berani menyita semua waktu tidurku untuk menceritakan kembali tentangmu disana. Aku, saat ini merasakan bahwa kehadiranmu sungguh ada dan duduk di sampingku. Memberikan sedikit cibiran khas, menyipitkan mata, dan tertawa ntah kenapa. Tapi rasanya aneh jika bayangan ku itu harus bergelut dengan kenyataan bahwa kau, ada disana bersama wanita lain, duduk dan bercanda manis dengannya.
Membelai rambutnya hingga aku merasa bahwa aku sangat kesal, aku harus melihat ini dan menerimanya. Aku harus menahan sakit walaupun aku tidak dihiraukan. Sebagai penonton seharusnya aku mampu menangisi apa yang aku lihat. Karena kalian tidak akan perduli.
Begini atau bagaimanapun aku.
Rasanya hari tanpa membicarakanmu tak wajar. Rasanya tanpa bergelut dengan laptop setiap waktu tanpa memperbincangkanmu juga tak wajar. Kamu bukan sebagian dari hidupku lagi. Tapi kamu masih bagian dari hatiku. Apa kau ingat saat aku memilih untuk pergi meninggalkanmu di halte bus itu? Seharusnya hari itu duduk di sampingmu. Melewati beberapa menit yang akan berlalu sebelum aku menginjakkan kaki di rumah dan memulai beberapa jam hingga malam tanpamu. Tapi aku juga tidak mampu untuk bersamamu berjam-jam di bus itu dengan wanita lain. Wanita yang lebih dari biasanya aku lihat. Dia bukan teman kita, mengapa kamu harus mengenalnya? Dan kenapa kamu harus mengenalinya padaku?
Setelah hari aku memulai untuk pulang sendiri itu aku sadar. Bahwa aku mencintaimu, aku cemburu. Tapi aku salah, kenapa aku harus menaruh hati padamu? Pada orang yang jelas-jelas juga tidak mencintaiku. Mungkin.
Di hari berikutnya, aku merasa enggan meninggalkan halte itu. Banyak cerita yang kita parut dan habiskan bersama. Walaupun dalam jangka yang pelan dan sebentar. Rasanya tidak tega kepada halte yang sudah baik mau memberikan aku tempat untuk mencintaimu, memperhatikanmu secara diam-diam dan sekarang malah ku tinggalkan begini saja? Aku tidak ingin menjadi orang yang berbeda setelah sesuatu berubah sepertimu. Sejak kau mengenalnya kau hanya akan berfikir bagaimana menghabiskan waktu untuk hanya sekedar melambaikan tangan pada wanita berkaca mata itu?
Kamu belum tau rasanya aku ketika kamu menanyakan, “aku harus pakai alasan apa lagi ya untuk menemui Kristin nanti?”.
Oh jadi nama wanita berkaca mata itu Kristin, baiklah sekarang aku hanya ingin menemui wanita itu dan menjabat tangannya. Memberikan ucapan terima kasih karena sudah menjadi media lain untuk zain merasakan kenyamanan.
Perasaan tak terbalaskan itu tidak ada gunanya. Bagi semua orang yang merasakan ini. Aku susah payah menunggumu hanya untuk pulang bergandengan, sedangkan kamu berlari mencari wanita itu. Lalu aku bisa apa? Halte itu kusam, tanpa aku dan kamu seperti biasa. Tanpa kita yang perduli dengannya. Membersihkannya dengan canda tawa yang meledak. Sengaja kita ledakkan.
Di antara kekecewaan yang aku rasakan ini, apakah kamu tak pernah ingin bertanya “hari apa yan paling membuatmu kesal dil? Apakah ada?” dari dulu aku menunggu pertanyaan itu.
Dan aku ingin menjawab dengan nada lantang dan tegas…
Ada! Apa kamu ingat saat pulang sekolah kamu menawarkanku untuk pulang bersama seperti biasa dan bilang bahwa “aku kangen loh waktu-waktu kita pulang bareng kayak dulu”.
Disana, mungkin karena cintaku ini terlalu lembut, sehingga mampu kamu mainkan dengan perbincangan anak-anak. Perbincangan laki-laki yang hanya ingin menyakiti dan memakai kata “kangen”. Aku juga merindukanmu, lalu aku bisa apa ketika kamu berbicara itu? Jelas aku menerima tawaranmu. Ternyata, bukan hanya tawaran itu yang kamu suguhkan, kamu juga bilang “hari ini aku mau ngajakin kamu makan dil. Mau kan?”
Wanita mana yang ingin menyia-nyiakan rasa kebersamaan yang akhir-akhir ini hampir punah karena dengan adanya orang lain di antara mereka? Jelas saja aku menerimanya. Siang itu kamu juga membawaku untuk pergi ke sebuah café pilihanmu. Aku mengikut saja, asal adanya kamu aku akan merasakan semuanya baik.
Tapi aku merasa ingin pergi dengan tangisan ketika aku melihat di meja sana, di meja yang tertera angka 11 itu ada wanita berkaca mata yang selama ini aku benci.
Kristin, kenapa wanita itu sudah pindah habitat kesini? Sengaja ingin mencemburui ku?
Tampaknya ia melambaikan tangan kepada zain, benar sudah kan apa yang aku bilang? Datang kesini hanya akan membuat aku mati dalam kecemburuan hanyut dalam penyesalan.
“kita duduk di meja 11 zain?” kataku dengan menyembunyikan rasa kesalku.
“iya, kita makan bareng Kristin. Tadi dia minta aku ngajak kamu” jawabmu sambil tersenyum.
Dia minta aku ngajak kamu? Sebenarnya kehadiranku lebih tidak diinginkan oleh zain ternyata. Ia hanya terpaksa dengan alasan kasihan mungkin. Duduk disana, di meja 11. Berhadapan dengan Kristin, wanita berkaca mata berkulit putih dan sipit itu, iya memang berkesan wanita cina. Tapi aku tidak mungkin memakai alasan “aku ke belakang sebentar ya…” toh nantinya juga aku akan kembali di meja itu.
Agak terjepit dengan rasa cemburu juga ketika kamu dan dia memilih menu secara bersamaan dan menu yang sama. Melihat itu selera makanku hilang, sudah kenyang dengan senyuman pahit mereka berdua. Memangnya jika aku marah semuanya akan berada pada posisi yang aku inginkan? Tidakkan? Lebih baik diam. Mungkin pilihan yang menyakitkan, tapi lebih baik begitu.
Kamu beranjak pergi ntah kemana, wanita berkaca mata itu mendekatiku. Ia sedikit tersenyum lalu menunduk. Kemudian menatap ku, “kamu cemburu?” katanya.
Ah tuhan, terbacakah semua yang aku lakukan ini? Terbacakah semua dari sorotan mata ini?
Perih. Aku bersikap cuek, mengenal wanita ini tidak pernah aku inginkan. Duduk makan siang bersamanya dan melihat ia menatapku dengan penuh keseriusan ini juga tak pernah kubayangkan.
Lagi, ia tersenyum melihatku.
Ia menggenggam tanganku penuh rasa sahabat.
“jangan cemburu hingga membenciku begitu. Aku tidak mencintainya dil…” semua berubah. Aku diam dia tertawa, aku mulai berfikir bahwa aku ingin membunuhnya jika ia berbohong. “jangan menatapku seperti ingin membunuh begitu, aku tidak mencintainya dil..” lanjutnya lembut.
“Selama ini kami dekat, kami ini adalah tetangga. Dan lebih dekatnya kami adalah sepupu jauh, kami baru beberapa kali bertemu dan sepertinya memang kami cocok.” Cocok? Sakit. “bukan cocok sebagaimana kamu dan zain, tapi kami memang cocok untuk sharing. Selama ini kami memang banyak bersama, itu karena sesuatu yang pantas kamu dapatkan. Jangan takut kehilangan dia” jelasnya.
Melihat itu, aku berani untuk menjelaskan…
“aku sudah lama menunggu zain, bukan sebentar tapi dalam waktu yang lama. Itungan tahun, dari SD juga aku menyukainya, tapi aku belum berani untuk menegaskan bahwa aku mencintainya. Seiring waktu, kami juga selalu dapat sekolah yang sama aku mulai berani untuk jujur terhadap hari-hari ku, bahwa aku hampa tanpa zain. Aku belum pernah ingin mengubur rasaku kepadanya hidup-hidup. Tapi rasa ini tidak pernah mati, tapi setelah melihat kalian aku ingin mematikan ini semua.” Rasanya tidak salah jika aku menangis dalam kepasrahan. Aku juga sudah jujur semuanya.
“aku juga sudah lama. Tapi hari ini aku ingin menghidupkan lagi semuanya dil” suara lelaki. Ini bukan Kristin yang berbicara. Suaranya dekat dan sangat dekat dengan telingaku, ia berbisik. “hari ini, ingat saja di meja nomor 11 tanggal 11. Aku ingin memberikanmu kado, mengganti ketidak hadiranku malam kemarin untuk menyiapkan hari ini.” Suaranya tegas berdiri di belakangku.
Aku tidak berani untuk menengok ke belakang, aku belum sanggup menjadi orang yang sangat bodoh ketika tahu itu hanya bayangan saja. Tapi tunggu, aku belum pernah membayangkan ini. Lalu ia memegang pundakku mencubit bahuku dan membalikkan badanku. Sakit ..
“maaf aku mencubitmu, aku hanya ingin membangunkanmu dan berbicara bahwa ini bukan bayangan ini aku zain yang juga sudah bertahun-tahun bersama mu dan bersama perasaan kita. Aku mencintaimu dil.”
Aku bisa apa ketika kau membalas perasaanku dengan begitu tegas? Aku bisa menangis dalam kebodohan. Kecemburuan bukan berarti masalah untuk suatu hubungan yang aku inginkan. Tapi bagaimana caranya menunggu dan saling meyakinkan bahwa kita sama, kita satu dan akan datang waktunya untuk kembali menyempurnaan perasaan kita dengan suatu hubungan. Jangan berfikir bahwa kita menunggu itu sendiri, jika dia belum mampu membalas setidaknya kita menunggu berdua dengan perasaan murni ini untuknya. Dan ya mungkin seperti ini, tanpa kita sadari .. kita saling menunggu dalam kebisuan. Indah …
Cerpen Karangan: Nia Anisha
Twitter: @niaanishaa
0 komentar:
Posting Komentar