Galau selain cinta
Ujian kemarin itu, menjadi ujian yang berarti bagiku, bagaimana tidak, aku yang tidak pernah keluar dari 3 besar kini mendapat nilai ujian Bahasa Inggris yang sangat yummy. 50 50 50 50
Bagaimana harus aku menyembunyikannya dari sepengetahuan keluargaku? sementara isak tangis terus berderai di pipiku. Belum lagi, aku harus berjalan menyusuri puluhan rumah ketika pulang sekolah. Ya Allah… memang apa salahku ketika aku ujian kemarin? Nyontek, enggak. haduuhh… aku nggak tau harus gimana lagi.
Air mataku menetes tanpa ada bendungan, mataku semakin merah… merah… merah… isak tangis tak berhenti, sampai-sampai teman jalanku menepuk bahuku, dengan menghela napas aku menoleh kearahnya “gila juga ni anak, galau itu karena cowok, putus, atau yang lain deh, pokoknya bukan karena nilai. menurut gue sih kayak gitu, nah lu? huh… emang ya, spesies orang kayak gini udah punah, tapi kenapa gue masih nemuin?” celotehnya sambil mentertawakanku, aku hanya tersenyum. tapi air mata masih belum terhenti.
Sampai di Rumah
Kamu kenapa?” tanya kakakku dan ibuku yang sudah lama tertawa-tawa di depan TV, setelah itu, kuceritakan semuanya. Malah mereka tertawa-tawa melihatku semakin terpuruk mengingat cerita hari ini. “sudah, nggak papa… namanya juga sekolah, yang penting SUKSES” hibur ibuku “Gimana mau sukses kalo naik kelas aja enggak?” lawanku makin kecewa, lalu kutinggalkan mereka berdua ke kamar. Ketika di kamar aku merenungi sesuatu yaitu “Rasanya, baru sekarang aku nangis karena masalah selain bertengkar sama kakak atau adikku di rumah, ternyata rasanya nangis + curhat itu SENSASIONAL” …
Hari Remidi
“Fitri Melani dan Dian Wahyu Safitri, masuk” teriak Pak Saiful dari dalam ruangan memanggilku dan kawan sekelasku. “Kenapa bisa sih fit? kamu kenapa? nilai 50 itu mustahil hukumnya bagi kamu, tapi ada apa sama kamu yang sekarang?” tanya Pak Saiful panjang lebar kepadaku, aku hanya menggeleng dan air mata kembali menghapus semua bedak di pipiku “Baiklah, duduk!” perintah Pak Saiful. “Fitri, kalo kamu dapat nilai diatas 80, bapak akan belikan kamu ice cream, coklat, permen coklat, dan sekaligus keripik singkong untuk kamu siang ini di kopsis” hibur Pak Saiful guru kesayanganku. Bu Wiwik tiba-tiba muncul di jendela ruangan untuk melihat keadaan siswa didiknya bertarung menghadapi masa-masa remidi pertama. Dian, dia hanya terus berdo’a karena selama ini dia tidak pernah menyukai bahasa inggris.
“Rasanya, aku ngerjain ujian ini juga sama aja kayak yang kemaren, cuma, lebih sepenuh hati aja” pikirku dalam hati.
Kukumpulkan lembar jawabanku di atas meja pak saiful dan kutambahi dengan senyum kecut ala ABG Galau dari lubuk otakku. Fiiuuhh… kuhela nafasku lalu duduk di bangku asalku, kulanjutkan dzikirku sejak pagi tadi. Kulihat Pak Saiful dengan teliti menelaah hasil ujianku, tidak lama kemudian Dian temanku mengikuti langkahku untuk mengumpulkan hasil kerjanya selama 30 menit ini.
“Lama sekali Pak Saiful ini, mana lembar kerja Dian diteliti duluan. rasanya mau protes aja” pikirku dalam hati. baru saja ingin kutinggal tiduran Pak Saiful yang matanya tidak berpaling dari lembar kerjaku. Lalu tiba-tiba Pak Saiful berteriak “sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… sembilan puluh empat… selamat” ucap Pak Saiful sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku menangis senang sekarang, rasanya ingin cepat pulang dan pamer-pamer di depan kakakku Tapi kulihat Dian lebih terpuruk dariku kemarin, dia melihat lembarannya yang penuh dengan coretan merah “Gimana Yan?” tanyaku lembut Dian mengangguk-angguk lalu berkata “64″ lalu dia pergi meninggalkanku begitu saja…
Sesuai janji, pak Saiful mengajakku ke kantin untuk mentraktirku. “Wuuhhhuuuwww…” ucapku dalam hati senang.
Rasanya ini hikmah dari semua sikapku yang selalu terlalu menyepelekan bahasa inggris ketika ujian. Dan sekarang aku sadar Tertawa dan menangis itu sepasang. Kemarin aku pulang dengan derai air mata, sekarang aku pulang dengan gigi yang hampir kering karena kubuka terus mulutku ini untuk tersenyum-senyum sepanjang jalan
Cerpen Karangan: Fitri Melani
Facebook: Fitri Melani
0 komentar:
Posting Komentar