Cintaku yang manis
Aku berjalan keluar dari kelas bersama Bella. Menuruni tangga lalu berjalan lagi melewati taman sekolah sampai akhirnya keluar dari sekolah. Bukan hari yang buruk tapi hari yang cukup menegangkan, pelajaran hari ini membuat syaraf otakku tegang.
“Bell, aku gak bisa pulang bareng”
“Kamu mau kemana?” tanya Bella
“Mau samperin mama di depannya gramed, biasalah”
“Oh, okelah”
“Aku duluan ya Bell” pamitku
“Daah Dian”
Aku mulai berjalan berlawanan arah dengan Bella, menyusuri jalan yang tak begitu ramai. Memasuki salah satu Mall yang paling terkenal di kota ini. Kepalaku melihat ke arah kiri dan kanan, mengawasi setiap orang yang berpakaian sama seperti ku, yap! Teman sekolahku.
“Mama!” aku berhasil mengejutkan mama yang sepertinya dari tadi sedang menungguku.
“Dian! Mama kaget tau!”
“Maaf ma” aku menunduk takut dimarahin mama
“Gak papa kok sayang, mau makan dimana?” tanya mama sambil merangkul aku.
“Di foodcourt aja ma” jawabku cepat
“Foodcout atas atau bawah?” tanya mama lagi
“Atas aja deh ma” aku bergelayut manja di lengan mama sambil merjalan menuju ekskalator
“Kenapa gak di foodcourt bawah aja?”
“Enakan di atas ma”
Aku dan mama sampai di lantai 3. Lantai paling atas di mall ini. Sesampainya di foodcourt, aku memalingkan wajahku ke kanan, eh kok kayak pernah lihat di sekolah ya? Tanyaku dalam hati. sekali lagi aku memperhatikan meja yang tak terlalu pinggir itu.
“Ya Tuhan, itu Davi sama Nifa duduk sebelahan?” suaraku terlalu pelan, hatiku mulai sakit, cenat-cenut yang tidak tertahankan mulai menggoncangkan jantungku. Aku berhak marah? Tentu saja tidak, aku bukan siapa-siapanya hanya teman yang mampir di kehidupannnya.
“Dian, kamu kenapa? Kok dari tadi diem terus?” tanya mama
Aku tersadar
“Dian gak papa kok ma, ya udah Dian pesen makanan dulu” Aku bangkit berdiri dan berjalan ke salah satu counter, sambil mengamati pemandangan yang membuat kakiku lemas. Mereka tidak berdua saja tapi masih ada Alfa dan Gita. Bagiku tidak masalah kalau mereka duduk sebelahan, tapi tidak untuk Davi dan Nifa! Nifa udah punya pacar, kenapa harus mengambil gebetan orang lain? Kemana Alam, apa dia tidak tau apa yang sudah dilakukan Nifa?
Setelah memesan makanan, aku tak berani lagi melihat Davi, cukup sakit hatiku berkali-kali menunggu hanya diabaikan saja, lalu sekarang? Aku tak mau lagi meningatnya.
—
“Kemarin Nifa ikut latihan sama kamu gak?” tanyaku
“Nggak sih”
“Berarti bener dong aku liat dia di foodcourt bareng Davi, Gita, sama Alfa” aku pasrah, dan ingin melupakan kenangan yang paling buruk itu.
“Davi?!” Lia terbelak.
Aku hanya mengangguk lemah mencoba untuk tabah.
“Davi duduk sebelahan sama Nifa” aku mencoba untuk tidak lemah.
“Masa?!” Lia masih kaget.
Aku berusaha tenang dan tidak ingin menangis sama sekali!
“Nifa bilang ke aku, kalo dia mau jalan sama Alam, mungkin Alam gak bisa dateng”
“Kenapa harus Davi?”
Lia terdiam, aku semakin resah, aku tidak mengerti maksud mereka itu apa?
“Ya mungkin aja Davi disuruh ikut sama Alfa” Lia mengelus pundakku. Aku terduduk diam, memanganya aku ini siapa? Pacarnya? Apakah aku harus memarahi mereka? Menunmpahkan semua kekesalan yang bergelunjak di hatiku? Tuhan apa yang harus aku lakukan?
“Alam kemana sih?” aku mendesah, sakit hatiku yang berulang kali aku tahan, kini mulai muncul dan memuncak kembali. Emosi yang telah kujaga juga keluar tanpa sadar
“Mereka gak tau hati aku sakit gini Lia!”
“Sabar ya Di” Lia merangkulku dan menuntunku pulang
Matahari mulai menenggelamkan dirinya, dan bulan mulai memunculkan dirinya bersama bintang-bintang yang berkelap-kelip. Aku masih tak bergerak dari tadi, hanya menatapi langit sambil duduk di balkon kamarku. Aku mendesah, mengingat kejadian tadi. Sungguh aku telah berjuang, untuk Davi dan semuanya untuk Davi, apa yang dia beriikan untukku? Hanya angin kosong yang kudapatkan.
Perjuanganku selalu diabaikan. Perhatianku selalu diterakhirkan. Penantianku selalu dihempaskan. Aku marah. Iya. Aku sakit. Iya. Aku capek. Iya. Apa aku berhak menceritakannya ke Davi? Apa dia berhak tau? Tuhan aku harap Davi tau yang ku maksud selama ini, yang kuperjuangkan selama ini.
—
“Dian!” Panggil Lia yang melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
Aku menoleh dan membalas lambaian tangannya. Aku berhenti menunggu Lia yang sedang berlali ke arahku.
“Ada tugas atau PR?”
“Tidak ada”
Aku dan Lia berjalan beriringan ke kelas, sampai disana aku bertemu dengan Icha dan teman-teman yang lainnya.
“Ichaaa” panggilku sambil melempar tas ke tempat duduk Bella.
“Iya Di?”
“Kenapa kamu duduk di kursiku?”
“Yaa enggak papa”
“Aku mau cerita”
“Apa?”
Aku menceritakan semua yang aku alami seharian kemarin dengan tatapan nanar dari mataku.
“Ya ampun, Nifa itu gak tau diri ya”
“Kenapa sih?” Tanya Riska kepo.
Aku menceritakan ulang dengan, hati yaaah. Tidak rela.
“Anak itu memang gitu Di”
“Trus aku harus gimana dong? Masa marah-marah? Kan gak lucu”
“Di, anaknya datang tuh!”
Nifa berjalan gontai masuk ke dalam kelas. Mengamati kelas, lalu mengeluarkan handphone-nya seakan tak peduli.
“Gak tau udah punya pacar apa? Anak orang lain jadi korban” teriak Icha sambil menyindir Nifa
“Iya sok kecantikan, kasian loh Dian” Riska juga ikut menyindir.
“Udahlah, kasian anaknya jangan disindiri terus”
“Kamu gak bisa gitu Di! Dia gak tau siapa kamu sebenarnya, kamu harusnya tanya sama dia” Icha membentakku
“Tapi aku gak punya hak! Aku bukan siapa-siapanya, aku cuma…” kata-kataku terputus aku gak yakin mengucapkan kata itu.
“Cuma mantannya?” sambung Icha
Aku mengangguk lemah
“Di! Kamu harus move on, kamu gak bisa gini terus”
“Tapi gimana? Aku gak bisa move on dan aku gak mau move on!”
Icha terdiam mendengar teriakanku. Aku kembali merenungkan apa yang harus kulakukan, aku benci dalam keadaan seperti ini.
“Lia, kemaren Davi ngasih aku hadiah ulang tahun loh, sama itu tuh yang di MTD gulali ituu” cerita Nifa
Aku yang mendengarnya langsung berpura-pura tidak tau. Lia mentapku kasihan, sedangkan aku? Apa yang ku pikirkan? Sakit sih iya. Mengutarakan perasaan itu gak bisa.
“Di, nanti aku beliin kamu gulali juga!” Icha menyindir Nifa lagi.
Kepalaku pusing. Aku hanya terdiam, apa yang mau diinginkan Nifa? Kenapa dia harus merebut orang yang aku sayangi? Kenapa?
—
Sendiri itu bisa menenagkan hati yang terguncang, tapi sendiri itu sepi.
Sendiri itu bisa membuat pikiran melayang ke arah masa lalu, tapi sendiri itu sunyi.
Sendiri itu bisa membuat mulut ingin memuntahkan berbagai kata, tapi sendiri itu senyap.
Sendiri itu bisa membuat hati ingin ditemani, tapi sendiri itu mati.
Yang aku pikirkan saat ini adalah sendiri. Bagaimana cara melupakan seseorang yang tidak memikirkanku. Tapi sendiri itu juga butuh teman untuk menceritakan masalahnya. Apa lagi sendirian di mall itu nggak seru sama sekali. Kesepian dalam keramaian.
Bruukk.
“Maaf, aku gak sengaja”
“Iya gak papa kok” sambil melihat orang yang menabrakku.
Aku terkejut. Ya Tuhan.
“Davi? Maaf aku gak sengaja” aku berjalan meninggalkan Davi.
“Tunggu” Davi memegang tanganku.
Aku terkejut, baru kali ini tanganku dipegang oleh laki-laki.
“Kenapa?” aku menyembunyikan kegugupanku, aku tak akan membiarkan hatiku melayang, aku juga tak akan membiarkan otakku terus berpikir tentang Davi.
“Kamu mau kemana?” tanya Davi
“Aku mau pulang”
“Kamu bisa ngga temani aku?”
“Kemana?”
“Aku mau pulang”
“Jangan pulang, temenin aku makan yuk?”
Deg! Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Kakiku lemas, tanganku lunglali, aku sudah tak sanggup berjalan. Ingin berbicara tapi mulut susah mengeluarkan kata-kata. Aku harus bahgaimana? Mengiyakan? Ini kesempatan emas aku bisa berduaan dengan Davi. Mungkin kalau aku tolak, hari berikutnya tidak ada kesempatan seperti ini.
“Emm, iya deh” aku menyembunyikan kegugupan ku.
“Kamu mau makan apa?”
Aku melihat penjual gulali yang sedang menjajakan permen-permen yang manis itu, aku langsung menunjuk permen gulalai itu.
“Kamu yakin mau itu? Kayak anak kecil aja” Davi menertawakanku. Aku hanya melihatnya dengan tatapan polos.
“Anak SMA juga bisa makan itu kan?” tanyaku lagi.
Davi mengangguk.
Aku langsung mengambil gulali benbentuk love. Saat itulah kebahagianku mulai muncul. Dan aku rasa hidupku sudah cukup bahagia
Dear Davi
Aku tau susah untuk memaksakan cinta yang tak pernah ada
Tapi cinta itu bisa datang karena telah terbiasa bukan?
Aku tak mengharapkan kita bisa bersama
Tapi yang kuharapkan adalah cinta yang terus mengalir hanya untukmu…
Cerpen Karangan: Sofia Oktadilah
Facebook: Sofia Oktadilah
0 komentar:
Posting Komentar